Jeno menatap Jaden dengan tatapan yang nyalang, meski tidak terlalu kentara tapi aku memahami arti tatapannya itu. Sudah pasti laki-laki itu sedang dalam suasana hati yang tidak bagus sekarang. Setelah cukup lama bergeming, Jaden akhirnya tertawa paksa sembari menepuk bahu Jeno dengan kikuk. Dia terlihat seperti maling yang ketahuan mencuri oleh warga kompleks. Entahlah, apa perasaanku saja?
"O–oi, Jen!"
"Ngapain ke sini, Ja?" tanya Jeno to the point. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
Sumpah, baru kali ini aku melihat Jeno memasang tampang segarang itu! "Ah... aku tadi nganterin kak Yuni pulang, nih!.." jawab Jaden terlihat gugup.
Dia menoleh ke arahku, lalu buru-buru pamit undur diri. "A-Aku pulang dulu ya, Kak?"
"Eh, i-iya.." ujarku ikut-ikutan gagap karena melihat Jaden demikian.
Jaden lantas bergegas pulang ke rumahnya. Tapi, sebelum dia benar-benar pergi, Jaden sempat berbalik ke arah Jeno lagi dan melambaikan tangannya. "Pamit ya, Jen?" sahut Jaden.
Namun, Jeno tak membalas perkataan Jaden itu. Dia tetap menatap nyalang ke arah laki-laki itu dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sampai Jaden benar-benar pergi dari lantai dua bangunan ini. Kini hanya tersisa aku dan Jeno. Kami sama-sama diam, menyelami pikiran masing-masing. Daritadi pandanganku hanya tertuju pada ujung sepatuku, tidak berani memandang Jeno. Entah, tiba-tiba saja aku jadi takut karena melihat ekspressinya barusan.
"Sejak kapan kakak deket sama Jaden?"
Sontak, kepalaku refleks terangkat. Aku cukup kaget karena Jeno mendadak mengajukan pertanyaan itu padaku. "A-Aku sama dia cuma kebetulan ketemu di toko buku tadi.." jawabku dengan nada gemetar.
Sesaat setelahnya, dahiku mengernyit. Wait! Ngapain kesannya jawabanku kayak cewek yang ketauan selingkuh sama pacarnya!?, seruku dalam hati.
"Dia biasa anter-anter kakak kayak gini?"
"Ini pertama kalinya, Jen.."
"Kalian sering chat bareng?"
"Ehmm... Jaden akhir-akhir ini emang sering spam aku..."
Lagi-lagi dahiku mengernyit. Astaga! Jeno memberiku banyak pertanyaan layaknya polisi yang sedang menginterogasi pelaku kejahatan. Hebatnya, aku jadi terintimidasi seketika. Merasa tidak tahan lagi dengan situasi ini, aku berencana mengambil ancang-ancang untuk kabur. "A-Aku duluan, Jen..." pamitku seraya berjalan melewati Jeno–menuju pintu kos-ku.
Akan tetapi, tanganku tiba-tiba ditarik kuat dari belakang. Jeno membawa tubuhku ke dalam pelukannya dalam hitungan detik. Dia mendekapku sangat erat, sampai-sampai aku tidak bisa lari kemana-mana. Mataku membelalak, terlalu kaget dengan situasi yang terjadi saat ini. Napasku juga ikut tercekat serta tubuhku tiba-tiba menjadi kaku. "Jeno?.."
Tenggorokanku terasa kering begitu menyebut nama Jeno. Bukan main, pelukan laki-laki itu sukses membuat suhu tubuhku naik serta kedua tanganku menjadi tremor! "Aku gak nyerah, Kak!" bisik Jeno pelan, persis di dekat telinga kananku.
"Biarpun sainganku nanti sahabatku sendiri, biarpun kakak nolak aku berkali-kali, aku gak akan nyerah!" timpalnya lagi. "Aku bakal buktiin ke kakak kalo perasaanku gak main-main!"
Setelah mengucapkan rentetan kalimat tersebut, Jeno melepas pelukannya. Dia menatapku sebentar, kemudian memasuki kos Hanni tanpa pamitan. Sontak, tubuhku merosot ke lantai. Aku bersimpuh di sana sambil memegangi dadaku yang mendadak terasa sesak. Jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, pipiku juga terasa panas. Astaga! Apa yang terjadi padaku?
🍑🍑🍑
Aku mematut bayanganku di depan cermin. Sudut bibirku turun, rambutku acak-acakan, dan sedaritadi tanganku tidak berhenti memijit kening. Kepalaku pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti. Ya, secara tidak sengaja, keberadaanku telah menimbulkan percikan api di antara Jeno dan Jaden. Dua laki-laki itu seperti berkompetisi satu sama lain sekarang, padahal Jaden itu adalah sahabatnya Jeno! Mungkinkah aku menciptakan perang hebat di antara dua bocah yang bersahabat itu? Tidak, bukan mauku menjadi perusak persahabatan orang lain! Ini tidak boleh terjadi!
"Mesti gimana ini? Haduh!"
Aku kembali bermonolog sambil mengacak rambutku frustasi. Beberapa menit kemudian, seseorang memasuki kamarku tanpa mengetuk terlebih dahulu. Orang itu adalah Hanni. "Oi, Yun!" sapa perempuan itu.
Dia langsung merebahkan diri di kasurku. Memang dia seperti ini biasanya, menganggap kos-ku ini adalah rumahnya sendiri. "Napa gitu mukamu, dah? Kusut amat!" sahutnya dari tempat tidur, mungkin dia baru sadar penampakan wajahku dari cermin. Aku tidak menjawabnya. Mataku masih menatap pantulan diriku dengan tatapan menerawang. Hal itu membuat Hanni jengah. Alhasil, dia pun berjalan ke arahku dan duduk di sampingku.
"Galauin kak Mario lagi?" tanyanya sambil merangkul pundakku.
Aku menatap Hanni sebentar, lalu melepaskan rangkulannya. "Gak, kok.."
Mendengar jawabanku itu, wajah Hanni langsung berseri-seri. "Siapa, dong? Siapa? Jaden, ya? Kamu sama Jaden udah ada perkembangan, belom? Udah sampe mana?" tanyanya bertubi-tubi.
Aku pun melengos. "Han, aku perlu penyesuaian yang lama sama orang kayak dia! Ngegas banget Jaden, astaga!" keluhku.
Hanni tertawa renyah mendengarnya. "Wkwkwk! Moga lancar deh, mangat!"
Perempuan itu kembali merangkul pundakku dengan erat. Perhatiannya tiba-tiba terdikstrasi kala tak sengaja melihat gelang yang tergantung di sudut cerminku. Hanni lantas meraih gelang tersebut. "Loh? Ini beli dimana, Yun? Kok aku baru tau kamu punya gelang ini?"
Aku menoleh ke arah Hanni, lalu beralih ke gelang yang dia bawa. Tubuhku mematung sejenak ketika melihatnya. Itu gelang dari Jeno. Gelang yang dia dapatkan dari darts game di festival sekolahnya. "Dikasi orang," kataku pendek, aku langsung merampas gelang itu dari Hanni. Astaga. Kenapa, ya? Setiap mengingat hal-hal tentang Jeno, jantungku berdebar-debar begini?
"Ih, siapa!?" desak Hanni mulai penasaran.
Tiba-tiba aku merasa enggan untuk memberitahu Hanni yang sebenarnya. Pasalnya, dia belum tahu kalau adiknya yang bernama Jeno Devandra Simanjuntak itu telah menciumku dan menyatakan perasaannya kepadaku. Haruskah aku menceritakan hal itu pada Hanni sekarang? "Han, sebenernya—"
Aku menghela napas panjang. Ajang 'kejujuran' yang hendak kulakukan diinterupsi oleh ketukan pintu depan kos-ku. "Bentar, ada yang dateng!" sahutku sambil melengos.
Seraya menghentakkan kaki, aku berjalan ke pintu depan dan melihat siapa yang datang. Alisku tertaut saat seorang driver ojek online berdiri di depan pintu kos-ku dengan senyuman ramah. "Permisi, pesanan Starbucks green tea latte ukuran venti untuk Yuni?"
Keningku makin mengerut begitu sang driver ojek online bertanya demikian. "Ah.. saya gak ada mesen, Pak.." kilahku.
Si driver ojek online itu terlihat kebingungan. Dia kembali melihat smartphone-nya, lalu memandangku nanar. "Tapi, di aplikasi grab food beneran alamatnya disuruh ke sini, Mbak."
Belum sempat aku menyanggahnya lagi, tiba-tiba smartphone-ku bergetar di saku celana. Cepat-cepat aku mengambilnya dan membaca satu chat yang baru masuk. Mataku membulat seketika.
jeno simanjuntak
aku gak mau kalah dari jaden, kak.
ah, jangan lupa minum starbucksnya, oke?TBC
save my kirin-chan :" aku dukung yunjin from pledis di pd48, tpi kenapa dia bnyk yg ngehate? huhu suaranya stabil parah aku suka! :"

KAMU SEDANG MEMBACA
Breathe || jeno nct ✔
Fanfic[17+ || semi non-baku] "I should leave 'cause you deserve better." - Breathe, Lauv Saat hubunganmu dengan pacarmu memburuk, lalu tiba-tiba muncul laki-laki lain yang berhasil membuatmu nyaman, manakah yang akan kamu pilih? Tetap setia pada pacarmu...