Dongeng II

91 19 10
                                    

Park Jimin membeku, jemarinya mencengkeram telepon genggam seolah nyaris membuat benda itu remuk. “Tiga bulan yang lalu ... aku mendapatkan telepon darinya. Tengah malam. Dia mengeluh tentang Seoul yang tidak kunjung hujan ...,” kalimatnya terjeda oleh helaan napas berat, “dan membahas Min Yoongi. Tentu.”

Manik matanya mendung, mungkin sudah tercipta embun di sana. Dia mengalihkan pandangan pada jendela yang mulai dirintik hujan, sejurus kemudian kembali mengenang. “Malam itu dia terdengar lebih sedih dan merasa bahwa obat penenangnya mulai tidak berpengaruh.”

Segelas air putih dihantarkan oleh salah satu wanita ke hadapan Jimin. Pria itu tersenyum singkat untuk berterima kasih sebelum wanita tersebut berbalik pergi. Jimin melanjutkan, “Aku khawatir, jadi pagi itu aku pergi ke tokonya.”

“Dan dia sudah jatuh pingsan?”

“Ya, dia sudah berada di lantai dengan semua pecahan botol parfum dan beberapa butir obat penenang di atas meja.” Jimin merasa bahwa dirinya harus meminta obat yang sama, hatinya ngilu dan membuatnya kesulitan tidur sepanjang malam. “Sejak hari itu, dia terus bilang bahwa hujan telah turun di tokonya. Min Yoongi kembali. Aku benar-benar takut dia berhalusinasi.”

“Apa hari itu kau benar-benar bertanya tentang apa yang terjadi?”

“Setelah melihat semua kekacauan di toko, aku pergi sebentar.”

“Ke?”

“ATM.”

“Lalu?”

.
.
.
.

Seoul, September 2015

Kim Taehyung butuh cahaya tapi dia ketakutan jika dosanya menjelas di bawah terang. Dia gelisah di ruangan yang terlalu banyak lampu ini. Nuansa putih yang dingin menyelimuti Min Yoongi. Nampak damai tetapi juga hampa.

Taehyung berdiri hanya berapa langkah darinya, tapi sesuatu telah membentang jurang. Sekali melangkah, terjatuh, mentalnya tidak akan bisa kembali ke permukaan bumi.

“Hyung, apa hati yang hancur bisa merasakan sesuatu selain rasa sakit?”

“Hyung, kalau dunia ini cukup jahat untuk ditinggali, kenapa kita masih tetap tinggal?”

“Hyung?”

Tangan pria muda itu terkepal kuat-kuat, berusaha menahan keinginan untuk membuat keributan di tengah hening yang membuatnya jengah. Sang Kakak telah berbuat curang kembali. Dalam pembaringannya, diam seorang Min Yoongi seolah berkata-kata.

Ketika Taehyung pergi ke bawah selimut, ketika Taehyung makan, di jalan yang sepi, dan di semua retakan detik ... Yoongi terus membisikinya kisah-kisah tentang luka.

“Kau sudah banyak bicara, Hyung!” Napasnya yang tersendat berbaur dengan aroma obat yang mengkristal di udara. “Dan ketika aku ingin bicara padamu, kau tidak mendengar!”

Ini kecurangan terbesar dalam dimensi waktu yang seolah menjeratnya dalam ketidakberdayaan. Hanya Taehyung yang dibuat menderita oleh kesadaran akan kenyataan.

Andai dia yang terbaring di tempat Yoongi, sekarang dia sudah berjalan-jalan di alam koma yang mungkin lebih nyaman dari alam nyata. “Apa di sana damai?” pertanyaan itu dijawab oleh sepi.

Dia menyeka matanya yang mulai berembun dan ketika pandangannya kembali terbuka beberapa staf rumah sakit datang dengan tergesa, mengerubuni Yoongi yang berada di tepi waktu—tinggal menunggu jatuh atau dijatuhkan.

Suara alat-alat kedokteran yang menjadi lagu tidurnya memelan, lalu tak lagi dapat didengar, menjauh bersamaan dengan tubuh itu.

“Tuan, peti matinya sudah siap,” bisik pelayanan dari belakang.

PETRICHOR (Min Yoongi | Ju Jingyi) ★COMPLETED★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang