Bagian 4b

3.4K 205 0
                                    

"Kau tau tentang parakang tapi tidak tau tentang doti?" Lani menjawabku dengan pertanyaan kembali, "aku pernah bilang kan tentang parakang dan sekawanannya."

Gawai yang awalnya tergeletak manis di atas meja kini sudah berpindah di gengamanku, menjelajahi aplikasi serba tau, mencari tau tentang doti.

"Doti itu ilmu hitam yang dipercaya mampu membuat kepala manusia menjadi lembek, bisa dikirim jarak jauh, bahkan bisa melahap beberapa korban dalam waktu bersamaan," kataku, setelah membaca sebuah artikel yang disajikan om pintar.

Lani tidak merespon, dia masih asik menyesap tehnya. Lama-lama aku merasa dia agak misterius, pembawaannya yang terlalu tenang membuatku kadang berfikiran bahwa dia menyimpan banyak hal, semacam rahasia besar atau memang aku yang terlalu berlebihan jadi lelaki.

"Dari cerita yang kudengar, tidak ada yang mengatakan kalau kepala puang Hamma lembek. Lagipula untuk apa mereka melakukan itu?" tanyaku sedikit sinis.

"Doti tidak hanya membuat kepala manusia menjadi lembek. Hampir sama seperti parakang, doti bisa membuat organ dalam tubuh manusia hancur bahkan pada beberapa kejadian, tidak ada tanda pada korbannya, tau-tau mereka sudah meregang nyawa," jelas Lani dengan pandangan tajam yang terfokus kearahku. Kurasa dia marah karena mendengar nada sinis dariku tadi.

"Lagi pula puang Hamma itu petani sekaligus pedagang merica yang sukses, bisa saja kan ada orang yang iri hati dan akhirnya menghalalkan segala cara. Bukannya itu juga terdengar masuk akal?" tambahnya dengan nada sinis, yang terdengar sedang mengatakan kalau kemungkin yang dikemukakannya lebih masuk akal.

Dia membalasku rupanya. Andai saja aku tidak sedang tinggal di rumahnya, aku pasti akan membalasnya dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang kupikirkan. Lagi pula dia bukan wanita dingin pertama yang kutemui, banyak wanita sepertinya di kampusku. Hanya saja melihat wanita sepertinya ditempat ini agak terasa berbeda, mungkin karena aura tempat tinggalku.

Berbicara tentang tinggal di rumahnya, aku terpaksa berbohong, meski tidak berbohong dengan artian yang sebenar-benarnya.

Di desa ini, mereka yang tinggal bersama dan tidak memiliki ikatan keluarga, bahkan saat tinggal bersama orang tuanya bisa saja di jakkala (ditangkap dalam artian di grebek). Masyarakat di daerah ini masih sangat menjaga budi Luhur yang sudah tertamam sedari mereka kecil.

Untung saja om Hendri sudah mengantisipasi agar aku tidak berstatus menikah saat kembali dari sini. Dengan mengaku sebagai keponakan pak Timbo, suami dari sepupu tanteku, Suna, yang sedang melakukan suatu urusan.

Urusan dengan parakang yang membuatku penasaran sampai rela mengorbankan kuliahku, mengambil cuti satu semeter.

Tidak benar-benar berbohong bukan?

Tidak ada lagi perbincangan diantara kami, dia sibuk dengan gawainya. aku juga begitu, sibuk berbalas pesan dengan teman-teman kampusku. Sudah minggu aku berada di sini dan itu membuatku merindukan mereka.

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang