Dendam?

2.7K 186 12
                                    

Setelah membawa mayat lelaki itu kembali ke kediamannya. Aku kembali ke rumah. Tapi apa yang kulihat tak bisa hilang, malah bertambah parah. Kejadian dengan anjing hitam semalam, ditambah lagi penemuan mayat tadi, makin membuatku resah.

Aku merasa menyesal, karena rasa penasaranku, sekarang aku harus menyaksikan hal-hal aneh.

Rasanya aku ingin kembali saja.

"Kenapa?"

Kaget, tentu saja. Aku tak mendengar langkah kaki dan tiba-tiba saja Lani sudah duduk di hadapanku.

"Jangan menatapku seperti melihat hantu," tegurnya ketika sadar aku terus memperhatikannya dengan mata yang terbuka lebar.

"Kenapa kamu di sini?" tanyaku heran, setelah bersih-bersih, Lani pamit untuk tidur.

"Aku tidak bisa tidur, masih mimikirkan almarhum puang Embang. Tubuhnya, bekas darah yang berceceran, matanya yang memandang bak orang ketakutan. Sial, aku sering melihat kejadian orang yang dimakan parakang, tapi baru kali ini aku merinding."

Jika Lani saja yang sering mendengar rumor bahkan berhadapan dengan orang-orang yang pernah dimakan parakang merasa merinding, bagaimana dengan aku. Memikirkannya saja membuatku ingin segera meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana perasaanmu?"

"Aku rasa kamu cukup mengerti, jika kamu saja yang tak pernah terlihat takut, bisa merinding, bagaimana dengan aku? Jika saja aku tidak takut warga menganggapku gila. Aku sudah berteriak sejak melihat mayat puang Embang."

"Belum lagi kejadian yang kusaksikan semalam. Aku merasa makin tertekan saja." kataku seraya memejamkan mata, mencoba menggilangkan bayangan itu.

"Apa yang terjadi?"

"Kami diserang parakang. Puang Timbo sempat menebasnya, kemudian dia pergi entah kemana, karena merasa kesal akhirnya aku memukul anjing sialan itu dengan kayu yang ada dipinggir jalan. Setelahnya angin berhembus kencang dan anjing jelmaan parakang itu menghilang."

"Bodoh. Kenapa kamu memukulnya." makinya. Tentu saja aku geram mendengarnya.

"Sudah kukatakan, aku kesal. Kamu tidak tau saja bagaimana dia mengincarku. Dia mengejarku."

"Parakang tidak boleh dipukul lebih dari sekali," katanya pelan seraya mengembuskan nafas, menyandarkan diri di sandaran kursi.

"Jika mereka dipukul lebih dari sekali, mereka akan pulih kembali," katanya, seraya menegakkan tubuh kembali.

"Jadi ini salahku?"

"Aku tidak mengatakan kamu salah, toh kamu tidak tau. Tapi mulai sekarang kita harus berhati-hati. Parakang itu pasti mengenalimu dan bapak meski dalam keadaan tidak sadar, karena kalian memukulnya."

"Maksudmu. Parakang itu menaruh dendam pada kami?"

Anggukan singkat dari Lani sungguh membuatku ingin membenamkan diri.

Parakang. Makhluk sialan itu benar-benar merepotkan dan bodohnya lagi kenapa aku harus terpancing untuk ikut memukulnya.

Sial.

Sekarang aku harus bagaimana?

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang