"Gu Toan, gadis ini benar. Kau boleh meminjamkan suling itu untuk selama tiga tahun. Akulah yang kelak bertanggung jawab kalau dia tidak mengembalikannya dalam waktu tiga tahun!"
"Kalau Paduka yang memerintah, hamba tidak akan membantah," jawab Kakek itu, yang mengeluarkan suling emas dan menyerahkannya kepada Nirahai.
Puteri ini girang sekali, menerima suling kemudian berlutut di depan nenek itu. "Teecu haturkan terima kasih, locianpwe. Dan teecu bersumpah untuk mengembalikan pusaka ini selambat-lambatnya tiga tahun. Kakek Gu, terima kasih dan maafkan kekasaranku tadi."
Kakek itu hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab.
"Teecu mohon diri, hendak kembali ke selatan," Nirahai berkata.
"Nanti dulu, Nirahai, aku masih sangsi apakah suling itu akan membawa hasil. Orang-orang kang-ouw mempunyai watak yang aneh. Sekali mereka itu mengambil keputusan untuk berjuang, mereka melupakan apa saja dan kiranya belum tentu mereka mau memandang suling itu untuk menghentikan perjuangan mereka. Sebaiknya kalau di samping mencari jalan damai, engkau pun dapat menundukkan mereka dengan kepandaian. Apakah engkau akan mampu menggunakan suling itu untuk menundukkan mereka dengan ilmu silatmu? Dapatkah engkau mainkan suling itu?"
Wajah Nirahai menjadi merah. "Teecu seorang bodoh, dan jika teecu mainkan suling pusaka ini dengan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat, kiranya tidak lebih hebat dari pada kalau teecu menggunakan pedang payung."
"Hemmm tidak baik kalau begitu. Eh, Nirahai, bagaimana kalau engkau menjadi muridku?"
Tawaran ini tentu saja diterima dengan hati girang luar biasa oleh Nirahai. "Teecu akan merasa bahagia sekali dapat menerima petunjuk locianpwe."
"Bagus! Engkau kuambil murid, Nirahai. Dan tempat di sini cukup baik bagiku untuk menggemblengmu beberapa lama agar engkau dapat menggunakan suling itu tidak saja untuk mempengaruhi mereka, akan tetapi kalau perlu untuk mengalahkan dan menaklukkan mereka."
Kening Nirahai berkerut. "Teecu akan suka sekali tinggal di sini mempelajari ilmu dari locianpwe, berapa lama pun. Akan tetapi, pada waktu ini teecu mempunyai tugas. Sebagai puteri Kaisar, bagaimana teecu dapat lari dari tugas? Selama pemerintah masih membutuhkan tenaga teecu, tak mungkin teecu meninggalkan kerajaan untuk waktu lama. Kalau locianpwe sudi, bagaimana kalau locianpwe saja yang ikut bersama teecu ke kota raja dan mengajar teecu di sana? Teecu percaya bahwa Ayahanda Kaisar akan menerima locianpwe dengan segala kehormatan dan rasa bangga di hati."
Nenek itu mengangguk-angguk dan mempertimbangkan kata-kata muridnya. "Dahulu Pangeran Dorgan pernah bertemu denganku. Ayahmu tentu hanya mendengar saja namaku, akan tetapi belum pernah bertemu denganku. Baiklah, aku pun ingin sekali menyaksikan dari dekat kemajuan usaha bangsa Mancu yang mengagumkan itu, yang tak pernah dicapai oleh bangsa Khitan. Mari kita berangkat, muridku."
Nirahai girang sekali. "Harap Subo sudi menunggang joli, biar teecu yang mengiringkan."
Nirahai bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pemikul joli berlarian ke tempat itu.
Tanpa sungkan-sungkan lagi nenek itu yang dahulu terkenal sebagai Puteri Maya itu masuk ke dalam joli yang segera digotong oleh dua pemikulnya atas perintah Nirahai. Dua orang itu merasa heran bukan main mengapa nenek itu amat ringan, seolah-olah joli itu kosong saja! Nirahai lalu menjura kepada kakek bongkok sebagai penghormatan perpisahan, kemudian mengikuti joli yang diduduki gurunya dengan hati girang bukan main. Suling emas ia selipkan di pinggang, di sebelah dalam bajunya. Sungguh ia amat beruntung, pikirnya. Tidak saja dapat meminjam suling emas itu, bahkan ia telah bertemu dengan seorang nenek sakti luar biasa yang menjadi gurunya!
Setelah melalui perbatasan utara dan bertemu dengan dusun, Nirahai membeli seekor kuda. Kini ia mengikuti joli gurunya yang telah diganti orang lain pemikulnya, yaitu diambil dari dua orang penjaga perbatasan yang kuat.
Gurunya itu amat pendiam, kalau sudah duduk di dalam joli bersila seperti arca, tidak pernah bicara, tidak pernah menjenguk keluar sehingga diam-diam Nirahai merasa kasihan. Untuk menyenangkan hati gurunya, sepanjang jalan Nirahai berusaha untuk menghidangkan masakan-masakan lezat dan menyediakan segala kebutuhan nenek itu. Akan tetapi nenek itu menerima itu dengan sikap dingin.
Pada suatu pagi mereka tiba di luar kota raja. Tembok kota raja sudah tampak dari tempat yang agak tinggi sebelah utara itu dan hati menjadi girang sekali. Sudah beberapa lamanya ia meninggalkan kota raja, akan tetapi perjalanannya yang memakan waktu lama dan amat jauh itu ternyata tidak sia-sia belaka, bahkan hasilnya boleh dibilang melampaui semua harapannya.
Ketika kudanya berjalan perlahan mengiringkan joli yang dipikul oleh dua orang pemikulnya yang semenjak meninggalkan kuburan keluarga Suling Emas telah berganti sampai sepuluh kali itu, tiba-tiba ia melihat seorang wanita muda berjalan tergesa-gesa dari depan, agaknya baru saja wanita itu meninggalkan gerbang pintu kota raja sebelah utara.
Gadis itu amat cantik, terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan tajam sinarnya, juga wajah yang lonjong dengan dagu meruncing ini menarik sekali perhatian Nirahai. Sepintas lalu saja ia tahu bahwa gadis itu tentulah mempunyai darah Mancu dan betapa besar persamaan gadis cantik itu dengan dia sendiri. Mungkin dia lebih jangkung sedikit, akan tetapi perawakan gadis itu pun ramping, dan wajahnya yang manis itu hampir sama dengan wajahnya sendiri.
Gadis itu pun berdiri sambil memandangnya dengan sinar mata tajam menyelidik. Agaknya gadis itu heran melihat dia memanggul sebuah payung, bahkan ketika rombongannya yang terdiri dari dua orang pemikul joli dan kuda yang ditungganginya lewat, gadis itu menghentikan langkah kakinya dan berdiri di pinggir jalan memandang bengong.
Nirahai tidak mempedulikannya lagi saking girang hatinya sudah hampir tiba di kota raja. Akan tetapi mendadak ia mendengar bentakan nyaring, "Heiii, berhenti dulu...!"
Nirahai menahan kudanya dan menoleh. Kiranya gadis manis tadi kini datang berlari-lari dan meloncat ke depan kudanya, seolah-olah hendak menghadangnya. Nirahai tersenyum, kagum setelah kini dekat melihat betapa gadis ini benar-benar cantik jelita, dengan kulit muka yang halus dan berwarna putih kemerahan, sepasang mata yang begitu indah seperti bintang pagi.
"Eh, ada keperluan apakah engkau menghentikan aku?" Nirahai tidak menjadi marah. Biar pun dia seorang puteri kaisar, namun sama sekali Nirahai tidak gila hormat. Apa lagi ia maklum bahwa gadis ini tentu belum mengenalnya, maka sikapnya yang kasar itu pun boleh dimaafkan. Sifat ini mungkin terpengaruh oleh kebiasaannya merantau di dunia kang-ouw sehingga sifatnya terlepas dan ia tidak begitu mementingkan kedudukan dan kehormatan sebagai seorang puteri bangsawan tinggi.
Gadis itu bukan lain adalah Lulu! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lulu meninggalkan lembah Sungai Huang-ho di mana selama setahun ia melatih diri dengan ilmu silatnya, di bawah petunjuk Lauw-pangcu dan terutama sekali Sin Lian yang telah menjadi kakak angkatnya.
Dia pergi menuju ke kota raja dan karena ia maklum bahwa keadaannya di kota raja berbahaya, biar pun di situ ia menyamar sebagai pria, dan ketika ia tidak berhasil mendapatkan jejak kakaknya, ia lalu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang utara. Dia baru saja datang dari selatan dan tidak pernah mendengar tentang Han Han, maka sebaiknya kini melanjutkan usahanya mencari jejak Han Han ke hutan. Akan tetapi baru saja keluar dari pintu gerbang, ia bertemu dengan Nirahai yang menunggang kuda.
Melihat Puteri Mancu yang cantik jelita dan gagah perkasa ini, Lulu tertarik sekali maka ia memandang penuh perhatian. Akan tetapi ketika ia melihat payung yang dipegang Nirahai, ia teringat akan cerita para tokoh Hoa-san-pai di Pek-eng-piauwkiok tentang seorang Puteri Mancu amat lihai bernama Puteri Nirahai yang bersenjata payung, teringat akan cerita tentang Teng Lok tokoh Hoa-san-pai yang dalam penyelidikannya bertemu dengan puteri Kaisar Mancu bersenjata payung yang telah membuntungi lengan orang she Teng itu. Puteri Mancu bernama Nirahai yang telah mengadu domba tokoh Hoa-san-pai dengan tokoh Siauw-lim-pai sehingga akibatnya, Han Han yang difitnah dan menjadi korban, dimusuhi kedua pihak.
"Apakah namamu Nirahai?"
Nirahai membelalakkan matanya dan hampir saja ia tertawa bergelak. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba, begitu sederhana dan diajukan tanpa dibuat-buat. Pertanyaan dengan sikap paling kurang ajar yang pernah ia alami selama hidupnya! Ia tidak marah, bahkan tersenyum memandang gadis yang bermata lebar itu. Ia mengangguk, ingin mendengar suara gadis itu lebih banyak. Suara gadis itu merdu dan nyaring, dan setiap gerakannya membayangkan kejujuran dan kepolosan yang mengharukan.
"Jadi engkaukah yang bernama Nirahai puteri kaisar, gadis yang mengadu domba tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai? Tentu engkau pula yang telah membunuh dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam, bukan?"
Kalau ia menghadapi pertanyaan seperti itu dari seorang tokoh kang-ouw, tentu Nirahai akan menjadi terkejut dan berhati-hati. Akan tetapi menerima pertanyaan begitu langsung dari mulut yang manis dan mata yang lebar itu, sukar bagi Nirahai untuk membohong lagi.
"Bagaimanna engkau bisa tahu?"
"Hemmm, payungmu itu adalah senjatamu yang ampuh, bukan? Kau jahat sekali... jahat sekali dan aku harus membunuhmu!"
Kembali hati Nirahai merasa geli sekali. Ucapan seperti itu agaknya hanya patut diucapkan oleh seorang tokoh besar, seperti gurunya. Enak saja gadis ini mengatakan hendak membunuhnya.
"Eh, sabar dulu. Engkau siapakah?"
"Aku Lulu. Perbuatanmu yang curang itu telah membuat Kakakku Han Han banyak menderita. Engkau cantik sekali, sayang... akan tetapi aku harus membunuhmu karena engkau jahat!"
"Nirahai, siapakah bocah ini?" Nenek itu telah berdiri di luar joli, padahal kedua pemikul joli masih menggotongnya dan kini kedua orang itu terkejut dan berdiri seperti patung. Mereka tidak merasa joli menjadi ringan, tidak melihat nenek itu turun, akan tetapi mengapa tahu-tahu telah berada di luar joli? Seorang di antara mereka menyingkap tirai joli dan memang benar, joli itu kosong. Terpaksa mereka menurunkan joli dan keduanya berjongkok di dekat joli.
Lulu menengok, memandang nenek itu dan ia terkejut. Cepat ia membalikkan tubuh pula memandang Nirahai yang kini telah meloncat turun dari kuda. "Ah, aku pernah bertemu denganmu...! Engkau ini penghuni Pulau Es... ya benar...!" Lulu menudingkan telunjuknya ke arah Nirahai.
"Apa?! Pulau Es...? Kau gila agaknya...!" Nirahai menjawab.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara angin dan Lulu berteriak kaget karena pundaknya sudah dicengkeram oleh nenek itu yang membalikkan tubuh Lulu menghadapinya sambil membentak.
"Apa maksudmu? Penghuni Pulau Es? Hayo katakan apa yang kau maksudkan!"
"Lepaskan tanganmu! Jangan kau cengkeram pundakku! Nenek jahat engkau...!" Lulu berteriak meronta-ronta, akan tetapi percuma saja, jari tangan nenek itu seolah-olah telah melekat di pundaknya!
"Lepaskan...! Kalau tidak..."
"Hem, bocah liar. Kalau tidak engkau mau apa?" Nenek itu berkata.
"Kupukul mampus kau!"
Diam-diam nenek itu kagum sekali melihat keberanian Lulu, maka ia menjawab, "Mau pukul? Boleh, pukullah!"
Karena Lulu dapat menduga bahwa nenek ini tentulah kaki tangan Puteri Nirahai dan jahat, terpaksa harus ia lenyapkan dulu sebelum ia menghadapi Nirahai yang ia tahu amat lihai. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, memukul secara bertubi ke arah perut dan dada nenek itu. Ia menggunakan jurus pukulan ilmu silatnya yang sudah ia latih dan sempurnakan di lembah Huang-ho, dan mengerahkan sinkang-nya yang ia dapat ketika berlatih di Pulau Es.
"Desss! Desssss!"
Lulu menjerit kesakitan karena kedua tangannya yang memukul itu seperti memukul air, akan tetapi akibatnya kedua tangan itu terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dengan seribu batang jarum! Nenek itu pun kaget dan melepaskan pundak Lulu, matanya terbelalak memandang Lulu dan mulutnya berkata dengan suara menggetar.
"Itulah Hong-in-bun-hoat...! Dari mana engkau mempelajarinya? Dan sinkang-mu itu... apakah Swat-im Sin-ciang?"
Lulu masih meringis kesakitan, akan tetapi ia cemberut menghadapi pertanyaan itu. "Ternyata engkau memiliki ilmu siluman dan pertanyaanmu ngawur tidak karuan. Apa itu Hong-in-bun-hoat? Apa itu Swat-im Sin-ciang? Kalau Kakakku mungkin tahu ilmu-ilmu itu. Aku hanya belajar sedikit di Pulau Es. Eh, yang manakah di antara kalian ini yang kulihat patungnya di Pulau Es? Tubuhnya seperti dia..." Ia menuding Nirahai. "Akan tetapi matanya seperti matamu!" Ia melihat nenek itu. "Akan tetapi yang mana pun juga di antara kalian, semuanya jahat, memang di antara mereka bertiga di Pulau Es itu, yang satu itu paling jahat...!"
"Apa kau bilang...? Apa kau bilang...?" Nenek itu berkata dengan suara lirih gemetar, tubuhnya terhuyung.
"Subo...!" Nirahai meloncat, mendekati nenek itu.
Akan tetapi dengan tangannya nenek itu menolak Nirahai yang hendak menolongnya, kemudian setelah menghela napas tiga kali ia dapat menguasai hatinya. Sekali melangkah ia telah menggerakkan tangan menangkap tangan Lulu tanpa gadis ini dapat mengelak sedikit pun. Gerakan nenek itu cepat luar biasa dan tidak dapat ia ikuti dengan pandangan matanya. Ia hendak meronta, akan tetapi membatalkan niatnya ketika nenek itu memijat-mijat kedua tangannya yang membengkak merah.
Lulu juga seorang yang cerdik dan ia mengerti bahwa nenek inilah sebetulnya orang yang patungnya ia lihat di Pulau Es. Ketika ia tadi melihat wajah dan mata nenek ini, teringatlah ia akan patung itu, hanya karena patung itu cantik dan muda seperti Nirahai, maka ia mengira bahwa Nirahai-lah orangnya yang patungnya ia lihat di sana. Kini ia mengerti bahwa biar pun ada persamaan dengan patung itu dan Nirahai, akan tetapi sebetulnya patung itu adalah patung Si Nenek lihai ini di waktu muda.
Dan ia pun dapat menduga bahwa disebutnya patung itu di Pulau Es mendatangkan keharuan besar di hati nenek ini. Tentu nenek ini ingin mendengar banyak-banyak tentang Pulau Es dari dia, maka kini nenek itu bersikap baik, mengobati kedua tangannya yang membengkak karena memukul tubuh Si Nenek. Kalau tidak mempunyai maksud demikian, kiranya nenek yang seperti iblis ini akan membunuhnya! Ia harus bersikap cerdik, pikirnya. Lulu membiarkan kedua tangannya ditekan dan ditotok dan memang hebat sekali, dalam sekejap mata saja sudah sembuh, akan tetapi dia sudah memutar otak mencari akal.
"Siapakah namamu?" Nenek itu bertanya sambil melangkah mundur dua langkah dan memandang tajam.
"Namaku Lulu."
"Engkau gadis Mancu?" Kini nenek itu bertanya dalam bahasa Mancu.
Lulu menjawab dalam bahasa Han, "Aku memang gadis Mancu, akan tetapi lebih suka berbahasa Han."
Nenek itu mengerutkan alisnya, "Hmmm, sesukamulah. Sekarang ceritakan bagaimana kau bisa bicara tentang Pulau Es."
"Aku tidak mau bicara!"
Nenek itu membelalakkan matanya dan dari mata yang lebar itu memancar -kebengisan yang membuat bulu tengkuk Lulu bangun satu-satu. Akan tetapi dia seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, maka ia menentang pandang mata itu tanpa berkedip. Matanya jauh lebih lebar dari mata nenek itu dan sinar matanya pun tajam, bening dan polos.
"Kalau aku paksa padamu, kupatahkan satu-satu tangan kakimu, apakah engkau juga tidak mau bercerita?"
Tiba-tiba Lulu tertawa, suara ketawanya yang dimaksudkan agar berbunyi mengejek itu malah terdengar merdu nyaring dan menular sehingga Si Nenek terpaksa ikut tersenyum, bahkan Nirahai juga tersenyum lebar. "Heh-heh, kiranya engkau adalah Lulu bocah Mancu yang diambil Adik angkat oleh tokoh muda aneh bernama Han Han itu. Sudah lama kau kami cari-cari, siapa sangka akan bertemu di sini."
"Hemmm, jadi Ouwyang Seng manusia tak bermalu itu engkau yang suruh? Pantas, engkau jahat, kaki tanganmu pun jahat. Tentu iblis-iblis tua yang mengeroyok kakakku, Si Setan Botak dan Si Iblis Muka Kuda itu pun kaki tanganmu, bukan? Hemmm... cocok sekali!"
Nirahai terkejut. "Aihhh, engkau tahu...?"
"Tentu tahu! Malah aku telah ditawan dan dibawa ke istana, oleh Kaisar sendiri aku dijadikan pelayan istana. Akan tetapi aku lari dari istana..."
Nirahai tertawa lagi. Tak dapat ia menahan geli hatinya. Anak ini polos dan nakal, akan tetapi wajahnya begitu manis dan cerah sehingga sukarlah untuk marah kepadanya.
"Engkau aneh. Bukankah senang sekali menjadi pelayan istana? Engkau gadis Mancu, menjadi pelayan di istana Kaisar sendiri bukankah amat terhormat? Mengapa engkau melarikan diri?"
"Aku tidak kerasan! Aku akan mencari kakakku, kalau ia belum dibunuh oleh kaki tanganmu yang jahat!"
Nirahai mengerutkan keningnya. Diam-diam timbul rasa ingin sekali bertemu dengan kakak gadis ini yang bernama Han Han. Kalau adiknya begini aneh, tentu kakaknya lebih aneh lagi.
"Lulu, lekas kau bercerita tentang Pulau Es, kalau engkau tidak mau, kupatah-patahkan seluruh tulang di tubuhmu!" Kembali Nenek Maya menghardik.
Nirahai maklum akan kebengisan seorang berwatak aneh seperti gurunya. Kalau gurunya mau, sekali turun tangan tentu ancamannya itu akan dilaksanakan tanpa ada yang mampu menghalanginya. "Lulu, anak baik, engkau mengakulah saja."
Akan tetapi Lulu yang sudah mengatur siasat itu menjawab, "Aku tidak peduli apakah tulang-tulangku akan dipatahkan ataukah tubuhku akan dihancurkan oleh dia itu. Aku tidak takut mati. Memang aku tahu bahwa di antara ketiga patung itu, wanita cantik bengis itu yang berhati jahat! Aku baru mau bercerita kalau syaratku dipenuhi."
Nirahai memang tidak ingin mencelakai bangsa sendiri. Dan begitu bertemu dengan Lulu, ia sudah merasa suka dan sayang kepada anak yang keras hati dan berwatak kukoai (ganjil) ini. "Apakah syaratnya?"
"Pertama, kalau aku dibawa ke istana, kau harus menjamin agar aku tidak dihukum karena melarikan diri."
Nirahai tersenyum. "Baiklah. Kaisar adalah Ayahku sendiri, aku dapat mintakan ampun untukmu."
"Ke dua, kalau kakakku tidak terbunuh, kau harus menyuruh kaki tanganmu mencarikan dia untukku. Akan tetapi kalau sudah terbunuh, engkau harus membiarkan aku membalas dendam kepada pembunuhnya!" Lulu mengepal kedua tinjunya, matanya memancarkan kemarahan.
Nirahai mengangguk. "Baik-baik, itu pun sudah adil." Diam-diam ia merasa bahwa kalau benar Han Han sudah terbunuh, tentu pembunuhnya itu amat lihai dan bagaimana gadis ini akan dapat membalas dendam?
"Lekas ceritakan tentang Pulau Es!" Nenek itu kini membentak, kehilangan sabar dan sudah melangkah maju setindak ke dekat Lulu.
Melihat hal ini, Nirahai yang merasa sayang kepada Lulu cepat berkata, "Lulu, syarat-syaratmu telah dipenuhi, lekas engkau bercerita."
"Masih ada lagi syaratku, yaitu karena aku sudah tinggal di Pulau Es sampai bertahun-tahun dan locianpwe ini adalah seorang di antara penghuni Pulau Es, maka kalau locianpwe suka mengambil aku sebagai murid, baru aku mau menceritakannya!"
"Wirrrrr...!"
Tangan nenek itu bergerak dan biar pun Lulu hendak mengelak, percuma lagi karena rambutnya sudah disambar dan sekali nenek itu mengangkat tangan, tubuh Lulu tergantung pada rambutnya yang dicengkeram! Lulu merasa nyeri, akan tetapi ia tidak mengeluh dan hanya membelalakkan mata, dan dengan matanya yang lebar itu dia sungguh-sungguh kelihatan seperti seekor kelinci dipegang kedua telinganya.
"Bocah setan! Mengapa harus mengambilmu sebagai murid?" bentak nenek itu.
Diam-diam Lulu ngeri juga. Di tangan nenek ini ia seperti sebuah boneka yang tidak berdaya. Otaknya bekerja cepat. Tadi ia sengaja minta menjadi murid karena kini ia telah cukup tahu betapa pentingnya memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dengan ilmu kepandaian tinggi dia tidak akan mudah dihina orang seperti berkali-kali ia dan kakaknya mengalaminya dan ia mengenal orang sakti maka kalau ia bisa menjadi murid nenek ini tentu ia akan menjadi amat lihai. Ia pun tahu bahwa ia boleh agak 'menjual mahal' karena tahu akan kegairahan hati nenek ini ingin mendengar tentang Pulau Es, akan tetapi kalau ia agak keterlaluan menjual mahal dan menahan harga, sekali nenek itu turun tangan ia takkan bernyawa lagi. Cepat ia menjawab.
"Locianpwe yang baik, peristiwa di Pulau Es merupakan rahasia pribadi, dan keadaan Pulau Es pun tidak boleh diceritakan pada lain orang, demikian pesan kakakku yang mentaati pesan tertulis para locianpwe penghuni pulau itu. Kami berdua telah bersumpah takkan membuka rahasia Pulau Es. Kalau saya tidak menjadi murid locianpwe, berarti locianpwe saya anggap orang luar. Bagaimana saya akan dapat menceritakan tentang pulau rahasia itu? Biar dibunuh sekali pun, kalau locianpwe tidak menjadi guru saya, mana saya berani membuka rahasia?"
Cekalan rambutnya mengendur dan tubuh Lulu dilepaskan kembali. Nenek itu mengangguk. "Engkau sudah sampai di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Baiklah, engkau menjadi muridku bersama Nirahai."
"Terima kasih, Subo!" Lulu dengan girang menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
Nirahai juga girang sekali, berlutut pula di samping Lulu, merangkul pundaknya dan berkata, "Sumoi yang baik!"
Akan tetapi Lulu melotot kepadanya. "Suci, awas kalau sampai Han-koko kau bunuh. Biar engkau menjadi suci-ku, engkau akan kubunuh pula!"
"Bocah kurang ajar, lekas ceritakan!" kembali nenek itu membentak.
"Subo, urusan rahasia yang sedemikian gawatnya masa boleh diceritakan di tengah jalan seperti ini? Lebih baik di dalam kamar, di istana... kalau Subo hendak ke sana."
Saking inginnya segera mendengar cerita itu, Nenek Maya menyambar tubuh Lulu dan sekali berkelebat ia lenyap. Hanya terdengar suaranya, "Nirahai, kami menantimu di dalam istana!"
Nirahai memandang bengong dan menghela napas panjang. Ia kagum sekali akan keberanian Lulu dan diam-diam ia menduga bahwa kelak Lulu akan menjadi seorang yang hebat. Dia tidak akan heran kalau subonya akan lebih sayang kepada bocah itu. Maka ia lalu memasuki joli dan memerintahkan dua orang pemanggulnya yang berjongkok dan bengong menyaksikan tingkah orang-orang aneh itu untuk memanggul joli melanjutkan perjalanan ke kota raja.....
![](https://img.wattpad.com/cover/160034710-288-k410068.jpg)
YOU ARE READING
PENDEKAR SUPER SAKTI (seri ke 6 Bu Kek Siansu)
AzioneJilid 1-42 TAMAT Suma Han merupakan salah satu tokoh fiktif dalam serial silat Bu Kek Sian Su karya pengarang legendaris A. S. Kho Ping Hoo. Muncul dalam episode ke-7 Pendekar Super Sakti hingga episode ke-12 Kisah Pendekar Pulau Es. Dia adalah tok...