Jevin (2)

37 4 0
                                    

"Jevin, benarkah aku wanita pertama yang kamu bawa ke pertemuan di cafe pada waktu itu?" tanyaku penasaran.

"Iya" jawabnya sambil menyesap minuman coklat dinginnya.

"Kenapa? Bukankah setauku kamu beberapa kali punya pacar?" heranku.

"Beberapa kali? Mantanku hanya satu Aya" sanggahnya.

"Lantas gadis-gadis yang lainnya?" Tanyaku balik.

"Selama SMA ini mantanku hanya Garnis. Sisanya hanya mendekat, memanfaatkan stastus jomblo ku setelah putus dengan Garnis" terangnya. Setauku Garnis satu angkatan dengan Jevin, karena nilainya yang gemilang ia melanjutkan SMA nya di Singapura satu tahun yang lalu yang berarti aku belum masuk sekolah tersebut. Dari apa yang aku tau dan melihat reputasi Jevin, Garnis pasti bukan wanita sembarangan.

"Kamu putus dengan Garnis kenapa Vin?" tanyaku hati-hati. Aku tau seharusnya tidak usah membahas masa lalu tapi entah kenapa aku merasa berhak untuk mengetahui hal ini.

"Garnis pergi ke Singapura, awalnya semua berjalan baik-baik saja sampai akhirnya kami sama-sama lelah karena ada secara virtual tapi tidak ada secara fisik. Mudah untuknya pulang pergi ke Indonesia tapi kami memahami bahwa kami harus fokus sekolah juga. Aku pun tidak bisa sering terbang kesana untuk berkencan, biayanya terlalu besar. Garnis membutuhkan itu, kencan secara fisik bukan virtual. Kami sepakat mengakhirinya setelah 5 bulan LDR" terangnya.

"That's it? You won't fight for it?" tanyaku masih penasaran.

"Aku tidak mau memaksakan orang untuk berjuang bersamaku Aya. Kalau ia memang mencintaiku ia akan berjuang, tapi nyatanya ia tidak" terangnya.

"Apa kamu masih berkomunikasi dengannya?" tanyaku lagi.

"Terakhir 3 bulan yang lalu, hanya sekedar mengomentari foto yang ku unggah. Nothing more. So please do not worry about her. It's totally over between us" terangnya sambil menyentuh tanganku lembut. Aku tersenyum dibuatnya.

"Aku tidak tau mengapa kau bisa jatuh cinta padaku" ujarku.

"Terjadi begitu saja. Tidak munafik aku tertarik pada parasmu sejak pertama kamu menjadi siswa baru di sekolah. Teman-temanku banyak yang menaksir dirimu. Semakin ku mengenal dirimu semakin aku tertarik pada hatimu. Kamu murni, tulus, tidak berusaha berlomba-lomba menunjukkan kebolehanmu untuk terlihat menarik karena kamu sudah menarik apa adanya" jawabnya. Senyumku semakin lebar.

"Aku punya kejutan untukmu, aku tau ini klasik tapi aku minta untuk tutup matamu" tambahnya.

Saat ia menginstruksikan untuk membuka mata, ku lihat 2 tiket VIP dengan backstage pass untuk konser Jason Mraz. Aku terkejut dan senang sampai tidak bisa berkata apa-apa lagi selain memekik kegirangan. Jason Mraz sedang naik daun saat itu. Aku tau Jevin pasti menabung dengan ekstra untuk mendapatkan tiket tersebut.

"Early birthday gifts" terangnya. Konser tersebut memang digelar 5 hari sebelum ulang tahunku. Aku sangat senang sampai kemudian aku teringat, bagaimana aku bisa mendapatkan izin ayah untuk pergi ke konser?

Seperti yang sudah ku prediksi, ayah jelas tidak memberiku izin. Saat aku membantah beliau bahkan mengatakan akan mengundang Jason Mraz diacara ulang tahunku yang jelas ku tolak. Tentu sensasinya tidak akan sama dengan menonton konser dengan ribuan orang lainnya, mendendangkan lagu yang sama, bergoyang bersama mengikuti alunan lagu, apalagi ada Jevin ah pasti sempurna.

Sore itu aku frustasi, menjelang open gate aku tidak kunjung mendapat izin dari Ayah. Jiwa nekatku muncul, aku mengendap-endap mengambil kunci Masserati di rak tempat kunci mobil biasa diletakkan lalu masuk ke mobil. Ku nyalakan mesinnya, satpam rumah kaget karena mendengar suara mobil. Ku injak pedal gas namun posisi gigi masih netral, ku biarkan suara mobil balap tersebut meraung-raung sesaat.

"Buka gerbangnya atau akan ku terjang dengan mobil inii!!" teriakku pada satpam. Ia tak bergeming.

Ku masukan gigi 1 dan ku dekatkan mobil ke gerbang keluar. Mesin kembali meraung-raung. Pak satpam ketakutan aku akan betul-betul menabrakkan mobil ke gerbang akhirnya membukakan pintu gerbang. Ayah dan ibu berlari keluar rumah mendengar keributan mobilnya tapi terlambat aku sudah telah melaju pergi. Salahnya sendiri ayah memaksaku belajar mengemudi mobil balap terlalu dini.

Ku pacu mobil ke tempatku bertemu dengan Jevin. Aku tidak berani mengemudi ke tengah kota karena belum memiliki SIM. Kami berencana memarkirkan mobil tersebut di sebuah mall dan melanjutkan perjalanan ke gedung konser dengan taxi. GPS yang terpasang di mobil tersebut pasti memudahkan ayah untuk segera menemukan mobil tersebut.

Rasanya seru bercampur menegangkan. Seperti melarikan diri dari ayah. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi saat aku pulang nanti, yang penting aku akan menikmati momen menonton konser dengan Jevin dulu.

Cerita AyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang