Tanya dan Jawab itu adalah Kita

146 27 17
                                    

Satu pesan masuk.

Ini masih pukul satu dini hari dan Yoongi bertahan dalam keterjagaan. Sudah biasa begini, kantuk seolah malas untuk menculik dia, makanya Yoongi dibiarkan insomnia.

“Ibu ...,” bisiknya pelan saat netra itu melihat pesan apa yang datang—foto tangan seseorang, dengan cincin nikah yang selalu Yoongi kutuk. Tak lama berselang, satu pesan teks muncul.

xxxxxxxxxx:
“Dia akan tetap baik-baik saja selama kau jadi anak baik, Yoongi. Tugasmu hanya bermain dengan Taehyung.”

Yoongi lelah untuk menangis, ceruk air matanya kerontang ... jauh sebelum hari ini. Kala itu dia masih sebelas tahun, tinggal di sebuah rumah sederhana, dengan dipan kayu dan pohon kesemek besar di halaman belakang. Beberapa anak bertanya, “Yoongi, mana ayahmu?”

Lalu semua tanya itu selalu bermuara ke pangkuan seorang ibu penyayang, yang dijawab, “Ayahmu adalah malaikat, jadi sedang sibuk menjaga orang-orang.”

Yoongi berakhir dengan terus mengatakan manis tersebut pada teman-temannya, lengkap dengan perasaan bangga: Ayahku malaikat.

Di suatu hari, Min Yoongi menemui takdir yang bahkan tak pernah terpikirkan. Dia terbangun lalu mencari ibunya ke semua ruangan ... tak ada. Dia megetuk pintu-pintu rumah orang lain, dan berulangkali juga menemukan ketiadaan.

Bocah itu coba menangis dan menjerit, biasanya kalau sudah begitu ibu akan segera datang, memangkunya lalu menawarkan permen, tapi sekarang dia tidak pernah kembali, sekeras apapun Yoongi memanggil ... suara ibu tak terdengar lagi.

Lalu, ada keajaiban. Selama bertahun-tahun, ada paket yang datang setiap bulan. Makanan, keperluan rumah, dan keperluan sekolah, dan uang. “Ini pasti dari ibu,” pikirnya, meski tak pernah ada surat atau apapun.

Beberapa orang mengajaknya pergi ke panti asuhan, tapi Yoongi menolak, “Ibu pasti akan kembali. Kalau aku pergi, nanti dia akan bingung mencariku.” Min Yoongi bertahan di rumah yang sama, dengan para tetangga yang baik hati. Yoongi mencuci semua baju kotor sendirian, menyapu halaman, dan menyiapkan segelas teh untuk ibu setiap sore, berharap wanita itu datang dan bisa segera minum.

Pada akhirnya, di bangku SMA dia dijemput seseorang yang datang dengan menunjukkan sebuah baju yang sangat Yoongi kenal, “Ibumu bersamaku, jadi ikutlah kalau ingin menemuinya.”

Ingatan Pria itu terasa sakit. Dia masih berharap bahwa semua hanya mimpi. Saat dia bangun ... Min Yoongi masih berusia sebelas tahun, dan berkeyakinan bahwa ayahnya adalah seorang malaikat. Ketika dia bangun ... ibu akan datang dengan mengomel, memintanya cepat-cepat bergegas ke sekolah

Sayang, mimpi itu tidak pernah selesai, sekeras apapun dia menyakiti dirinya sendiri, Yoongi tak pernah bangun.

.
.
.
.

“Sunbae!” panggilnya riang sambil duduk di hadapan Yoongi. Pria itu ... entah kenapa sangat tampan kalau pakai kacamata. Terlihat seperti perpaduan bad boy yang pintar—dan karena dia pintar, jadi tahu cara menghormati wanita.

“Hmmm.” Itu saja responnya.

Jingyi meletakan sebuah buku di atas meja. “Aku sudah menuliskan beberapa kosa kata yang dapat kau pakai untuk menjawab sapaan orang.”

Dia membuka halaman pertama. “Kau bisa jawab ya, hai, halo, atau menyebut nama orang yang menyapamu. Contohnya ‘Jingyi ....’ ” Gadis itu memperagakan dengan sangat baik, nada dan ekspresi wajahnya terlihat manis 100% tanpa gula tambahan.

Yoongi nyaris tertawa, dia menutup mulutnya dengan punggung tangan lalu mengalihkan wajahnya agar tidak menghadap ke arah gadis ini. Demi Tuhan, pengalaman pertama menertawakan orang seperti ini terasa canggung sekali bagi Yoongi.

PETRICHOR (Min Yoongi | Ju Jingyi) ★COMPLETED★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang