Petrichor

95 24 5
                                    

Lilin-lilin di beberapa sudut ruangan sudah nyaris kehilangan nyala. Waktu pemadaman listrik di kota sepertinya ditambah menjadi lebih lama. Beberapa obat tercecer di atas meja, sebagian lagi tumpah ke atas lantai—tak ada hasrat untuk membereskan.

Jingyi malah bergerak menyalakan lilin baru—yang satu ini beraroma terapi, dan hanya butuh sedikit waktu untuk kemudian dapat diciumnya harum musim semi di sini, di toko parfum yang seharusnya tutup satu jam yang lalu. Diam-diam jemari itu membuka handphone, mencari lagu sedih yang kira-kira dapat bersinergi dengan suasana remang.

Suara lonceng toko memenuhi udara, angin kecang menyeruak masuk seiring dengan terbukanya pintu, meniup lilin-lilin, dan menciptakan kegelapan total. Ada pengunjung yang datang terlalu malam.

Dengan agak tergesa gadis itu meraba-raba ke atas meja, mencoba mencari handphone. Tetapi tangannya lebih dulu menemukan korek, sehingga opsi tercepat adalah kembali menyalakan lilin dan bergegas ke arahnya.

“Tuan, maaf ... kami sudah tutup.” Jingyi mendekat kepada dia yang masih memaku di ambang pintu. Cahaya lilin lamat-lamat jatuh menerangi sosoknya yang bertopi. Dia menunduk, tak kunjung menjawab. Tubuh itu basah kuyup, tetesan air dari mantel hitamnya membentur lantai. Kota sedang dilanda kemarau pajang, beberapa opsi logis tentang kondisinya saat ini adalah: dia terpeleset dan jatuh ke kolam, atau baru saja di usir dari rumah dengan cara disiram.

“Tuan, masuklah. Aku akan membawakanmu handuk,” katanya sambil mempersilahkan dia masuk. Dengan agak tergesa Jingyi berjalan memunggungi tamu itu, berniat pergi ke belakang.

Namun pergelangan tangannya di cengkeram dan dalam satu hentakan dia memutar Jingyi ke arahnya. Lilin itu terjatuh namun tak padam, lantas hanya tersisa sangat sedikit cahaya di sini.

“Aku ingin parfum berbau hujan ...,” bisiknya serak, seperti habis sembuh dari kegaguan. Dapat dirasakan napasnya yang terenggah menyapu wajah Jingyi. Tubuh mereka terlalu dekat sehingga gadis itu bisa mencium sisa-sisa aroma parfum dan alkohol Sang Tamu.

Pria mabuk.

Jingyi terdiam, mencoba memetakan keadaan. Angin ingatan berhembus dalam kepalanya, menggetarkan sesuatu yang membeku di balik tumpukan waktu. “Kau ... siapa?”

Tak ada jawab.

Dalam diamnya yang panjang, cengkeraman itu terasa semakin tegas. “Kubilang aku mau parfum beroma hujan!” Dia berteriak dan menghempas tangan gadis itu keras. Tubuh Jingyi terhuyung kemudian mengbentur meja, berakhir jatuh terduduk di lantai.

Teriakan pria itu semakin banyak, samar-samar bisa Jingyi dengar isakan. Sisanya ... hanya suara botol-botol parfum yang pecah membentur dinding. Ju Jingyi tidak suka mendapatkan luka atau memar, tapi lebih tidak suka lagi melihat pria itu menyesal setelah semua ini berakhir.

“Kau siapa?” tanyanya lembut dan Jingyi terus mengulangi sembari bergerak memangkas jarak. Topi itu menghalangi segalanya.

“Tuan ... akh!” Sesuatu yang tajam melesat dan menggores pipi Jingyp cukup dalam. Refleks jemarinya terangkat, bergetar mengusap darah yang sudah mengalir sampai dagu.

Sejenak Jingyi tersentak saat secara tiba-tiba kedua telapak tangan pria itu menangkup wajahnya. Dwimanik itu bergetar nanar, lebih mirip ekspresi menyerah terhadap sesuatu daripada khawatir. “Kau terluka?” tanya si pria.

“Y-yoongi Sunbae?” Jingyi bergetar, merasakan bagaimana ilusi menjadi nyata setelah sekian lama.  Dia menangis, merasakan jemari yang dirindukan itu di pipinya.

“A-aku terlalu banyak minum obat penenang.” Jingyi terisak, tapi merasa bahwa semua ini benar.

“Aku bukan Yoongi!”

Jingyi menggeleng, meremas kemeja basah yang dipakainya, “Tidak masalah, asalkan kau mirip dia. Aku ... begitu merindukan Yoongi. Aku ingin memeluknya seperti ini.”

“Aku ingin parfum berbau hujan, kumohon ....” Isak pria asing semakin menjadi.

Jingyi tidak mencoba untuk berkata-kata lagi, yang keluar dari sela bibirnya hanya napas yang berat. Direngkuhnya  pria asing itu hangat tanpa ingin meminta penjelasan dengan bertanya ‘Kenapa?’.  Dia hanya merindukan Yoongi, dia merindukannya.

Beginilah mereka, tertahan di sini dengan napas yang mulai seirama, dengan lilin yang cahayanya menunggu mati di atas lantai, aroma parfum tumpah yang menyengat, dan handphone yang masih memutar lagu-lagu sedih.

Keduanya jatuh, kehilangan kesadaran.
.
.
.
.
Setumpuk uang menyambut pandangan pertama Jingyi pagi ini. Dengan kaku dia bangun di tengah toko yang porak-poranda. Parfum tumpah di mana-mana dan pecahan kaca sangat riskan untuk membuatnya terluka. Tetapi bukan itu ... Jingyi menangisi  ingatan yang kembali basah.

Rindu meradang dalam hatinya, menyebarkan begitu banyak rasa sakit dan kemarahan. Tidak seharusnya seperti ini, Min Yoongi telah pergi, tapi dia terus berharap pada ketidaan harapan.

Jemari gadis itu bergetar, membekap mulut dan isak yang mungkin keluar. Jingyi lelah dan muak mendengar tangisannya, tapi dia lebih muak lagi saat gagal menahan semua kesedihan itu dalam diam.

Sebuah pesawat kertas jatuh ke pangkuannya, dia bergeming. Sebuah tulisan tertera di sana: Aku juga merindukanmu.

Bayangan seseorang bergerak dari luar jendela, Jingyi bangkit tergesa untuk melihat siapa di sana. Probabilitas terbesar adalah dia, sosok yang menerbangkan pesawat kertas tadi padanya, yang mungkin punya jawab untuk semua tanya.

Kemeja hitam dan topi. Pria semalam.

Ju Jingyi berlari, mengusahakan yang terbaik, tak peduli apakah setelah ini dia harus kembali menangisi ilusinya sendiri, yang jelas dia ingin berlari. Setidaknya ketidakpastian tidak akan menyakitinya jika dia tahu siapa pria tadi.

“Tuan,tunggu!”

Dia berbelok ke tengah keramaian kota pagi ini, lalu menghilang. Ju Jingyi terpaku di tengah lalu-lalang manusia, di tengah risik dan bisik. Pesawat kertas akan tetap tinggal dalam genggaman, begitupun kenangan semalam.

‘Kau siapa?’

PETRICHOR (Min Yoongi | Ju Jingyi) ★COMPLETED★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang