“Ji ...,” Jimin berlirih dari ujung telepon sana, “Bertahanlah. Biarkan Yoongi bahagia di sana.”
“Tapi dia benar-benar kembali!”
“Ju Jingyi!”
“Jim ... tidak bisakah Tuhan beri kesempatan pada mereka yang sudah meninggal untuk kembali ke sini? Pada Yoongi?”
“Ji, jangan bebani Yoongi seperti ini.”
Sambungan telepon berakhir begitu saja, tanpa ada kalimat apapun. Jingyi terlalu takut kalau harus mendapati kerinduannya telah menyakiti Yoongi di sana.
Tiga bulan berlalu dan Ju Jingyi membenci otaknya yang kadang terlalu kuat dalam mengingat. Pria itu telah meringkusnya dalam ketakutan. “Apa aku akan benar-benar gila?” Ditimang sebotol obat penenang sambil berjalan mondar-mandir di depan jendela toko, sesekali mengusap pipinya sendiri.
Langkahnya terhenti.
Bunyi air membentur atap. Hujan sudah menyulap senja untuk jadi malam dengan terlampau cepat. Jingyi bergegas menyambar payung yang bersandar tak jauh dari pintu toko. Lonceng berbunyi, tanda dia pergi, menembus hujan, kembali meniti jalanan.
Remang-remang.
Manusia bergegas masuk ke toko terdekat atau halte, sebagian lagi membawa payung—tapi tergesa-gesa juga. Taxi-taxi dan bus menjadi lebih penuh, Jingyi berdiri di sisi jalan, melihat bagaimana cahaya kota memburam romantis di balik rinai.
Lalu sebongkah kaca seolah bersarang dalam tenggorokannya. Pria itu ... berdiri di sana, masih dengan kemeja hitam dan topi yang sama. Tangan gemetarnya merogoh ke dalam saku mantel, mengambil botol obat. Payungnya terjatuh, dia sibuk membuka tutup botol tersebut yang membasah dan licin untuk dibuka.
Jatuh.
Jemarinya bergetar, tergantung di udara.
Semuanya jatuh. Obat penenang, hujan, dan kesedihan.
Jingyi menatap gamang ke pria di seberang jalan, yang mulai mengangkat topinya lalu balas menatap datar. Samar-samar, dia mengurai senyum.
“Sunbae?”
Kakinya berlari, membawa tubuh itu. Min Yoongi tampak terlalu dekat, begitu mudah untuk digapai.Hujan menderas, begitupun tangisnya.
Dia menyeberang tanpa punya waktu untuk mempedulikan apapun. Suara klakson melengking. Tubuh Min Yoongi yang berdarah hari itu datang menyergap pergerakan tubuhnya. Di tengah jalanan Seoul, Ju Jigyi membeku dalam kenangan.
‘Kau datang untuk membawaku ikut?’Brukk!
‘Sunbae, apa dulu kau ketakutan seperti ini?’
Suara hujan bercampur suara riuh manusia.
Tubuh gadis itu ambruk kepayahan, terduduk disorot lampu mobil yang berhenti semeter sebelum menghantam tubuhnya.
Wajahnya menatap ke tepi jalan, tapi yang dilihatnya hanya kaki dari orang-orang yang mendekat. Dia tak ada, Min Yoongi hanya singgah untuk musnah. Kemelut serserak di dalam kepala, Ju Jingyi mengepalkan tangan dan tersedu-sedu di tengah hujan dan manusia yang bertanya-tanya.
“Hei, kau hampir membuatku kecelakaan!” sergah pengemudi dengan suara keras. Entah, telinga Jingyi hanya bisa mendengar tapi dia tak bisa memahami apapun sekarang.
“Aku akan mengganti semua kerugian,” timpal suara berat dari sepasang kaki yang mendekat. Berhenti tepat di depan Ju Jingyi, lebih dekat dari siapapun di sana.
Sehelai mantel disampirkan ke kepala Jingyi. “Berhati-hatilah ketika hujan.”
Jingyi hanya memejamkan mata, merasakan bagaimana luka-luka tentang Min Yoongi tetap basah dan mendalam di nadinya. Bahkan napasnya sendiri pun terasa tajam. “Ini bukan hujan. Bukan ....”“Dia bilang ... ini cinta.” Gadis itu terisak lagi, dia membekap mulutnya sendiri.
Pria itu merapihkan mantelnya agar menutupi wajah Jingyi dari pandangan orang-orang yang satu persatu mulai meninggalkan lingkaran. “Sebanyak ini?” dia lanjut bertanya.
“Ya ....”
“Untukmu?”
“Ya ....”
“Kenapa?”
“Dia bilang tidak tahu. Tuhan yang menciptakan aku untuk dicintai olehnya.”
“Dia siapa?”
Jingyi mendongak. “Min Yoon—“ Dada gadis itu terasa sesak, dia terenggah dan membuang wajahnya ke arah aspal yang basah. “Aku terus menerus berhalusinasi.”
“Ji?” Pria itu memanggil namanya tanpa pernah ada perkenalan di antara mereka.
“Pergi!”
Jeritan itu memecahkan suasana. Orang-orang berhenti dari gerak dan bisikan, mulai menatap keduanya dalam hening, menyisakan kesan mengguncang.
Jingyi merasakan ketakutan bergerak menggigit tepi-tepi jari, dia tidak bisa menerima. “A-aku sudah gila.” Tangan rapuh itu gemetar, merusaha menopang tubuhnya agar bangkit, tapi tak bisa. Sejurus kemudian tubuhnya terasa melayang.
Tepat di bawah hujan malam ini, pria itu membawa Jingyi dalam gendongan. Menerobos kerumuman orang yang kembali sibuk memperhatikan di bawah payung yang mekar. Ju Jingyi terpaku, tidak peduli berapa banyak air hujan membuyarkan pandangan.
“Dipandangi terus seperti itu membuatku merasa tampan,” bisiknya lalu menghadiahi sebuah kecupan manis di pipi Jingyi. “Jika kau bingung, panggil aku Suga. Kebetulan aku turun dari langit bersama hujan, menggantikan Yoongi,” bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRICHOR (Min Yoongi | Ju Jingyi) ★COMPLETED★
Romance"Cinta, apa sebanyak gerimis hari ini?" "Tidak. Dia melebihi jumlah butiran hujan pertama hingga hujan terakhir di dunia." "Sebanyak itu ... untukku? Kenapa?" "Mana aku tahu, Ji. Tuhan yang menciptakanmu untuk aku cintai." Penggambaran pria itu sing...