Bagian 3

4K 236 12
                                    

Malam telah menelan cahaya matahari. Awan tampak berarakan membuat cahaya bulan tampak bersinar samar. Suara riuh dari gesekan dedaunan mendukung suasana yang tampak kelam.

Derap langkah terdengar samar, gesekan kaki dengan batu terdengar di belakang kami. Aku berhenti, mencoba memastikan derap langkah itu. Tak ada pergerakan saat kami berhenti. Tapi, dapat aku pastikan bahwa derap langkah yang tadi kudengar bukan berasal dari derap langkah kami.

"Kenapa berhenti?" tanya Lani.

"Tidak apa-apa, hanya ingin memastikan pendengaranku tadi."

Kami melanjutkan perjalanan. Angin berhembus makin kencang, derap langkah itu juga terdengar semakin nyaring. Badanku meremang, bulu kudukku berdiri.

Kutolehkan kepalaku kebelakang. Belum sempat aku melihat apa yang berada di belakangku, Lani sudah memegang tanganku. Dia mengeleng, menarikku untuk tetap melanjutkan langkah.

Raungan anjing terdengar dari kejauhan. Suara itu terdengar bersaut-sautan. Dapat aku pastikan dari suara tadi, bukan hanya satu anjing yang mengonggong. Sekali lagi aku berhenti. Mencoba menoleh kebelakang, tapi lagi-lagi Lani menghalangiku.

"Syolah Lan, aku hanya ingin melihat siapa yang mengikuti kita," kataku geram, karena sedari tadi terus dihalangi oleh Lani.

"Jangan berbalik kebelakang. Jangan melihat pepohonan" katanya.

"Bisa Kamu berbicara dengan jelas. Apa Kamu tidak sadar kalau selama ini Kamu terus berbicara dengan bahasa yang sering kali ambigu," kataku tanpa jeda, "kalimatmu itu hanya membuat aku semakin penasan saja." lanjutku.

"Parakang biasa mengikuti korbanya dengan berbagai rupa, salah satunya dalam bentuk anjing. Dia sering kali bertengger di atas pohon sebagai burung, kadang juga berwujud. Jadi akan lebih baik jika kamu jangan terlalu penasaran dengan suara-suara itu," jelasnya.

"Penjelasan yang panjang, tapi...."

"Kita hanya berjalan berdua. Aku tidak akan sanggup mengendongmu jika Kamu sampsi pingsan di sini," katanya memotong ucapanku.

Sial. Dia merendahkan keberanianku sebagai laki-laki rupanya.

"Aku bukan pengecut yang akan pingsan saat melihat makhluk-makhluk yang kau sebutkan tadi. Lagi pula tidak selamanya burung dan anjing yang kulihat adalah parakang," sunggutku tidak terima.

"Lagi pula daerah sini masih asri, jadi aku rasa wajar saja kalau banyak burung dimalam hari," tambahku.

Dia memotar bola matanya. Lalu melangkah meninggalkanku. Aku tetap diam pada posisiku, menunggu dia berhenti dan memintaku berjalan di sampingnya karena takut berjalan sendiri. Aku pastikan aku akan membalikkan kata-katanya tentang penakut hingga pingsang.

Dia sudah berlalu cukup jauh dari posisiku, dia masih berjalan, tampak santai bak orang yang sedang menikmati udara malam.

Suara sautan anjing kembali terdengar, kali ini terdengar lebih dekat dari posisiku. Pepohonan di sampingku bergerak-gerak, dan aku pastikan tidak ada pergerakan angin. Decitan ranting terdengar makin jelas.

Aku menoleh kebelakng, ada dua ekor anjing tidak jauh dari tempatku berdiri. Anjing berwarna coklat dan hitam itu melihatku. Tatapan mata anjing itu seperti laser, kilatan cahaya bulan terpantul pada bola mata anjing itu.

Anjing hitam itu menggonggong, diikuti anjing coklat di sebelahnya. Decitan ranting di atas kepalaku terdengar mengilukan, seperti menahan beban berat.

Kudongakkan kepalaku ke atas, mulanya hanya dedaunan yang kulihat. Semakin ke ujung ranting, siluet hitam makin terlihat nyata.

Tetesan dari atas pohon mengenai pundakku. Kutolehkan kepalaku pada pundak kananku, ada bercak hitam yang tercetak pada kaos putihku. Ini bercak tapi baunya anyir. Kulihat lagi ke atas, siluet hitam itu sudah tidak terlihat.

Badanku seakan terendam es, aku merasakan badanku membeku-dingin. Tapi anehnya bulir-bulir peluh memenuhi pelipisku, badanku bergetar.

Sial. Lani benar-benar meninggalkanku. Gadis itu sudah tidak terlihat dari jarak pandangku. Dengan tubuh yang menahan getar pada lututku, kupaksakan tungkai kakiku melangkah.

Langkah panjang yang kuambil dengan gerakan cepat membuat nafasku tersekal-sekal. Tepat sebelum Lani membuka pintu rumah aku mencencegatnya. Dengan wajah tanpa bersalah dia bertanya.

"Kenapa kamu berkeringat begitu? Kamu lari maraton?" tanya yang jelas sedang menahan tawa.

"Kenapa kamu meninggalkanku?" tanyaku menuntut dengan tatapan yang kupaksakan terlihat mengintimidasi.

"Kenapa kamu berhenti?" tanyanya balik.

Aku tidak menjawab, kuambil kunci rumah dari tangannya. Aku berlalu begitu saja menuju kamar, menganti pakaianku.

Di bawah lampu yang terang kulihat kaos yang tadi kukenakan, bercak itu berwarna hitam. Meski tidak berwarna merah tapi dapat kupastikan bahwa itu adalah bercak darah. Bau anyir itu tidak dapat membohongi indra penciumanku. Bau anyir yang hampir memyerupai bau busuk, hampir seperi bau bangkai.

"Apa mahluk tadi benar-benar parakang?."

"Apa ini darah salah satu korbannya?"

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang