Korban Lagi

2.5K 195 15
                                    

Saat matahari menuju tempat lain dan menyisakan kegelapan, kami berkumpul, duduk lesehan sambil menikmati makan malam. Ikan bandeng dan jeruk nipis yang dicampur garam sebagai cocolan sangat pas sebagai penganti energi yang hilang.

"Sikuraya taua na geo?" tanya Lani (Kapan kita akan bergerak Pak?"

"Ngurai-ngurai intu mange do?" giliran ibu Muhaira yang bertanya. (Bagaimana keadaannya?)

"Anrepa kusse i inni kusaring apau, ka nusseji do, tania nu serreji nupakua kunni mae," Puang Timbo kembali memasukkan nasi dan ikan bakar kemulutnya. (Aku belum bisa berkata saat ini, karna bukan hanya satu yang seperti itu di sini)

Bukan hanya satu? Yang benar saja. Jadi tempat ini banyak makhuk demikian. Gila.

"Bukankah lebih baik kita membicarakannya setelah makan?" ujarku seraya melemparkan senyum yang memperlihatkan gigiku.

"Apa yang nabilang Zain benar. Bicara sambil makan itu nda baik, bukan juga adat kita."

Aku yang tengah makan dengan khidmat mengalihkan fokus saat mendengar perkataan tadi, lebih tepatnya orang yang mengatakan itu- Puang Timbo. Ini pertama kalinya aku mendengar beliau berbicara dalam bahasa Indonesia meski bahasanya agak terdengar aneh.

***

Saat kami, kecuali buk Muhaira tengah berkumpul di depan televisi. Lani tiba-tiba saja berdiri. Merapatkan telinga pada jendela yang tertutup, mungkin karena mendengar samar, dia memutuskan membuka jendela. Kembali merapatkan telingan seraya tangannya melambai ke arah kami. Ibu jari dan telunjuknya yang berjauhan agak dirapatkan. Kurasa itu tanda agar kami mengecilkan volume televisi, tapi puang Timbo malah mematikannya dan ikut mendekat ke jendela.

Aku turut mendekat, berdiri tepat di samping kiri Lani. Menempelkan telingaku pada pembatas besi yang terpasang di sana. Tapi aku tidak mendengar suara apa-apa.

"Tadi aku mendengar suara teriakan, kurasa itu suara pung Juho."

Kami tetap berdiri di sana sekitar tiga menit. Merasa tak ada apa-apa, puang Timbo beranjak menjauh tapi baru dua langkah, kami mendengar suara teriakan. Samar kudengar, orang itu berkata "turungi'a ... rie parakang" (Tolong saya ... ada parakang).

Tanpa menunggu teriakan dua kali, kami bertiga berhambur menuju rumah puang Juho yang terletak persis di samping kanan rumah.

Kami berlari menaiki tangga yang jumlah anak tangganya cukup banyak, membuat aku sedikit lelah.  Lani sedang berusaha membuka pintu saat aku menginjak anak tangga terakhir, puang Timbo juga turut membantu, tapi tetap tak bisa.

Karena tak lagi mendengar suara dari dalam, akhirnya aku dan puang Timbo mendobrak pintu tetapi tetap tak berhasil. Kehidupan nyata di lapangan ternyata tak seindah adegan dalam film yang sekali dorong langsung terbuka.

Masih berusaha merusak pintu tersebut, kulihat Lani berlari menuruni tangga. "Mau kemana?"

"Di belakang ada pintu, semoga itu tak terkunci."

Tetangga lain juga sudah berdatangan. Ada puang Juma dan beberapa orang lainnya yang kulupa namanya. Setelah percobaan ketiga dengan 5 orang yang menendang pintu, akhirnya engselnya rusak sehingga kami dapat masuk.

Di depan dapo, puang Juho tergeletak, Lani membantu dengan memangku kepala beliau. Aku hanya melihat bayangan parakang tersebut yang melayang lewat langit-langit rumah, sangat cepat. Beberapa warga di belakangku terdengar berlari mengejar lewat pintu belakang yang terbuka lebar. Berusaha agar tidak kehilangan jejak.

Puang Juma segera mengecek dengan menempatkan jari telunjuknya di depan hidung puang Juho, lalu beralih ke nadinya. Dia tampak bernafas lega.

"Tallasiji. Takini na ja na pinsang" serunya pada kami yang masih berdiri. (Dia masih hidup. Dia hanya kaget hingga pingsan) 

Lalu aku, puang Juma dan anaknya serta seorang lagi yang baru kuingat namanya-puang Lahami, mengangkat puang Juho ke dalam kamar.

Lani memberi puang Juho aroma terapi, berharap beliau segera sadar. Jika kalian bertanya kenapa harus Lani, kenapa bukan keluargannya saja atau kenapa Lani seperhatian itu. Itu karena beliau seorang janda yang mandul.

"Apa Kamu melihat wajah parakang tadi?"

"Jika Kamu ingin bertanya siapa orangnya, maka jawabannya tidak tau. Yang pasti, rambutnya panjang, ada darah dalam mulutnya dan kedua matanya besar. Hampir semuanya berwarna hitam," jelasnya dengan mempertemukan ibu jari dan telunjuknya hingga membentuk sebuah lingkaran.

"Untunglah tadi parakang itu baru mengulurkan lidah panjangnya, tapi belum sampai pada perut puang Juho saat aku membuka pintu, dan setelah itu dia langsung terbang ke langit-langit, memandang tidak suka ke arahku," katanya lagi.

Kulihat pada kedua kaki puang Juho, terdapat memar biru yang melingkar. Menujukkan sebuah bekas cengkeraman yang sangat kuat.

Anak puang Juma segera memasangkan balle yang sudah dibentuk gelang dengan mengunakan benang hitam.

Kami semua menunggu puang Juho sadar. Kami ingin tahu bagaimana kronologinya hingga parakang itu mendatanginya.

"Anre niupai" kata seorang warga yang terlihat kelelahan, cukup kesulitan menormalkan pernafasannya. (Tidak dapat)

"Anterei puangku ia pung Ruso?" (Dimana ayahku pak Ruso?)

"Na hojai ji." (Dia masih mencarinya.

Puang Timbo dan seorang warga lain akhirnya datang, setelah kami menanggungnya dengan harap cemas. Berharap parakang itu ditemukan agar tidak lagi menimbulkan keresahan.

"Anre nitei antere i alampa," kata puang Timbo. (Kami tidak melihat kemana perginya)

***

Sesaat setelah puang Juho sadar, kami semua mendengar teriakan.

"Turungi a. Rie parakang." (Tolong Saya. Ada parakang)

"Bukankah itu suara...." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku. Lani sudah berlari meninggalkan kami semua tanpa berkata apa-apa.




#Dapo : tempat memasak yang terbuat dari tanah liat dan kulit padi yang sudah dicampur dan dibakar.

Terima Kasih untuk yang masih bersedia menjadi penunggu part lanjutan dari autor yang mood-an ini. Semoga tetap bertahan sampai tamat yah😁

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang