Olivier Cafe

39 6 0
                                    

Ku kenakan oversized dress putih dan ku tumpuk dengan jaket denim. Ku padukan dengan sepatu converse dan microbag chanel yang ku beli atau lebih tepatnya Andra beli saat di Singapura.

Ku ambil kunci mobilku dan mengemudi ke Olivier Cafe. Menyusuri jalan ke rumah lama ku dan akan bertemu dengan orang di masa lalu membuatku teringat masa-masa saat masih SMA dulu. Meli tentu saja tidak tau aku akan bertemu Jevin, kalau ia tau bisa-bisa ia ikut datang untuk melabrak Jevin.

Jam menunjukkan pukul 16.20 saat aku mendorong pintu cafe Olivier. Aku sengaja datang sedikit terlambat agar tidak terlihat terlalu bersemangat menemuinya. Ku edarkan pandanganku menelusuri setiap meja yang ada sampai ku lihat sosok yang ku kenali.

Jevin mendongak ketika aku datang dan berdiri di depannya. Ketika ia akan menarik kursi untukku ku tahan kursi tersebut dan ku tarik sendiri. Aku duduk berhadapan dengannya. Selama beberapa detik tidak ada kata-kata yang keluar. Kami hanya saling menatap seperti bingung harus berkata apa.

"Waktuku tidak banyak, kita langsung saja keintinya" akhirnya aku membuka pembicaraan. Pelayan datang membawakan milkshake cokelat dan ice americano. Ia memesankan minum favoritku yang sayangnya juga tidak berubah dari dulu, ia mengingatnya. Ia menyesap ice americano nya sebelum berbicara padaku.

"Aku ingin meminta maaf" katanya terbata-bata dan sambil menunduk. Jevin yang selalu terlihat dewasa dimataku berubah menjadi anak kecil yang meminta dikasihani. Ia tampak kebingungan.

"Jika kamu meminta maaf pasti harus ada kesalahan yang telah dibuat, apakah kesalahan itu?" tanyaku tajam.

"Aku minta maaf karena pergi, 8 tahun yang lalu" kata Jevin sambil menatap mataku.

"Mengapa tidak meminta maaf 8 tahun yang lalu?" tanyaku sinis.

"Karena aku berjanji pada ayahmu, untuk tidak pernah menghubungimu atau beasiswaku dicabut" jawabnya lirih.

"Lantas sekarang?"

"Kontrakku hanya sampai beasiswa kuliah, saat ini aku sudah bekerja dan tidak lagi menerima beasiswa sehingga aku bisa menghubungimu"

"Beasiswa? Uang suap untuk menjauhi ku lebih tepatnya. Bukankah kau ingin kuliah di universitas negeri?"

"Nanyang Technological University terlihat lebih menjanjikan. Ayahmu bilang kalau memang aku pantas buatmu aku akan mencoba untuk memantaskan diri untukmu. Aku ingin kembali setelah aku menjadi pantas untukmu. Membawa gelar dan telah bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan gaji dollar disana. Tapi nyatanya aku tidak akan pernah pantas untukmu bila disandingkan dengan putri seorang pemilik korporat." jelasnya lirih. Aku kecewa dengan alasannya, ia menilaiku sebelah mata. Ia menganggapku tak lebih dari seorang wanita yang matre.

"Kapan beasiswamu berakhir?" tanyaku.

"Aku menerima beasiswa hingga gelar master, sudah 2 tahun yang lalu"

"Jadi kau baru menghubungiku setelah lewat 2 tahun lamanya?!" hardikku. Jevin terdiam, aku menurunkan volume suaraku, untung saja cafe dalam kondisi sepi.

"Jadi kau ingin kembali padaku setelah 8 tahun tak pernah sekalipun menghubungiku dan kamu mengharapkan perasaanku masih sama padamu?" tanyaku heran.

"Tentu saja aku bodoh bila kembali dan masih mengharap perasaanmu tetap sama. Laki-laki yang kau peluk kemarin lebih pantas. Aku kenal dia, dia adalah salah satu pemegang saham yang besar di perusahaanku bahkan beredar kabar ia akan menjadi presedir selanjutnya. Dia lah yang pantas untukmu Ya." terangnya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan Kenapa jadi kamu yang menentukan siapa yang lebih pantas buatku? Apa hakmu berkata begitu? Mengapa kamu seolah-olah menyalahkan ayahku disaat kamu pergi dengan keinginanmu sendiri!"

"Aku pergi dengan harapan akan kembali, meskipun tidak realistis bagiku untuk mengharapkan dirimu akan menungguku. Tapi sungguh aku benar mencintaimu dan merindukanmu setiap hari disana. I have rough nights missing you"

"Bullshit! So you replace me with Garnis?! Jevin apa yang Andra katakan memang benar. Kamu pergi ke Singapura bukan karena paksaan ayahku tapi memang karena kamu ingin. Bila kamu sungguh mencintaiku maka kamu akan mundur secara terhormat tanpa mengambil beasiswa itu, tanpa menyakitiku. Mungkin kita akan duduk disini, laugh at each other happily karena aku akan mencari jalan untuk kembali padamu sekalipun harus ku tinggalkan segala kemewahan yang ku dapat dari ayahku. I'm willing to do that, but you don't. Karena kamu dari tadi berbelit-belit dengan segudang alasanmu jadi aku persingkat saja langsung ke intinya. We need a closure. Actually we already have, the minute you sign the contract you ended our story. Kita putus Jevin, selamat tinggal." kataku tercekat. Mataku berair tapi bukan karena sedih, aku lega dapat menyampaikan apa yang selama ini mengganjal di hatiku. Kali ini jelas sudah hubungan kita benar-benar berakhir di kedua belah pihak.

Jevin tersenyum getir mendengar kata-kataku. Ia menatapku lekat-lekat.  Setelah menghela nafas panjang ia berbicara:

"Terima kasih atas tahun berharga yang telah kita lewati dulu. Terima kasih atas segalanya. Aku memohon maaf sebesar-besarnya. If there's anything I would regret the most is the day I left you 8 years ago. Aku tau kata maaf tidak akan kembali mengisi hatimu yang terluka karenaku. I hope you live well. Selamat sudah menjadi dokter gigi, seperti yang kamu rencanakan 8 tahun yang lalu."

"You too, have a good life" jawabku sambil bersiap untuk pergi.

"Aya can I ask you one last thing?" tanya Jevin. Aku menoleh padanya.

"Tolong jangan pernah maafkan aku sehingga aku akan selalu punya alasan untuk melakukan berbagai macam cara agar kau memaafkanku" pintanya sambil menatap lekat mataku.

"Maksutnya?" tanyaku heran.

"I may gave you up 8 years ago, but today I won't. I'll do anything I could to hold you again. I was really stupid back then, but I'm a better person now" ujarnya tegas.

"Dan apa yang membuatmu pantas mengatakannya?" tanyaku.

"Because I've love you longer than him. I've been there in your darkest days. Aku senang akhirnya kamu memilih menjadi dokter gigi, tandanya jauh didasar hatimu aku masih meninggalkan jejak disana bahkan setelah kepergianku. Aku tau kamu akan berfikir aku sangat kurang ajar mengatakan hal ini tapi itu benar. Aku masih mencintaimu dan merindukanmu. Beri aku waktu untuk memperbaiki ini semua. Beri aku kesempatan untuk kabur bersamamu lagi dengan Masserati ayahmu. Beri aku kesempatan lagi mendengarkan cerita-ceritamu yang harus kamu akhiri karena kamu mulai kedinginan menelepon di kamar mandi. You made me who I'am today, you made me a better person. I love you and I miss you each and everyday"

"You have no rights to said that. Aku akan memastikan jejakmu akan ku hapus. Have a good life with Garnis, don't hurt her like this" kataku sambil beranjak pergi. Jevin menahan tanganku.

"Kami hanya berteman, tiba-tiba aku pindah ke negara baru dan hanya ia yang aku kenal. Dia membantuku beradaptasi dan aku berterima kasih padanya. Hanya itu. Aku tidak berkencan dengannya. Aku bahkan menceritakan tentang kita padanya" jelasnya. Aku mendengar lebih dari cukup. Ku tarik tanganku darinya.

"Don't ever touch me again" kataku sambil berjalan cepat keluar cafe. Aku menutup pintu mobil dan menarik nafas dalam-dalam. Emosi yang bergejolak sedari tadi membuat kepalaku pening. Kata-kata Jevin benar-benar tidak masuk akal. Awalnya ku pikir ia akan menyerah tapi ternyata ia mengatakan kalau ia baru akan mulai berjuang.

Cerita AyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang