Chapter 9

1.1K 178 18
                                    


Seungcheol bertahan di ruang tamu semenjak kepergian Jeonghan, meninggalkannya dengan goresan di hati. Sunyi senyap menyelimuti seisi rumah, tak ada lawan bicara yang menemaninya membuka suara. Acara yang tayang di televisi seperti tak ada habisnya, Seungcheol sengaja membiarkannya menyala demi mengisi keheningan. Ia tak memperhatikannya sama sekali, dan justru memilih untuk tetap mewarnai buku gambar milik Jihoon yang kini dipindahkannya ke meja tamu. Beralaskan karpet ia duduk di lantai dan bersandar pada sofa, kakinya menjuntai di bawah meja.

Matahari kira-kira baru saja akan terbenam ketika langkah kaki terdengar di sana, beradu dengan suara televisi. Seungcheol tahu benar siapa yang baru saja turun dari lantai atas, namun menolak untuk menoleh padanya. Sedikit rasa sakit masih tersisa di hatinya, dengan ego yang berteriak untuk mengabaikan Jeonghan sebagai balasannya. Terlampau fokus dalam usahanya untuk mengabaikan sang suami, Seungcheol bahkan tak sadar telah menekan krayon di tangannya begitu keras hingga meninggalkan bekas di kertas.

"Seungcheol senang mewarnai, ya?" nada suara yang biasa Jeonghan gunakan pada Jihoon itu membuat Seungcheol menoleh seketika.

Jeonghan telah duduk di sofa yang ia sandari, rupanya. Suaminya itu menopang dagu dengan tangannya, rambutnya yang panjang tersampir ke belakang telinga di satu sisi. Seungcheol menangkap bagaimana Jeonghan menatapnya dengan lembut, tanpa rasa bersalah sama sekali setelah meninggalkannya tadi setelah Jihoon pergi. Seungcheol mendengus sebal dan mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu.

"Jangan mengolokku." Jawab Seungcheol singkat, lalu kembali fokus pada buku gambar di meja. Sementara itu, dari arah belakang suara tawa milik Jeonghan terdengar.

"Salahmu sendiri, lagipula buku itu 'kan milik Jihoon. Isinya hanya ada gambar binatang saja." Katanya sembari terkekeh.

"Aku bosan, kamu meninggalkanku sendiri, sementara mainanku dibawa pergi oleh adikmu." Rajuk Seungcheol pelan.

"Jangan sebut anakmu sebagai mainan." Sentilan di daun telinganya membuat Seungcheol menoleh ke belakang, di mana Jeonghan tersenyum usil padanya.

"Tapi Jihoon memang lucu sekali, sungguh. Aku memang tak pernah memperhatikan anak lainnya untuk perbandingan, tapi kurasa Jihoon memang yang paling lucu diantara balita seumurannya. Kamu beri makan apa dia selama ini hingga dia bisa luar biasa menggemaskan seperti itu?"

Jeonghan tertawa atas pertanyaan itu, membuat Seungcheol mau tak mau ikut tersenyum bersamanya. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di sofa, menatap wajah Jeonghan yang masih menunduk padanya. "Aku jadi rindu Jihoon."

"Anakmu 'kan baru pergi sebentar."

"Iya, tapi rasanya sudah lama sekali, Jeonghan. Suruh adikmu kembalikan Jihoon malam ini juga boleh, tidak?" keluh Seungcheol lagi.

"Tapi kamu selama ini pergi bekerja dan tak merindukannya sama sekali, apalah arti satu malam, Seungcheol." Jawaban yang diberikan Jeonghan sungguh mengejutkan untuknya. Ia menegakkan tubuh dan berbalik untuk menatap Jeonghan lebih jelas, berusaha membaca emosi yang terlintas di wajahnya. Ini adalah keluhan pertama yang disampaikan Jeonghan semenjak kepulangannya.

"Jeonghan—" Seungcheol berusaha untuk menjelaskan, namun gelengan yang diberikan Jeonghan menghentikan kata di lidahnya.

"Aku ke bawah karena akan pergi ke swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah," Jeonghan berdiri dari duduknya. "kamu mau menemaniku tidak?"

Dengan anggukan Seungcheol mengikuti Jeonghan berdiri. Ia baru saja akan ke lantai atas untuk berganti pakaian ketika Jeonghan menyodorkan sebuah hoodie hitam padanya. "Tak perlu berganti pakaian, kita hanya akan berbelanja, bukan menarik perhatian ibu-ibu di sana."

Kisah & MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang