Moonlight Sonata

445 45 28
                                    

Langit menggelap, cerah mengalah pada dominasi awan abu-abu. Angin bertiup terlalu keras sampai ranting pohon mengetuk-ngetuk dinding dan kaca. Ju Jingyi mengalihkan atensinya dari setumpuk tugas kuliah ke luar jendela.“Sudah mulai musim penghujan, ya?”

Hening ... dia termangu menatap kekosongan, seolah menunggu jawab daritanya yang tak pernah dialamatkan. Tidak ada pemikiran khusus atau perdebatan batin, semua terdiamkan dalam sunyi, termasuk pikirannya.

Semenit, dua menit, tiga menit, Jingyi terlonjak saat sesuatu yang terlalu dingin menyentuh pipinya, spontan dia menyentuh sisi wajah itu, dan malah menggenggam tangan seseorang. Dia menoleh. “Su-sunbae?” Sistem motoriknya lumpuh, gadis yang dikenal lembut itu lupa melepas genggaman.

Min Yoongi berdiri tenang dengan masih menempelkan sebungkus es krim ke pipi Jingyi. “Wajahmu tak membeku?” nada bicaranya terlalu datar. Seolah mereka tidak pernah saling kenal.

“Ah! Dingin!” Terlambat sembuh dari keterkejutan, dia menepis kasar tangan dan es krim Yoongi. “Maafkan aku, Sunbae. Aku terkejut.” Dia membungkuk berkali-kali sambil memengangi sisi wajahnya yang mulai terasa perih dan panas. Sesekali dia mendesis pelan.

Es krim di tangan Yoongi berpindah ke atas meja, dia lalu membungkuk, tangannya bergabung dengan tangan Jingyi untuk menangkup pipi yang kedinginan itu. “Refleksmu jelek.”

“Ya?” Jingyi kebingungan, dia dapat merasakan kepak bulu matanya melamban saat netra Min Yoongi mencipta teduh sampai ke tulang. Ini terlalu dekat, tepi depan sepatu mereka sudah bersentuhan. Keintiman menyita terlalu banyak napas dan perhatian. Gerak waktu dan alam ikut-ikutan melambat, mungkin berhenti sejenak untuk menontoni mereka berdua.

Ada yang terjebak dalam ketidakberdayaan: logika dan syaraf.

“Kenapa begitu bening dan dalam?” Min Yoongi bertanya-tanya tentang berapa banyak laut yang dipakai Tuhan untuk membasuh mata itu pada saat penciptaannya

“Ya?” Lagi, Jingyi dibuat mengerjap oleh pertanyaan yang sebenarnya Yoongi suarakan tanpa sadar, dia pikir tanya tadi hanya tercipta dalam kepala.

Waktu mulai kembali pada koridor, berjalan sedetik demi sedetik dalam tempo yang diharuskan. Napas yang tertahan mulai terbuang dengan canggung. Yoongi menjauhkan tangannya dari wajah gadis yang dipenuhi banyak keterkejutan ini. “Sudah tidak kedinginan lagi, ‘kan?” 

“Ya, terimakasih banyak.” Jingyi membungkuk ulang dengan kikuk. Ketika dia mengangkat kepala, Min Yoongi sudah berjalan menjauh. “Sunbae! Es krimmu tertinggal!” teriaknya.

Yoongi berhenti melangkah, berbalik, memandang Jingyi lurus-lurus. “Aku baru mau menerima ucapan terimakasih setelah kau menghabiskannya.” Lalu dia kembali membelakangi Jingyi, tapi tidak melanjutkan perjalanan, hanya berdiri kaku.

“Hhhhhh!” Napas pria itu memberat, terenggah, dan agak terhuyung, membuat Jingyi berlari dengan khawatir ke arahnya.

“Sunbae, kau baik-baik saja?” Jingyi memengangi lengan atas Yoongi, mencari sesuatu yang salah dari dia.

Pandangan mereka berdua kembali beradu. “Ini lebih layak dari yang seharusnya aku terima.”—Harusnya aku diberi napas buatan, tenggelam dalam matamu tidak pernah mudah, bantinnya. Lalu Yoongi kembali berjalan tanpa berkata apa-apa lagi, seperti  meninggalkan kasir minimarket sehabis membayar.

Ju Jingyi dititipkan kembali pada keheningan. Gadis itu melihat punggung Yoongi menghilang di antara rak-rak tinggi perpustakaan. “Sunbae ...,” dia berbisik, “apa aku tidak akan terlihat aneh kalau makan es krim ketika mendung?” lanjutnya.

Kemarin, sekotak susu.

Hari ini, sebungkus es krim.

Besok ... sekaleng soda? Atau sepaket ayam?

Satu-satunya kepastian yang dilihat Jingyi dan Yoongi adalah ketidakpastian.

.
.
.

Satu Bulan  yang Lalu

Ju Jingyi rasanya mau meruntuk, tapi dia sadar ... udara dan ruang kosong tak bersalah sampai harus menerima kalimat buruk. Tetapi ini mengesalkan! Ju Jingyi jengah sendiri menghadapi suara marah dari dalam kepalanya yang berdemokrasi minta pelampiasan.

Tidak ada orang waras yang akan menyuruh mahasiswi pergi ke kampus tengah malam, dan orang gila itu adalah Min Yoongi, senior yang ditunjuk dosen untuk menjadi pembimbing lomba karya ilmiahnya.

Masih Jingyi ingat bunyi pesan singkat itu, “Ke ruang orkestra Fakultas Ilmu Budaya, sekarang!!”

Gadis itu sudah coba menelpon, ingin meminta rasionaliasi atas suruhan anehnya, tapi Min Yoongi tidak menjawab. Lahir sebagai seseorang yang terlalu perasa dan penuh ‘Bagaimana kalau ...,’ membuat Ju Jingyi malah memenuhi keinginan si dia, makhluk yang seolah baru datang ke bumi sebulan lalu, masih terlalu asing—dan bodoh- untuk mengerti perasaan manusia.

Dengan langkah yang tergesa-gesa Jingyi meniti anak tangga. Lampu-lampu di lantai atas sudah dimatikan beberapa jam lalu—peringatan satpam di depan. Benar, dia tertahan sejenak memandang kegelapan di koridor, hanya lampu ruang orkestra yang masih menyala dari kejauhan. Terkutuklah ingatan-ingatan soal hantu kampus yang telah dia dengar dan sekarang terbayang, “Ayolah, jangan paranoid!”

Gadis itu mengendap, memperpendek jarak. Sayup-sayup, terdengar denting piano. “Moonlight Sonata itu ...,” gumam Jingyi, “bukan hantu, ‘kan?”

Dalam ruang luas itu, Min Yoongi duduk sendirian memainkan piano, dia nampak terpuji dengan kemeja hitam yang lengannya digulung sampai ke sikut. Kulitnya terlalu putih untuk seukuran pria yang katanya berandalan.

Musik berhenti dengan penutupan yang disentak, lalu hening yang kental merembet memenuhi ruangan. Seperti kembang api—meledak keras, lalu selesai, meninggalkan ketidaan dan asap.

Ini adalah panggung dari simfoni sunyi, yang memberangus semua gerak. Angin sampai-sampai menjeda hembusnya. Hanya terdengar sendawa hujan yang membentur tanah di luar sana.

Jingyi menatap bagaimana kepala Yoongi menunduk dalam, seolah piano itu adalah peti mati. Cukup lama sebelum akhirnya gadis itu mendengar bisikkan lirih, “Tidak apa, semua baik-baik saja.”

Sebelah tangan Min Yoongi menyentuh kepalanya sendiri, lalu mengusap perlahan seolah menenangkan seseorang. “Tidak apa, kau akan baik-baik saja.”

Min Yoongi terus mengusap kepalanya sendiri, sedangkan tangan yang lain menghapus jejak air mata di wajah. Begitu, terus berulang. Ini adalah puncak dari kesepian. Napas Jingyi tertahan, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi, tapi kemampuan analisisnya mendadak picang.

“Menangislah, aku di sini, menenangkanmu,” kata Yoongi lagi. Derik dari monolog itu terasa menyakitkan untuk diterima.

“Sunbae ...,” dia berbisik terlalu pelan sampai tidak menggerakkan bibir. Alam bawah sadar telah mengundang gerak pada kakinya untuk melangkah. Mendekat, memenuhi hasrat untuk mengobati. Luka itu tak bisa Jingyi terima untuk ada pada siapapun, pada orang seasing apapun.

Dibawa sosok rapuh itu ke dalam pelukan hangat. “Ada aku yang memelukmu, jangan hadapi semua seorang diri,” lirihnya. Diusap lembut kepala Yoongi, seperti menenangkan bocah lelaki yang terbangun di malam hari setelah mendapati mimpi buruk.

“Kenapa harus terus terbangun sebagai Min Yoongi yang tidak ingin kukenal? Dia gagal,” pria itu tersengal dengan parau, “begitu sakit, rasanya ada sesuatu yang menggali sampai ke dasar hatiku.”

“Ceritakan lebih banyak lagi, aku mendengarkanmu.” Jingyi hanya merasakan kesedihan yang berdiri kokoh di benak pria ini. Yoongi masih terus menangis, dan yang dapat Jingyi katakan hanya kalimat yang pria itu ungkap sebelumnya, “Tidak apa, semua akan baik-baik saja.”

Begitu lama, hingga tiba waktu di mana isak itu menemui usai. Napas Yoongi menjadi lebih tenang, lantas tubuhnya melemas.

“Sunbae?” Jingyi menguncang bahunya pelan.

Min Yoongi jatuh pingsan.

PETRICHOR (Min Yoongi | Ju Jingyi) ★COMPLETED★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang