Hanni keluar dari kamarnya dengan mengenakan celana jins hitam beserta kemeja kelabu. Dia menghampiriku yang sedang duduk di sofa ruang tamu kos-nya, lalu duduk tepat di sebelah kiriku. "Yun, aku keluar bentar, ya? Sekalian servis smartphone-mu." ujar perempuan itu seraya mengambil smartphone–yang sudah rusak— dari genggaman tanganku.
Aku menatap sahabatku itu dengan rasa bersalah. "Maaf ngerepotin, Han."
"It's okay, Yun." kilah Hanni sambil mengusak puncak kepalaku. "Kamu yakin gak apa-apa? Ini pertama kalinya kamu ceroboh sama smartphone sendiri, sampe jatuh ke selokan gitu. Gimana ceritanya, sih?"
Tanpa kusadari, jantungku mulai berdetak tidak wajar. Ya, aku masih enggan menceritakan rangkaian teror yang menghantuiku selama beberapa hari ini ke orang-orang terdekatku, termasuk Hanni dan Jeno.
"A-Aku.. aku lagi oleng aja, Han." dalihku berbohong. "Udah, gak usah dipikirin!"
Untungnya, Hanni percaya-percaya saja dengan perkataanku barusan. Dia mengangguk paham, lalu bangkit dari acara duduknya. Hanni menoleh ke arahku lagi. Ah, tepatnya, dia sekarang menatap Jeno yang sedaritadi duduk di sebelah kananku. "Jen, jaga Yuni bentar sampe aku balik, ya?"
Laki-laki itu hanya mengiyakan. "Iya."
Setelah Hanni benar-benar pergi dari kos-nya, Jeno langsung merangkul bahuku erat. Dia menatapku dengan sarat kekhawatiran yang mendalam. "Yang, yakin kamu gak apa-apa?" tanya Jeno. "Waktu aku nelpon kemaren, aku denger ada suara yang neriakin nama kamu. Itu kenapa, Yang?"
Refleks, aku justru menundukkan kepalaku begitu dalam. Terus terang saja, aku tidak mau Jeno sampai tahu kalau aku tengah diteror oleh salah satu orang yang tergila-gila padanya. "Jujur, Yang! Apa kamu lagi ada masalah?" desak Jeno.
Dengan menguatkan hati, akupun memberanikan diri untuk menatap Jeno. Kepalaku menggeleng pelan. "Gak ada! Serius, gak ada, Jen!" tegasku.
Jeno menghela napas pelan. Dia akhirnya mengangguk paham, kemudian memeluk tubuhku. "Oke, aku percaya. Kalo ada apa-apa, cepet bilang sama aku, ya?"
Aku merenggangkan pelukan kami sejenak, menatap pacarku ini dengan alis tertaut. Yang ditatap hanya tersenyum tipis sembari mengelus kedua pipiku. "Aku ini pacarmu, aku punya kewajiban buat ngelindungin kamu dari bahaya apapun!" imbuh Jeno.
Oke, sekarang aku bisa merasakan mataku mulai memanas. Aku langsung berhambur memeluk Jeno lagi, mencegah agar dia tak sampai melihat mataku sedang berkaca-kaca karena terharu oleh penuturan laki-laki itu tadi. "Makasi banyak," gumamku sambil menahan tangis.
Maafkan aku, Jeno Devandra Simanjuntak. Aku belum bisa jujur padamu.
🍑🍑🍑
"Bayu!"
Aku spontan memanggil Bayu ketika tak sengaja melihatnya berkeliaran di lobby setelah kelas oncology hari ini bubar. Buru-buru aku menghampiri laki-laki itu, aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya perihal kejadian kemarin.
Si Bayu menoleh ke arahku hanya dengan sekali panggil, dia tersenyum tipis. "Eh, Yuni?"
"Anu, buat yang kemarin... makasi, ya? Makasi karena udah nolongin aku!" ujarku.
Bayu terdiam selama beberapa saat, tapi kemudian tersenyum lagi. "Iya, sama-sama."
Satu tangannya menepuk bahuku pelan. "Tetep waspada ya, Yun? Aku gak tahu kenapa kamu sampe diteror kayak gitu kemarin! Saranku, mending kamu jangan kemana-mana sendirian. Minimal kamu minta pacar kamu nemenin, atau Hanni mungkin?"
Seketika aku mengigit bibirku resah. "Err.. Bayu?"
"Ya?"
"Bisa, gak? Kamu rahasiain kejadian kemaren dari Hanni?"
![](https://img.wattpad.com/cover/124201986-288-k709044.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe || jeno nct ✔
Fanfiction[17+ || semi non-baku] "I should leave 'cause you deserve better." - Breathe, Lauv Saat hubunganmu dengan pacarmu memburuk, lalu tiba-tiba muncul laki-laki lain yang berhasil membuatmu nyaman, manakah yang akan kamu pilih? Tetap setia pada pacarmu...