Merasa Bersalah

2.5K 174 1
                                    

"Asiga ngaseng ko'. Rie angadangki," kata pak Timbo saat kuceritakan apa yang kulihat tadi. (Kalian semua berhati-hati. Ada yang mengincar kita)

Mendengar perkataan beliau, membuat bulu kudukku semakin meremang saja. Bukan hanya aku, tapi juga Lani dan buk Muhaira.

Mereka berdua juga tampak gelisah. Bahkan Lani menyorot pak Timbo dengan pandangan meminta keseriusan. Seperti tak percaya akan ucapan ayahnya.

"Ako pakunjo do. Sambarang todo nupau," serobot buk Muhaira. (Jangan begitu. Jangan sembarang berbicara)

"Jari langura maki inni? Anre injo nakullei nipalaloang apakua ki minni naung." (Jadi sekarang kita harus bagaimana? Tidak mungkin kita membiarkan situasi terus seperti ini.)

"Patannang ngi kalennu Ani. Nampa nipiki-pikiri haji, antere pakua lampana na ballo," kata pak Timbo (Tenangkan dirimu Ani. Kita harus berfikir tenang. Bagaimana caranya agar semua baik-baik saja.)

Aku hanya diam mendengarkan mereka berbicara tanpa berniat mengeluarkan kata-kata.

Aku takut, takut jika saja ucapanku akan memancing protes dari mereka. Karena secara tidak langsung, akulah yang memberi parakang itu peluang untuk membalas dendam.

Karena tak dapat menahan kekesalanku hingga turut memukul anjing sialan itu dan sekarang berakibat seperti ini.

Tapi entah pak Timbo pintar membaca pikiran atau memang ekspresiku menunjukkan apa yang aku pikirkan, dengan santainya pak Timbo menepuk bahuku.

Bukan tepukan kasar atau amarah. Tapi tepukan menenagkan.

"Tania sallannu, anre nusse i. Nakke todo ia tala mpauangko." (Bukan salahmu, kamu tidak tahu. Aku juga salah karena tidak memberi tahumu)

Mendengar perkataan beliau, aku menjadi sedikit lebih tenang. Ditambah lagi buk Muhaira yang tersenyum memaklumkan.

Hanya Lani yang memandangku tanpa ekspresi sebelum akhirnya bersuara.

"Benar kata Bapak. Kamu tidak sepenuhnya salah. Jadi tenang saja, aku tidak menyalahkanmu atas insiden ini," katanya seraya ikut menepuk pundakku.

***

Setelah perbincangan tadi berakhir, aku memutuskan untuk tetap berada di ruang keluarga.

Aku masih takut untuk kembali ke kamar meski pak Timbo mengatakan bahwa kamarku sudah aman, makluk sialan itu sudah pergi saat beliau mengeceknya. Alhasil pak Timbo memilih menemaniku, sedangkan buk Muhaira bersama Lani tidur di kamar.

"Apa kita akan terus membiarkan parakang itu berulah?"

"Palaloangmi rola. Na pisaringi'i kasannangan na. Rie hattuna ni panjarra." (Biarkan saja dulu. Biarkan dia bersenang-senang. Ada waktunya kita membuat dia jerah.)

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang