Bagian 1

4.8K 285 37
                                    

Sore ini aku mengikuti Lani menemui warga yang sedang sakit. Mengingat pak Timbo belum pulang dari kebun setelah tadi mengantarku berkeliling.

Kami mengendarai motor yang kebetulan dipinjamkan sanak keluargaku saat aku kemari.

"Apa yang akan kita lakukan setelah menemui warga yang sedang sakit itu?" tanyaku.

"Mengecek saja, dia sakit apa. Karena yang kudengar dari ibu, orang itu juga menunjukkan gejala medis," jawabnya.

Kami terdiam cukup lama. Mengambil nafas dalam, kuberanikan diri untuk kembali bertanya.

"Tentang parakang yang kamu bicarakan tadi...." kutarik nafas dalam-dalam, kuhembuskan perlahan. Lani juga masih diam menunggu aku menyelesaikan pertanyaanku.

"Apa benar jika kita terkena gigitan Parakang kita juga akan menjadi Parakang?"

"Kata siapa?" tanya Lani.

Kulihat dia melalui kaca spion motor. Dia masih tenang. Dia juga memandang ke arah kaca spion, kemudian mengangguk. Mungkin meminta aku menjawab.

"Dari artikel yang kubaca di internet," jawabku jujur. Karena, aku memang tahu itu dari internet yang artikelnya tidak sengaja kubuka.

🎞🎞🎞

Sejujurnya aku takut. Aku takut jika orang itu benar-benar dimakan parakang. Bagaimana jika nanti parakang itu juga mengincarku untuk dijadikan santapannya. Aku masih sayang pada ususku, aku tidak ingin dicabik-cabik seperti usus ayam yang kerap kali dijadikan sate usus bumbu kecap oleh orang-orang.

Lani masih seperti tadi, tetap tenang, rasa tenangnya menular padaku.

Dia mengecek perut orang itu, ada beberapa tanda biru di sana. Lebam yang cukup besar, seukuran telapak tangan orang dewasa. Bukan hanya satu tapi ada beberapa.

"Pa'risi memangmi battang ta nampa rie inni usoa?" (apakah perut anda sudah sakit sebelum ada lebam?)

"Parrisi memang mi. Mingka iapa na ladda baganna rie injo usoa," jawab ibu-ibu yang tadi mendatangi rumah pak Timbo. (sebelumnya sudah sakit. Tapi, parahnya setelah lebam itu muncul).

Lani meminta air pada ibu itu. Setelahnya dia mencampurkan dedaunan yang dibawahnya dari rumah.

Aku tidak tau dedaunan apa saja itu, hanya daun kelor yang kukenali. Bau daun itu menyengat. Warnanya hitam pekat.

Diminumkannya ramuan itu pada yang sakit. Orang itu muntah-muntah setelahnya.

Aku tidak tahu. Apa karena bau, rasa atau memang begitu reaksi obat itu jika cocok.  Yang pasti orang itu terus-terusan muntah.

"Nakanrei parakang. Mingka ki erang to'i lampa ri Pustua apparessa ka partisi memangmi battanna nampa nakanre parakang." (Dia dimakan Parakang. Tapi, bawah juga dia ke Pustu untuk periksa karena perutnya sudah sakit sebelum dimakan Parakang).

Ibu itu membantu orang itu. Lani juga sudah kembali duduk di dekatku.

"Lan. Apa setiap orang yang minum daun  itu lalu muntah sudah dapat dipastikan bahwa dia dimakan Parakang?" Lani mengangguk.

"Tapi daun itu kelitahan tidak enak. Aku juga pasti akan muntah kalau minum itu," kataku lagi.

"Orang yang muntah biasa, muntahannya berwarna kuning, kecoklatan atau putih. Sedangkan orang yang dimakan parakang berwarna kehitaman," jelasnya.

Aku baru tau. Warna muntah tadi memang terlihat agak aneh, seperti ada campuran darahnya.

"Lalu apa lagi?"

"Tanda lebam pada perutnya. Lebam itu tiba-tiba muncul tanpa sebab."

"Apa orang itu tidak akan mati?"

Menurut tautan yang kubaca orang yang dimakan parakang berpotensi besar untuk mati.

"Tergantung tingkat keparahan. Wanita tadi tidak separah itu. Mungkin baru sempat disentuh"

"Kenapa orang bisa berubah jadi parakang?"

Lani tidak menjawabku. Dia hanya mengatakan pada ibu itu bahwa ayahnya akan kesini nanti malam, lalu kami berpamitan pada pemilik rumah.

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang