twenty six: terror (2)

3.8K 571 23
                                    

Kejadian malam itu tidak berani kuceritakan pada orang lain. Tidak ke orang tuaku, tidak ke Hanni, tidak juga ke pacarku sendiri, Jeno. Meski ketakutan setengah mati, aku berusaha merahasiakannya dari orang-orang terdekatku supaya mereka tidak khawatir. Konyol memang. Tapi, aku rasa, jika mereka sampai tahu, keadaannya malah jadi tambah rumit.

Kalau dihitung-hitung, ini sudah hari keempat aku menerima kiriman bangkai tikus setiap malamnya. Meski Hwayoung sudah kembali–ya, perempuan itu sempat menginap selama tiga hari di rumah orang tuanya— dan tinggal tepat di samping kos-ku, si pengirim tetap tidak takut untuk menggedor pintu kos-ku setiap malam dan meninggalkan kotak berisi bangkai tikus beserta tulisan darah yang sama, yakni 'HE'S MINE'. Tak sampai di situ saja, si pengirim juga nampaknya menempuh cara lain untuk mengancamku. Dia selalu menanamkan paku di ban vespa-ku setiap kali aku memarkirkannya di parkiran kampus. Membuat ban kendaraanku itu harus berkali-kali diganti sampai aku muak sendiri dan beralih menggunakan angkutan umum saja. Pernah sekali Hanni curiga, mengapa aku rajin sekali mengganti ban vespa-ku ke bengkel. Tapi dengan bodohnya, aku justru berbohong pada sahabatku itu dengan mengatakan bahwa ban kendaraanku selalu bermasalah akhir-akhir ini.

Aku berusaha tidak memikirkan teror beruntun yang menghantuiku dan menganggap bahwa hal tersebut hanyalah ulah orang iseng yang gemar melakukan prank. Tapi berlarut-larut, aku jadi tidak bisa tenang dalam menjalani aktivitasku. Aku berasumsi bahwa si peneror itu tidak menyukai hubunganku dengan Jeno. Atau bisa dibilang, dia adalah salah satu penggemarnya Jeno. Menyukai laki-laki itu dan ingin aku menjauh darinya. Entah, ini hanya tebakanku belaka. Tapi jika itu memang benar, aku tertarik untuk membongkar identitas si peneror itu. Makanya, selama ini aku berusaha meneguhkan diri dan bertahan dalam menghadapi teror-teror yang diberikannya.

🍑🍑🍑

"Yun, kantung matamu parah banget, loh!"

Hanni menegurku demikian saat kami sedang istirahat di kantin. Aku menghentikan kegiatan mengunyah makan siangku, lalu buru-buru mengambil cermin di tas untuk melihat keadaan wajahku sendiri. Benar katanya, sekarang aku memiliki kantung mata yang terlihat sangat jelas dan parah. Semua ini pasti akibat dari insomnia yang kuderita karena memikirkan teror tersebut!

"Ah, iya! Ini pasti gara-gara aku insomnia belakangan ini!" dalihku seraya melanjutkan makan siangku lagi.

Hanni masih menatapku nanar, sepertinya dia tidak begitu menerima alasanku tadi. "Beneran cuma karena itu?"

Aku mengangguk cepat. "Iya, gak usah dipikirin! Paling nanti sembuh sendiri, hehehe!"

Hanni menghentikan kegiatan makannya, lalu mengambil napas dalam-dalam sembari menatapku skeptis. Secara spontan, jantungku berdebar keras melihat ekspressinya saat ini, takut ketahuan sedang berbohong. Berusaha mencairkan suasana, aku pun menyengir lebar ke arahnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Kenapa, Han?" tanyaku sesantai mungkin.

Beberapa saat kemudian, dia pun mengangguk kecil padaku. "Kalo emang karena itu, istirahat yang cukup, Yun! Jangan sampe sakit, aku khawatir liat keadaan kamu akhir-akhir ini!" titahnya.

Aku tertawa pelan mendengar nada bicara khas Hanni yang diktator itu. Dalam hati aku merasa menyesal, saat sahabatku ini menunjukkan kekhawatirannya, aku justru tidak bisa menceritakan semua yang terjadi. Aku selalu tak pernah jujur pada Hanni terhadap masalahku sendiri.

"Ah, Yun!"

Aku kembali menoleh ke arah Hanni yang tiba-tiba bersuara lagi. "Ya?"

"Hari ini aku gak bisa pulang bareng kamu, ada rapat himpunan lagi habis kuliah jam terakhir."

Aku hanya bisa mengangguk paham sambil sibuk menyantap makan siangku sampai habis. Hanni tertawa melihat tingkahku, hendak menoyor kepalaku sebelum smartphone-nya berdering. Tanda kalau ada panggilan yang masuk. Perempuan itu segera beranjak dari tempat duduknya sesaat setelah menerima panggilan dari sang ketua himpunan yang mengharuskannya mempersiapkan ruang rapat nanti.

"Aku duluan, Yun!" sahut Hanni sambil mengusak pelan puncak kepalaku. "Inget! Kalo ada apa-apa, bilang sama aku, ya?"

"Iya, kapten!"

Setelah perempuan itu pergi, aku menghela napas panjang. Maafkan aku, Hanni. Untuk masalah ini, aku belum bisa jujur.

🍑🍑🍑

Aku menghela napas berat ketika sampai di parkiran kampus. Kutatap lurus vespa-ku yang masih bergeming di salah satu petak tempat parkir. Kukira hari ini si peneror itu sudah jera membuat ban vespa-ku kempes, tapi perkiraanku ternyata meleset. Orang itu masih senang membuatku pulang dengan tidak tenang.

"Oh, sial! Lagi-lagi dia berulah!" umpatku kesal.

Tanganku segera meraih smartphone-ku di saku celana, hendak menelpon bengkel langgananku sebelum seseorang menepuk bahuku lumayan keras. "Kenapa, Yun?"

Aku membalikkan badan, lalu bertemu dengan Bayu Sahadewa, teman sekelasku yang sedang memandangku dengan cemas. Aku jadi mengurungkan niatku untuk menelpon bengkel langganan. Sepertinya Bayu tidak sengaja mendengar umpatanku barusan. "Gak... ini, ban vespa-ku lagi-lagi kempes. Maunya nelfon bengkel langgananku." ujarku.

Bayu terdiam selama beberapa saat. Dia kemudian mendekati vespa-ku. Sedikit membungkuk untuk memeriksa bannya, dan matanya langsung membelalak ketika mendapatkan tiga paku tertancap di masing-masing ban vespa-ku. "Aku bantuin, ya? Ada bengkel deket sini, kebetulan yang punya temenku waktu SMA. Kita ke sana aja buat ganti ban kamu!"

"Eh, tapi—"

Dengan muka panik, Bayu pun menggiring vespa-ku secara manual menuju bengkel yang dia maksud, tanpa mendengar penolakanku. Aku tidak punya pilihan lain selain mengekorinya dari belakang. Dalam hati aku ingin mengutuk diriku karena telah merepotkan orang sebaik Bayu Sahadewa ini. "Bayu, maaf ngerepotin." ucapku merasa bersalah.

Bayu menoleh ke arahku sebentar, lalu melanjutkan jalannya. "Gak apa, kasian juga kalo kamu sendirian ke bengkel. Ini udah mau malem." kilahnya.

"Pagi ini Morgan cerita ke aku, katanya dia selalu liat kamu pulang malem-malem karena harus ngurus ban vespa-mu yang kempes tiap kamu bawa ke kampus." imbuh laki-laki itu.

Aku menaikkan sebelah alisku. "Eh?"

"Tadi aku gak sengaja lewat parkiran, terus liat kamu yang keliatan kesel waktu meriksa ban vespa-mu. Karena gak tega, aku samperin kamu dan meriksa ban vespa-mu juga. Aku kaget waktu liat tiga paku nancep di sana, udah pasti ada orang lain yang sengaja bikin ban kamu selalu kempes!"

Bayu lagi-lagi menoleh ke arahku, dia melayangkan tatapan penuh tanda tanya. "Kamu gak lagi diteror sama seseorang 'kan, Yun?"

Kata-kata dari Bayu itu berhasil membuatku tercekat. Belum sempat aku membalasnya, smartphone-ku tiba-tiba bergetar hebat di saku celana. Ada panggilan yang masuk, dari Jeno. Aku sedikit was-was ketika menekan tombol hijau untuk menerima panggilannya.

"Halo?" ujarku begitu menempelkan smartphone-ku di telinga, suaraku terdengar gemetar sekarang.

"Yang? Kok kamu belum pu—"

"YUNI, AWAS!"

Bayu dengan cepat menarik tanganku ke arahnya, membuat tubuh kami berdua sama-sama tersungkur di jalanan depan kampus. Smartphone-ku terpelanting dan jatuh tepat di selokan dekat sana. Mataku seketika membulat, jantungku mendadak berpacu dengan cepat, dan keringat dingin mulai mengucur di pelipisku. Apa-apaan ini? Apa yang sedang terjadi? "ANJING TUH MOTOR!" umpat Bayu dengan napas terengah-engah di sampingku. "DIA HAMPIR AJA NABRAK KAMU, YUN!"

Aku menoleh ke belakang, lalu mendapati sebuah motor KLX yang dikendarai seseorang berpakaian serba hitam melintas dengan kecepatan tinggi. Jantungku serasa hampir copot ketika menyaksikannya. Si peneror itu tidak hanya ingin hubunganku dan Jeno berakhir, tapi dia juga ingin melenyapkanku!

TBC

maafkan, aku lupa kalo ff ini belum tamat :") jujur ide buat lanjutin cerita ini smpet buntu kemaren" hiks!

Breathe || jeno nct ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang