Bagian 1

9.4K 370 30
                                    

Suara berisik dari luar kamar terdengar memekakkan telinga, saut-sautan anjing penjaga rumah makin membuatnya menyeramkan. Belum lagi desiran angin malam yang masuk melalui celah ventilasi.

Badanku merinding saat melihat bayangan hitam melintasi jendela kamarku.

Sial. Makhluk apa itu?

Aku berlari keluar kamar, ada rasa aneh yang menyergabku. Ini menyeramkan. Hidup di kota tak pernah seperti ini.

"Apa kamu juga mendengar suara itu?" tanyaku. Saat Kulihat Lani mendekati kamarnya yang tepat berada di samping kamarku.

Lani menganguk. Memandangku dengan kening berkerut. Mungkin karena melihat keringat di pelipisku. Yah, kuakui aku takut, sampai-sampai aku merasa sekujur tubuhku basah oleh keringat.

"Apa di sini memang semenyeramkan itu? kenapa aku merasa seperti berada di lingkungan hantu?" tanyaku saat kuliat Lani tak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku yang tadi.

Lalu kudengar langkah kaki menuju arah kami, aku berbalik dan kulihat pak Timbo yang menghampiri kami. Syukurlah ... dia pemilik rumah ini, bukan hantu yang ingin memakanku.

"Bapak dari mana?" tanyaku saat pak Timbo sudah berada di antara kami.

"Dari luar. Kenapa kalian belum tidur? Ini sudah sangat larut, hampir pukul 12.00 malam."

"Ah, maaf Pak, tadi saya mendengar suara-suara aneh jadi saya keluar," jawabku.

"Sebaiknya kalian tidur," katanya.

Aku mengangguk lalu pamit untuk memasuki kamar. Sebenarnya aku masih penasaran, tapi lebih baik kutanyakan besok saja. Hitung-hitung untuk menghilangkan sedikit ketakutanku saat ini, akan sangat memalukan jika aku sampai bergetar di hadapan pak Timbo dan keluarganya.

🎞🎞🎞

Setelah sarapan aku dan pak Timbo berkeliling Desa, desa ini cukup luas, tidak akan cukup jika dikelilingi satu hari saja dengan berjalan kaki. Sarana dan Prasarana transportasi memang sudah cukup memadai, jalan-jalan sudah diaspal, sebagian masih berbentuk coran dan sebagiannya lagi adalah tanah setapak yang bisa dilalui kendaraan yang terbilang cukup ekstrem.

Itu menurutku karena aku berasal dari kota yang jalannya sudah berbentuk tol. Tapi bagi mereka yang hidup di perkampungan ini, jalan setapak itu sudah bagus karena sudah diratakan dengan bulldozer, batu-batu besar yang mulanya ada di tengah jalan sudah dipindahkan ke pinggir.

Kami pulang kerumah pukul 01.00 siang. Rasanya persendian kakiku sebentar lagi akan terlepas. Aku sangat lelah, berkeliling sekitaran kampung mulai pukul 07.15 sampai sekarang dengan berjalan kaki.

Ah, satu lagi walau sarana dan prasarana di desa ini memadai tetapi pak Timbo dan kebanyakan warga lainnya lebih suka berjalan kaki. Sudah terbiasa katanya, sekalian untuk melatih aku yang memang selama hidup di kota kurang berjalan.

Belum 30 menit aku sampai di rumah, kudengar pintu diketuk. Aku yang berada di ruang tamu pun keluar, dari pada menunggu pemilik rumah yang belum tentu mendengar panggilan orang di luar sana, karena mereka berada di belakang rumah.

Kupersilahkan tamu itu masuk, tanpa membuka pintu tentunya karena di desa ini, pintu rumah tak ditutup pada siang hari kecuali pemiliknya tengah bepergian. Berbeda sekali dengan rumah-rumah di kota yang jika pintu rumah terbuka maka bersiaplah untuk kehilangan barang.

Buk Muhaira menemui tamu itu setelah kuberitahu tadi. Lalu aku melanjutkan pekerjaannya mencabuti rumput di kebun jagung yang berada tepat di belakang rumah.

🎞🎞🎞

Buk Muhaira bergabung bersama kami. Kudengar Lani bertanya dengan bahasa desa sini.

"Ngurai ma?" (Ada apa buk?)

Untungnya aku cukup cakap bahasa daerah sini, bahasa Konjo. Sehingga aku mengerti apa yang mereka katakan.

"Nahojai bapa'nu. Rie tau garring," jawabnya." (Mereka mencari bapakmu, ada orang yang sakit.)

Aku bingung, kenapa orang itu mencari pak Timbo, padahal Pustu kesehatan tidak jauh dari rumah ini. Tapi tak kupertanyakan pertanyaanku itu. Aku canggung pada buk Muhaira.

Sampai kami beristirahat di bawah pohon mangga, aku sengaja memilih tempat ini, selain karena tempat ini teduh posisi kami juga sudah cukup jauh untuk kembali ke rumah.

"Kenapa mereka mencari bapakmu, bukannya membawa orang yang sedang sakit itu ke Pustu?" tanyaku setelah buk Muhaira meninggalkan kami. Aku sudah terlanjur penasaran. Lebih baik kutanyakn bukan?

"Dia sakit, tapi bukan medis," jawabnya.

"Maksudnya?"

Aku pernah mendengar istilah ini, tentang penyakit medis dan non medis. Tapi aku merasa bingung, bukankah semua penyakit itu seharusnya adalah penyakit medis?

"Apa kamu pernah mendengar tentang parakang dan sekawanannya?" tanya Lani saat sadar aku tak berhasil menangkap maksudnya.

Aku mengangguk. "Yah, aku pernah membaca postingan tentang parakang di internet."

Lani tersenyum dan kurasa penyakit ini berhubungan dengan itu. Tapi, apa hubunganya dengan pak Timbo?

Apa dia seorang parakang? sehingga orang itu mencarinya untuk bertanggung jawab.

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang