Bagian 8

3.1K 196 3
                                    

Bertemu Parakang
•••

Seperti yang dikatakan Lani, malam ini aku mengikuti pak Timbo untuk menemui warga yang sedang sakit itu ditemani oleh Puang Sanna, orang tua yang dulu membantu pak Timbo saat Puang Solle meninggal.

"Apa ngerangko lampa kunni mae?" tanya Puang Sanna. (Apa yang membawamu kemari?)

Walau bingun dengan pertanyaan beliau aku tetap menjawab. "Motoro," jawabku, karena saat ke desa ini aku memang mengendarai sepeda motor.

Pak Timbo dan Puang Sanna tertawa, lalu pak Timbo memperjelas pertanyaan Puang Sanna tadi, aku ikut tertawa canggung, ternyata aku salah tangkap maksud beliau.

"Saya penasaran dengan rumor tentang parakang yang beredar," jawabku jujur, untung saja Puang Sanna mengerti maksudku karena jika harus membahasnya menggunakan bahasa daerah sini, aku juga tak mengerti bagaimana cara mengungkapkannya. Aku hanya mengerti saat mereka bercerita tapi saat tiba giliranku untuk berbicara, aku bagaikan orang bodoh, tidak bisa berkata-kata.

"Toje injo nakua ya i Ani?" tanyanya. (Apakah yang dikatakan Ani itu benar?)

Lani atau yang akrab mereka sapa Ani ternyata sudah menceritakan maksudku. Aku tidak perlu menceritakan panjang lebar, cukup menjawab dengan anggukan pasti.

"Jako takkiniki punna lohe nutte nu mara-maraeng sallo." (Jangan kaget jika nanti kamu melihat banyak hal yang aneh)

Lagi, aku mengangguk. Puang Sanna dan pak Timbo berbincang, mempertanyakan seputar kesibukan masing-masing.

🎞🎞🎞

Kami tiba di rumah panggul bercat hitam. Dari anak tangga yang memperlihatkan beberapa pasang sendal, dapat kusimpulkan bahwa ada banyak orang di rumah ini.

"Orang yang kita kunjungi ini sakit apa pak?" tanyaku pada pak Timbo, saat menaiki tangga.

"Nakua i Pun Sanna anu na lingka-lingkai." (Kata pak Sanna, dilangkah-langkahi)

"Maksudnya? Saya tidak mengerti pak."

"Pappasang ri angin," jawabnya. (pesan yang dibawa angin)

Mendengar perkataan beliau, aku menjadi tambah bingung. Aku tidak mengerti maksudnya, pak Timbo menjawabku tapi jawabannya menimbulkan tanda tanya baru untukku, persis seperti Lani. Sekarang aku tau dari mana sifat menyebalkan gadis itu.

"Hadapi nukutannang ri pung Sanna punna uhu nuissei," katanya. (Sebentar saja kamu bertanya sama Pak Sanna jika kamu tidak mengerti)

Percakapan kami berhenti sampai disitu saat kami telah memasuki rumah panggul ini, seperti yang kukatakan dulu, rumah penduduk di daerah ini tidak tertutup, jadi kami hanya cukup mengetuk pintu, mengucapkan salam, lalu masuk, tak perlu menunggu dibukakan pintu seperti yang terjadi di perkotaan.

Pak Timbo dan pak Sanna mendekati orang yang sedang sakit itu setelah sebelumnya duduk agak jauh dari orang itu, kata Puang Sanna, mereka yang ingin mengobati atau berkunjung tidak boleh langsung menghampiri orang yang sedang sakit, sebab ditakutkan kami dan orang-orang lain yang berkunjung, diikuti parakang dan makhluk abstral lainnya. Jadi kami harus menjaga jarak dulu.

Pak Timbo juga berkata, bahwa dalam perjalanan kesini, kami diikuti oleh makhluk tak kasat mata sehingga Puang Sanna sengaja mengajakku berbicara agar aku tidak takut, dan tentu itu berhasil karena sedari tadi aku sama sekali tidak merasakan kehadiran makhluk tak kasat mata itu.

Setelah mengecek keadaan orang yang sedang sakit itu, Puang Sanna meminta beras dan kunyit, daun pisang, sirih serta telur ayam kampung. Lalu setelahnya beras itu dicampur dengan kunyit hingga berwarna kuning, kemudian beras itu diletakkan dalam daun pisang, di atasnya diletakkan daun sirih yang sudah dibentuk kalomping (semacam simpul) serta telur ayam kampung di tengahnya.

Pak Timbo mengambil daun yang sudah sudah disusun itu kemudian mengajakku untuk keluar rumah, dia memberikan daun itu padaku lalu mulai mengali lubang di bawah anak tangga yang sebelumnya sudah dibukanya kemudian menanam daun itu beserta isinya dan memasang kembali anak tangga yang dibukanya tadi.

Kami naik ke atas, dari ruang tengah yang kutempati tadi, kulihat Puang Sanna memandikan orang yang sedang sakit itu. Di dalam baskom berisi air, aku melihat sebuah pinang tua yang kulitnya tidak dibuka dan daun sirih yang sudah dibentuk serta sebuah besi yang diduduki orang yang sedang sakit itu.

Setelah memandikan orang itu, Puang Sanna meminta wanita yang kuduga adalah istrinya untuk menghanyutkan sarung yang tadi digunakan orang itu di sungai.

Sementara Puang Sanna berbicara dengan orang itu, aku berbisik pada pak Timbo.

"Kenapa sarung itu harus dihanyutkan pak?"

"Na manyu garrina a rurung lipa'a. Sininna nu manyu a ri kaloroa anre papa minro rigite, iyangasena alampaya ri tamparang nga na lannya," jawabnya juga berbisik. (Agar penyakitnya hanyut bersama sarung itu. Semua yang dihanyutkan di sungai tidak akan kembali kepada kita, semuanya akan hanyut ke laut dan menghilang)

Aku masih ingin bertanya tapi Puang Sanna sudah memanggil kami untuk pulang. Kelihatannya beliau ada urusan yang sangat penting sampai-sampai ada seseorang yang mendatanginya ke tempat ini. Melihat hal itu, pak Timbo meminta beliau untuk pulang lebih dulu bersama orang itu, lalu kami berdua juga pulang.

Tapi tidak jauh dari rumah orang yang sakit tadi, aku merakan pergerakan aneh di sekitarku. Angin malam berhembus agak kencang, tapi daun dipepohonan tetap diam, seakan angin kencang yang kurasakan itu tidak terjadi.

Pak Timbo yang berada di samping kiri melihat ke arahku, lalu menoleh ke belakang, dia meraih golok yang tersampir di pinggangnya, terlihat tampak waspada. Suara burung hantu dan beberapa burung lainnya terdengar di belakang kami.

"Lakare-karena ko?" (Kamu ingin bermain-main)

Kualihkan pandaganku ke samping saat mendengar pak Timbo berbicara dengan nada yang tidak bersahabat. Tidak sampai sepersekian menit aku merasakan angin itu kembali berhembus kencang, dari arah depan aku melihat seekor anjing hitam yang menatap nyalang ke arah kami.

Pak Timbo mengeluarkan goloknya, memandang tidak suka pada anjing yang berada beberapa meter di depan kami. Anehnya, anjing itu tidak lari atau sekedar menggong saat pak Timbo mengacungkan golok itu ke arahnya. Anjing itu tetap diam pada posisinya dengan pandangan yang semakin tajam kearah kami.

"Parakang."

Mendengar pak Timbo menyebut kata parakang, membuat sekujur tubuhku meremang. Aku memandang anjing hitam itu dengan perasaan was-was, jantungkungku berdegub kencang, kerongkonganku terasa kering. Itukah bentuk lain dari manusia jadi-jadian itu? Berbentuk anjing dengan tinggi yang tidak rata, mata yang memandang nyalang dan satu lagi yang baru kuperhatikan, anjing hitam di hadapanku tidak memiliki ekor.

Anjing hitam itu berjalan ke arah kami, dan pak Timbo malah tertawa melihatnya.

"Barani tokko compa." (Berani juga kamu menampakkan diri)

Setelah pak Timbo mengatakan itu, anjing itu tidak berjalan lagi, tapi berlari ke arah kami dan aku hanya bisa diam melihatnya. Sepertinya refleks tubuhku bermasalah, seharusnya aku juga berlari bukan malah diam melihat anjing hitam itu semakin dekat.

"Pak." Cicitku.

Pak Timbo memandangku. "Arrako akare-karena rolo?" tanyanya padaku. (Kamu ingin bermain-main dulu?)

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang