Bagian 19

2.6K 195 15
                                    

LUBANG DI MAKAM BUK MUHAIRA
•••


Lani masih dirundung sedih. Semenjak pemakaman hingga saat ini, belum pernah kudengar dia mengeluarkan suara sekedar menyapa Anca-kakaknya pun tidak dilakukannya. Sikapnya yang sejak awal kurang interaksi bertambah dingin.

Puang Timbo juga tidak ada bedanya, lebih senang duduk sendiri dari pada bergabung dengan keluarganya yang mesih hadir sekadar untuk menghibur diri.

Hanya Anca yang terlibat lebih tegar. Dia masih sempat berbalas cerita dari sepupunya meski saat menyendiri, pandangannya kosong. Sehingga kuputuskan untuk menghampiri, menemaninya mengobrol sekadar mengalihkan sedikit kesedihannya karena sekuat apapun aku mencoba menghibur, luka kehilangan tak akan pernah hilang, butuh waktu dan keikhlasan.

“Tidak menemui puang Timbo, dari tadi siang dia terus mengurung diri di kamar. Lani juga belum terlihat semenjak pemakaman berlangsung pagi tadi,” ujarku membuka pembicaraan, mencoba menarik perhatiannya yang kembali melamun.

Desahan lolos dari mulutnya, sepertinya dia kaget dengan kehadiranku. “Biarkan saja dulu, mereka butuh menenangkan diri.” dia tersenyum, namun aku dapat melihat kepedihan dalam matanya.

“Istirahatlah, kamu pasti lelah. Perjalanan dari Palu ke desa ini cukup menguras tenaga. Aku yakin sejak semalam matamu belum terkatup, kantung matamu mulai terlihat.”

“Besok temani aku ke pemakaman Ibuku yah, aku ingin menyapanya.” seuntai senyum tipis dilemparnya padaku sebelum pamit untuk istirahat.

Pemakan buk Muhaira memang dilaksanakan tanpa menunggu Anca, anak tertua dari almarhuma. Sebab Anca hanya bisa mendapatkan tiket untuk penerbangan siang, sehingga amat memakan waktu untuk sampai di desa Batusajang ini. Perjalanan udara dari Palu saja membutuhkan waktu 1 jam 10 menit, belum lagi perjalan dari Makassar ke Bulukumba kemudian menuju perbatasan. Butuh waktu sekitar 5 sampai 6 jam tanpa halangan. Meski bisa saja menunggunya hingga pemakaman diundur esok harinya.

Seperti yang kukatakan dulu, pemakaman jenazah di desa ini akan dilakukan jika keluarga jenazah sudah berkumpul kecuali orang yang bersangkutan meminta pemakamannya dilakukan tanpa menunggu dirinya, seperti yang dilakukan Anca semalam setelah mengetahui bahwa tiket penerbangan pagi menuju Makassar sudah habis. Dengan berat hati akhirnya dia meninta ibunya dimakamkan tanpa kehadirannya.

Aku juga segera menyusul setelah kurasa udara di sekitarku terasa sedikit berbeda. Duduk di teras sendiri saat tengah malam begini membuat udara terasa mengetarkan, dapat kulihat bulu tanganku berdiri secara perlahan, belum lagi pikiranku yang mulai melanglang buana memikirkan kemungkinan adanya parakang di sekitarku yang setelah membunuh buk Muhaira, sekarang menargetkanku sebagai calon korbannya.

***

Duduk di samping gundukan tanah yang masih segar sambil membacakan doa, kulihat mata Anca berkaca-kaca ditengah kusyuknya. Aku sendiri sudah selesai dari tadi sehingga dapat mengamati sekitar. Pandanganku jatuh pada lubang menganga yang berada di balik nisan sementara yang ditancap warga.

Melihat Anca yang belum bergeming, kuputuskan untuk mengeceknya sendiri. Tidak salah lihat, terdapat lubang yang kira-kira diameternya 10 cm yang cukup dalam. Untunglah masih ada sisa tanah di sekitaran makam yang bisa kuambil untuk menutupi kembali lubang itu. Setelah selesai aku kembali kesamping Anca, dia sudah selesai.

“Untuk apa tanah tadi?” tanyannya, rupanya dia memperhatikanku tadi.

“Ada lubang, kurasa itu ulah hewan. Tapi sudah kutimbun kembali.”

Anca tersenyum singkat mengajakku kembali setelah membakar lilin. Sudah tradisi katanya membakar lilin pada makam selama tiga hari bertutut-turut semenjak pemakaman berlangsung.

***

Suasana masih seperti kemarin, hanya pak Timbo yang sepertinya sudah membaik. Beliau mengajak Anca berbincang dan seperti sadar kondisi, tak sedikitpun dia menyinggung cerita soal bagaimana kejadian lalu bisa terjadi pada ibunya.

Anrepa nansulu i Ani battu ri kamarana Mbe?” (Apa Ani a.k.a Lani belum keluar dari kamarnya Yah?)

Sedikit anggukan, pak Timbo berujar, “Palaloang mi rolo. Nsulu ji intu punna hajimi papisaringna.” (Biarkan saja dulu. Dia akan keluar jika sudah merasa lebih baik.)

Seperti orang yang baru bertemu pada umumnya, perbincangan mereka didominasi pertanyaan seputar tempat tinggal dan hal-hal yang berubah semejak kepergiannya. Perbincangan itu membuat pak Timbo terlihat lebih baik lagi dari sebelumnya. Mungkin karena ada faktor rindu sehingga dia dapat melupakan sedikit kesedihannya.

***

Malam kembali datang suasana rumah menjadi semakin sepi. Sanak keluarga puang Timbo sudah kembali ke kediaman masing-masih menjelang magrib tadi, tepat setelah aku dan Anca kembali. Sekarang tinggal kami berempat yang menikmati makan malam yang diselimuti sunyi. Jangankan suara orang-orangnya, suara sendok yang beradu dengan piring pun tidak terdengar.

Diantara empat orang pemilik rumah, Lani lah yang terlihat paling hening. Masih meratapi kesedihan mungkin, wanita memang makhluk yang sangat peka terhadap perubahan atau karena dia sangat dekat dengan ibu Muhaira, entahlah. Kufikir gadis sedingin dia tidak akan begitu terpengaruh ternyata aku salah besar.

Arako minahang muko punna lampaki tunu lilin?” tanya pak Timbo yang telah menyelesaikan makannya.(Apa besok kamu ingin ikut membakar lilin?”

Kulihat Lani mengeleng.

“Kurasa kita harus membawa racun atau semacamnya besok, tadi saat mengunjungi makam buk Muhaira aku melihat ada lubang sebesar lengan yang cukup dalam, mungkin itu ulah tikus atau semacamnya, jika dibiarkan bisa merusak gundukan tanahnya.

Minahanga muko,” kata Lani tiba-tiba (Aku ikut besok)

Cepat sekali keputusannya berubah tapi aku tersenyum mendengarnya. Untuk pertama kalinya semenjak pemakaman ibunya gadis itu akan keluar rumah. Semoga saja dengan melihat suasana di luar sana dapat membuat dia merasa lebih baik.

Namun senyumku pudar saat kulihat wajah tegang pak Timbo dan juga Lani, Anca juga mulai bereaksi, tak seperti tadi sore saat aku mengatakan ada lubang di makam ibunya.

Apa jangan-jangan ada yang salah?

PARAKANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang