Kemunculan Sosok Tinggi

2.6K 183 1
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya. Pagi ini pun hiruk pikuk warga didominasi oleh para petani yang berangkat ke ladang.

Aku yang tak melakukan kegiatan apapun, ikut berangkat bersama pak Timbo. Kebun tujuan kami berdekatan dengan sungai, tempat kami mencari Gassing.

Mengingat anak itu, aku teringat lagi dengan penemuan mayat puang Embang. Tapi sejauh ini belum terjadi apa-apa.

Bahkan aura-aura aneh setelah kematian puang Solle dulu, selama dua hari ini juga tak terasa lagi.

Tak ada lagi warga yang mengaku merasa diperhatikan, diikuti atau melihat hal-hal aneh. Suasana terasa tentram semenjak malam itu, malam ditemukannya mayat puang Embang.

Sampai-sampai ada yang barasumsi bahwa parakang baru itu adalah beliau, dan soal jasadnya yang penuh cabikan itu, itu semua karena dia tidak mampu menguasai ilmu parakangnya hingga berbalik menyerang diri sendiri.

Pemikiran yang terdengar masuk akal, tapi entah mengapa aku merasa itu tidak benar. Tidak ada keyakinan dalam diriku untuk percaya persepsi itu.

Mungkin karena rasa takutku akan pembalasan parakang itu, yang suatu saat akan muncul menuntut dendam.

***

Kami kembali kerumah jam 3 sore. Cukup lama memang, sebab aku memilih menikmati suasana perkebunan yang berdekatan langsung dengan sungai. Suasana pedesaan masih sangat asri, dengan pepohonan dimana-mana.

Tubuh lelahku kubaringkan di atas kasur, setelah membersihkan diri.

Kutatap langit-langit kamar. Saat mengambil gawai yang berada di atas meja, ujung mataku menangkap sekelebat bayangan yang tiba-tiba saja terlihat melintasi jendela.

Entah kenapa, saat berada di sekitaran sungai tadi, aku merasa diperhatikan. Tapi saat aku mencoba mencarinya tak ada siapapun di sekitarku kecuali pak Timbo yang tengah mencabuti rumput di kebun mericanya.

***

Aku terbangun saat mendengar suara dentingan yang begitu keras. Seperti suara batu yang beradu dengan seng, tepat di atas langit-langit kamarku.

"Ah ... sudah pukul 12.00 malam rupanya."

Kembali kepejamkan mataku. Tapi belum sempat terlelap, tubuhku terbangun secara refleks.

Kutatap lekat-lekat jam yang menempel di dinding kamar meski rasa kantuk tak hilang sepenuhnya, mataku masih berfungsi dengan baik. Benar, jarum pendeknya menunjuk angka 12.

"Siapa yang melempar batu tengah malam begini."

Kupandangi lagi langit-langit kamar, mencoba mencari bekas lemparan tadi sebab di rumah ini tak terpasang platfon jadi sengnya terpampang dengan jelas. Tapi tak ada bekas, sengnya masih terlihat sama seperti sebelum aku tertidur tadi.

Lalu semilir angin malam berhembus diantara ventilasi dan cela jendela yang tak tertutup rapat serta gorden yang tersingkap.

"Tunggu ... Bukannya tadi aku sudah menutup jendela itu dan memasang gordennya. Tapi kenapa gorden itu terbuka?"

Bulu kudukku meremang. Suasana ini terasa persis saat pertama kali aku datang ke desa ini. Bedanya, tak ada suara dentingan dan suara anjing yang mengonggong dengan nyaring.

Angin kembali berhembus lebih kencang dari tadi. Jendela kamarku sampai terbuka lebar.

Saat menutupnya, tanpa sengaja aku menangkap siluet aneh.

Sosok tinggi yang kini membelakangiku. Aku, hanya dapat melihat kakinya, sakin tingginya sosok itu, padahal jaraknya terlihat jauh dariku. Pohon mangga yang ada di samping rumah saja hanya sebatas pinggangnya.

Tungkaiku terasa tak lagi bertulang, dengan susah payah kutarik nafas yang terasa tercekat. Seperti ada yang menyumbat di rongga pernafasan dan tanpa berniat melihat lebih lanjut, segera saja kututup jendela dengan keras. Lalu berlari keluar kamar.

Aku harus mencari pak Timbo.

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang