Aku Sudah di Depan Pintu

232 33 15
                                    

Min Yoongi jatuh pingsan.
.
.
.
.
Tidak ramai, hanya ada kasir yang mati-matian menahan kantuk dari balik meja.

Jingyi berjalan memasuki mini market, melihat-lihat barang yang akan dibelinya sambil sibuk menghubungi salah seorang teman yang terkenal sebagai bandar gosip di kelas, “Halo, Jennie, kuharap kau sudah bangun.” Dia membuka percakapan.

“Yak, Ju Jingyi! Berhentilah hidup sebagai gadis yang terlalu berambisi! Ini baru jam lima, kau sudah mau menanyakan data untuk artikel?” Suara Jennie masih serak, sepertinya dia benar-benar bangun hanya karena Jingyi menelpon berkali-kali, seperti alarm yang bebal tak mau dimatikan.

Sebotol air mineral sudah masuk ke dalam keranjang belanja, “Tidak, ini tentang Yoongi Sunbae. Kau pasti tahu sesuatu tentang dia.”

“Kau menelponku pagi sekali untuk menanyakan dia? Kegilaan macam apa ini!” gadis itu menjawab dengan suara melengking. Entah seantusias apa Jennie sekarang, mungkin sudah duduk tegak dengan kantuk yang tak bersisa di matanya.

“Ayolah, aku akan mengajakmu makan sebagai pengganti waktu tidurmu. Ceritakan sesuatu!” Jingyi mendesaknya sambil berjalan di antara rak makanan. Hmm ... aku bisa menjadi baik tanpa harus jatuh miskin,—diam-diam membantin saat mengambil sereal dengan tulisan ekstra 20%.

“Jadi begini. Yoongi itu anak dari selingkuhan Presdir Kim, itu sebabnya marga Yoongi mengikuti ibunya, Kemudian, entah kenapa ketika SMA dia dibawa istri sah presdir untuk tinggal di rumah mereka ...,” Jennie terdengar sedikit mendesis miris, sedangkan Jingyi yang beralih ke rak pakaian pria mulai tertarik untuk fokus mendengar.

“Kudengar Taehyung, putra dari istri sah presdir yang meminta agar mereka serumah. Kau pasti mengerti bagaimana perasaan seorang anak yang ibunya dikhianati, dia akan melakukan sesuatu pada ibu Yoongi atau bahkan Yoongi sendiri,” ada jeda, “Taehyung sedang balas dendam, mungkin,”

Jingyi mulai tidak peduli dengan harga yang tertera di bandrol, dia bisa minta Yoongi mengganti semua kalau kelewat mahal. Atensinya nyaris habis disedot percakapan telepon ini, “Lalu, lalu?”

“Banyak orang berpikir kalau Taehyung membawa Yoongi serumah dengannya adalah untuk menjadikan dia sebagai bulan-bulanan dan untuk dipermalukan. Semua orang akan berpikir kalau Yoongi dan ibunya hanya hama yang merusak rumah tangga orang ‘kan?”

Hening, pergerakan Jingyi tertahan, tangannya tergantung di udara sambil menggenggam sehelai kemeja hitam, “Jennie, dia sudah lima tahun seperti ini?”

“Ya ...,”

“Apa dia tinggal di sana dengan ibunya juga?”

“Tidak, ibu kandungnya sudah bunuh diri sejak lama.”

Min Yoongi adalah kutub—dingin dan bermagnet. Dia hanya seorang pria muda yang terjebak di dalam gunungan air mata yang membeku, lantas mengeras. Jauh dari dalam hatinya, dia menggigil, butuh genggaman tangan sehangat perapian di musim salju. Tetapi dia sadar, gunung air mata beku yang mencair itu punya konsekuensi: kenaikan air laut—dan ini akan merepotkan siapapun yang menanganinya.

Min Yoongi yang menghindar dan kasar terhadap interaksi sosial, mungkin berpikir: Tidak, begini saja, jangan ada kehangatan yang mendekat, jangan ada tangis. Seseorang yang baik dan berusaha terlalu keras menolongku akan dipenuhi risiko tenggelam.

“Jen, bisa kau beritahu aku, apa yang lebih menyakitkan daripada bergantung pada orang yang kau benci?”

.
.
.

“Halo, Pak! Selamat pagi!” seru Jingyi sambil melewati pos satpam.

“Nak, jangan terlalu rajin!” jawaban yang membuat gadis itu tersenyum kaku, Bapak salah sangka, aku lebih bahkan lebih baik jatuh tertidur daripada jatuh cinta ... karena saking malasnya.

PETRICHOR (Min Yoongi | Ju Jingyi) ★COMPLETED★Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang