Jilid 39

2.8K 18 0
                                    

"Ha-ha-ha-ha! Memasang perangkap untuk seekor harimau ganas, yang didapat bukan hanya harimau, akan tetapi juga dua ekor domba yang berdaging lunak. Ini namanya untung besar, ha-ha-ha!"

Sin Lian dan Hian Ceng mencabut pedang dan meloncat keluar dari dalam kemah itu. Kiranya Ouwyang Seng yang mengejek mereka telah berdiri di situ bersama Toat-beng Ciu-sian-li dan Ma-bin Lo-mo! Hian Ceng adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa. Biar pun ia maklum bahwa kepandaian Ouwyang Seng amat hebat, namun melihat pemuda bangsawan yang dibencinya ini, dia sudah tidak dapat menahan sabar lagi dan sambil memaki ia sudah menerjang dengan tusukan pedangnya.

Ouwyang Seng tertawa mengejek. Betapa pun cepat gerakan Hian Ceng, namun dia lebih cepat lagi mengelak sambil tertawa-tawa mengejek. Hian Ceng menjadi makin marah dan terus menyerang secara bertubi-tubi yang selalu mengenai tempat kosong, bahkan dia mendesak dan mengejar terus ketika Ouwyang Seng sambil melompat memancing gadis itu menjauhi kawannya.

Ada pun Sin Lian yang tahu bahwa kakek dan nenek yang berdiri tenang itu jauh lebih berbahaya dan lihai, membiarkan Hian Ceng menyerang Ouwyang Seng, sedangkan dia tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang hebat menyerang Ma-bin Lo-mo. Kakek ini mendengus dan tentu saja dia dapat menghindarkan serangan Sin Lian hanya dengan mengibaskan ujung lengan bajunya yang mengandung tenaga sinkang amat kuat membuat pedang yang menyerang itu menyeleweng. Namun Sin Lian tidak menjadi gentar dan terus melanjutkan penyerangannya dengan gerakan cepat sekali, mainkan jurus-jurus dari Chit-seng-sin-kiam sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing.

"Hemmm, kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus!" Ma-bin Lo-mo memuji sambil mengelak. Dia tidak ingin cepat-cepat merobohkan gadis ini karena dia tertarik oleh ilmu pedang itu, hendak menyaksikannya lebih dulu.

"Hi-hik, ilmu pedang yang dasarnya adalah Ilmu Silat Siauw-lim-pai. Tentu inilah Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam yang terkenal itu, ciptaan Siauw-lim Chit-kiam! Si Setan Botak Gak Liat pernah memuji-muji ilmu pedang ini kepadaku!" kata Toat-beng Ciu-sian-li sambil minum arak dari gucinya, matanya menyipit memperhatikan gerakan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.

Sin Lian menjadi terkejut sekali, akan tetapi ia hanya dapat memperhebat serangannya secara nekat. Kecemasannya memuncak ketika ia mendengar Hian Ceng mengeluh dan dengan kerling matanya ia melihat Hian Ceng sudah ditawan oleh Ouwyang Seng, dipegang kedua pergelangan tangannya dan dipanggul oleh Ouwyang Seng yang membawanya memasuki sebuah kemah sambil tertawa-tawa.

Kedua kaki Hian Ceng menendang-nendang dan mulutnya memaki-maki, akan tetapi ia tidak dapat terlepas. Kemarahan membuat Sin Lian makin nekat dan penyerangannya makin hebat. Akan tetapi makin hebat dia menyerang, hal ini agaknya membuat Ma-bin Lo-mo yang selalu mengelak atau menangkis dan nenek yang menonton sambil minum arak itu makin gembira!

Betapa pun Hian Ceng meronta-ronta dan memaki-maki, dia tidak berdaya menghadapi Ouwyang Seng yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya. Akhirnya dara yang biasanya riang gembira ini tertotok dan hanya dapat mengeluh dan menangisi nasibnya yang malang. Di dalam tenda itu terjadilah perkosaan yang keji, perbuatan kejam dan ganas yang hanya akan dapat dilakukan oleh seorang manusia yang sudah menjadi buta oleh nafsu dan sudah bukan manusia lagi, melainkan iblis sendiri yang menguasainya!

"Ha-ha-ha-ha, dahulu engkau terlepas dari tanganku, sekarang akhirnya engkau menyerah dan menjadi milikku. Siapa yang akan menolongmu, manis?" Ouwyang Seng manusia biadab itu mengejek sambil tertawa memandang korbannya yang terengah-engah seperti hendak pecah dadanya, air matanya bercucuran dan keadaannya amat mengenaskan.

"Ha-ha, aku takkan membunuhmu, manis. Sayang kalau dibunuh, aku belum bosan padamu. Nanti kutemani lagi, aku hendak melihat temanmu itu dan..."

"Ouwyang Seng manusia binatang!" Tiba-tiba Ouwyang Seng terbelalak kaget ketika tiba-tiba muncul Han Han di depannya! Bagaimanakah pemuda buntung yang sudah terjebak dan terhimpit batu besar itu tiba-tiba bisa muncul di depannya? Setannyakah ini?

Tentu saja bukan! Yang muncul itu adalah Han Han. Setelah dengan susah payah menggali dinding tanah di atasnya, akhirnya Han Han berhasil membuka lubang di sebelah atas batu yang menutup setengah lubang sumur itu dan ia cepat meloncat ke atas. Terlalu lama ia tertutup tadi dan ia sungguh cemas akan nasib Lulu, Sin Lian dan Hian Ceng. Ia mengharap mudah-mudahan tidak terlambat, maka cepat ia meloncat keluar dari kemah palsu itu, tidak mempedulikan rasa sesak dan sakit di dalam dadanya. Ketika ia tiba di luar kemah, ia melihat Sin Lian menyerang Ma-bin Lo-mo dengan pedangnya. Kakek itu seperti seekor kucing mempermainkan tikus, tidak membalas, hanya menangkis dan mengelak sambil berulang-ulang memuji keindahan ilmu pedang yang dimainkan Sin Lian.

Ada pun Sin Lian yang melihat munculnya Han Han, cepat menjerit, "Han Han! Cepat kau tolong Hian Ceng di kemah itu!"

Han Han melihat keadaan Sin Lian memang belum terancam, maka ia berkelebat cepat ke arah kemah dan mendengar suara ketawa Ouwyang Seng. Begitu ia menerobos memasuki tenda dan melihat keadaan Hian Ceng, hatinya seperti diremas rasanya. Dia telah terlambat!

Sekali saja melirik Hian Ceng, maka kemarahannya membuat wajah Han Han menjadi beringas, sepasang matanya terbelalak seperti mengeluarkan api ketika ia menatap wajah Ouwyang Seng. Apa lagi darah yang tadi keluar dari ujung-ujung bibirnya masih belum dibersihkan, rambutnya masih kotor dengan tanah dan riap-riapan, wajah Han Han pada saat itu seperti wajah maut sendiri!

Ouwyang Seng gemetar. Wajahnya pucat dan ia terbelalak, meraba gagang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya masih berusaha mengancingkan bajunya yang baru saja ia pakai kembali.

"Ouwyang Seng... kau bukan manusia... kau... iblis... tidak berhak hidup lagi setelah apa yang kau lakukan terhadap Hian Ceng...!" Han Han bicara dengan bisik-bisik parau, akan tetapi bagi telinga Ouwyang Seng terdengar makin menyeramkan dan lebih menakutkan dari pada kalau pemuda buntung itu berteriak-teriak.

Namun pemuda bangsawan ini teringat bahwa di luar terdapat dua orang pembantunya yang sakti, maka hatinya menjadi besar dan ia berseru, "Ji-wi Locianpwe lekas ke sini! Si Buntung di sini!" Akan tetapi ia cepat mengelebatkan pedangnya ketika melihat tubuh Han Han bergerak ke depan menerjangnya.

Cepat bukan main gerakan Han Han yang sedang marah ini sehingga Ouwyang Seng secara ngawur saja menyambut berkelebatnya tubuh Han Han itu dengan sabetan pedangnya. Pemuda bangsawan ini mengeluarkan jerit kesakitan, pedangnya terlepas jatuh ke atas lantai karena pergelangan tangan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan tongkat, kemudian ia terbanting roboh kena disambar tamparan telapak tangan kiri Han Han yang amat kuat. Pemuda itu mengerang kesakitan, berusaha bangkit akan tetapi roboh lagi karena tamparan itu membuat dua buah tulang iganya remuk!

Menyaksikan keadaan tubuh Hian Ceng yang masih telanjang bulat, sambil menahan sedu-sedan yang naik ke lehernya dari dalam dada Han Han cepat menggunakan jari tangan kanannya membebaskan totokan Hian Ceng. Gadis itu menjerit dan menangis sedih, meloncat bangun, terhuyung dan menyambar pedang Ouwyang Seng yang terlepas tadi. Han Han hanya dapat memandang dengan hati hancur, kemudian malah menundukkan mukanya, tidak kuat lebih lagi memandang tubuh yang masih telanjang bulat itu.

Hian Ceng mengeluarkan pekik mengerikan, pedang di tangannya berkelebat dan putuslah leher Ouwyang Seng disambar pedangnya sendiri. Gadis itu masih terus membacoki mayat Ouwyang Seng sampai menjadi puluhan potong, darah berhamburan memenuhi ruangan dan lantai, kemudian Hian Ceng menggerakkan tangan yang memegang pedang ke arah lehernya sendiri!

Seperti digerakkan sesuatu yang aneh, Han Han mengangkat muka memandang dan wajahnya menjadi pucat, mulutnya berseru, "Ceng-moi...!"

Ia menubruk maju, namun kembali untuk kedua kalinya ia terlambat. Pedang itu telah menyambar leher sampai hampir putus! Han Han terisak merangkul Hian Ceng, lalu berlutut menyangga punggung dan leher yang terluka hebat. Hian Ceng membuka matanya yang masih berlinangan air mata, akan tetapi bibirnya tersenyum! Han Han merasa seperti jantungnya ditarik-tarik. Sakit sekali rasanya menyaksikan betapa sinar mata gadis itu sama benar dengan sinar mata mendiang Soan Li ketika berangkat mati dalam pelukannya.

"Ceng-moi... Ceng moi...!" Han Han berbisik dan mendekap tubuh itu, tidak peduli betapa darah gadis itu yang mengucur keluar dari leher membasahi seluruh bajunya. Air matanya sendiri menetes-netes ke muka Hian Ceng yang kini memperlebar senyumnya dan makin memucat wajahnya. Beberapa detik kemudian Hian Ceng tewas dalam pelukan Han Han dengan mulut masih setengah terbuka, tersenyum!

Kekejangan terakhir yang disusul kelemasan tubuh yang dipeluknya membuat Han Han merintih, lalu perlahan-lahan ia merebahkan tubuh Hian Ceng ke atas lantai, menarik selimut yang berada di atas pembaringan, menutup jenazah itu dengan selimut, kemudian ia terisak dan meloncat ke luar karena teringat akan keselamatan Sin Lian yang menghadapi lawan tangguh.

"Sin Lian...!" Lengking ini hebat sekali keluar dari mulut Han Han ketika tubuhnya mencelat jauh ke depan, ke arah pertandingan itu. Lengking yang keluar mengandung kemarahan memuncak, kecemasan mendalam dan kedukaan yang mengguncang seluruh perasaan hati Han Han.

Dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hatinya ketika ia melihat Ma-bin Lo-mo berhasil melibat ujung pedang Sin Lian dengan ujung lengan bajunya, dan dengan pengerahan Swat-im Sin-ciang yang amat kuat, Iblis Muka Kuda ini dengan tiba-tiba membalikkan pedang itu dengan kuatnya sehingga pedang di tangan Sin Lian itu membalik dan menusuk dada dara itu sampai tembus! Sin Lian terhuyung-huyung dan matanya terbelalak memandang gagang pedangnya sendiri di depan dada.

Han Han yang mencelat dengan kecepatan seperti sinar menyambar itu telah menukik ke arah Ma-bin Lo-mo dan menggerakkan tongkatnya menusuk dada kakek itu, sedang tangannya ia pukulkan ke arah kepala Toat-beng Ciu-sian-li!

"Prakkk! Desssss...!"

Tongkat di tangan Han Han patah-patah bertemu dengan golok melengkung di tangan Ma-bin Lo-mo, tangan kanannya terbentur dengan lengan Toat-beng Ciu-sian-li yang menangkis pukulannya tadi. Kakek dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka menjadi pucat ketika tubuh mereka terlempar ke belakang dan terbanting ke tanah, akan tetapi mereka bergulingan dan sudah meloncat bangun kembali. Han Han yang sudah terluka sebelah dalamnya ketika ia menghabiskan tenaga mengangkat batu, kini menggunakan serangan dahsyat yang bertemu dengan sinkang kedua lawannya yang kuat pula, maka tongkatnya patah-patah dan biar pun ia tidak terlempar, namun ujung mulutnya kembali mengucurkan darah segar. Han Han tidak mempedulikan dirinya sendiri dan berloncatan ke dekat Sin Lian. Gadis itu masih berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang dan kini ia mengeluh.

"Han Han... ohhhhh, Han Han..."

Gadis itu juga mengucurkan darah dari mulutnya dan tubuhnya tentu roboh kalau Han Han tidak cepat menyambarnya, memeluk dan memondongnya lalu dibawa berloncatan ke bawah pohon. Dengan menyandarkan punggung di pohon dan memondong tubuh Sin Lian, Han Han menangis.

"Sin Lian... aduh Sin Lian... kau... kau ampunkan aku, Sin Lian...! Aku... aku terlambat menyelamatkanmu..."

Akan tetapi Sin Lian tersenyum sehingga tampak aneh sekali. Dalam keadaan seperti itu, dengan wajah yang makin pucat sehingga darah yang mengalir ke pipinya kelihatan amat merah, pedangnya menancap di ulu hati, gadis ini masih dapat tersenyum! Perlahan-lahan lengan kiri Sin Lian yang tergantung itu diangkat dengan lemah, kemudian jari-jari tangan gadis itu mengusap air mata Han Han, mengusap darah di pinggir mulut, membelai rambut yang riap-riapan itu dan dibereskannya ke belakang, mulutnya berbisik-bisik.

"Han Han... ohhhh, Han Han... aku rela... aku senang mati... dalam pelukanmu...! Han Han... kau... kau menangisi aku...?"

Han Han merasa jantungnya seperti diremas-remas. Baru saja menghadapi kematian Hian Ceng yang masih melukai hatinya, kini ia memeluk tubuh Sin Lian yang sedang menghadapi kematian pula! Kepalanya menjadi pening, air matanya menetes-netes dan melihat betapa sepasang mata itu memandangnya penuh harap, naik sedu-sedan di kerongkongannya dan tak kuasa ia mengeluarkan suara, maka ia hanya mengangguk-angguk dan terisak membenamkan mukanya di leher yang berkulit putih halus itu. Ia merasa betapa leher itu berdenyut-denyut dan merasa betapa jari-jari tangan halus itu membelai rambutnya, dengan mesra mendorong mukanya sehingga terpaksa ia mengangkat muka memandang wajah yang makin melayu.

"Han... Han... aku... cinta padamu..., aku rela mati... kau tolong Hian Ceng... dia... gadis baik yang mencintamu pula... selamat tinggal..." Kepala Sin Lian terkulai ke belakang.

"Sin Lian... aduhhh, Sin Lian...!"

Han Han tidak kuasa menahan kesedihannya yang datang bertumpuk-tumpuk, pukulan batin yang datang bertubi-tubi dan ia menangis, mengguguk, dan kalau tidak bersandar pada batang pohon, tentu ia sudah roboh karena seluruh tubuhnya menggigil.

Melihat keadaan pemuda yang menangis dan agaknya tidak ingat apa-apa lagi itu, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li melihat kesempatan baik. Mereka memang merasa jeri menghadapi pemuda buntung yang amat sakti itu, akan tetapi kini mereka melihat kesempatan untuk menerjangnya.

Akan tetapi tiba-tiba Toat-beng Ciu-sian-li berbisik pelan, "Celaka... bocah pengacau itu datang...!" Telunjuknya menuding dan Ma-bin Lo-mo yang memegang golok menoleh.

"Kak Han Han...!"

Lulu datang berlari seperti terbang cepatnya. Dari jauh ia sudah melihat keadaan Han Han yang memondong mayat seorang gadis yang belum ia kenal siapa.

"Han-twako...!"

Ia menjerit lagi melihat Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li mempercepat larinya, bahkan kini berloncatan jauh sehingga tiba di depan Han Han.

Han Han tersentak kaget. Seperti baru bangun dari mimpi ia teringat dan sedetik hatinya lega dan girang mendapat kenyataan bahwa adiknya selamat, akan tetapi segera timbul kemarahan dan penyesalannya. Ia memandang Lulu melalui air matanya, mukanya pucat seperti mayat.

Kini Lulu membelalakkan mata memandang mayat gadis yang masih dipondong kakaknya itu, lalu menjerit, "Enci Lian...! Dia kenapa...?" Ia merenggut tubuh itu dari kedua lengan Han Han, diletakkannya di atas tanah, diguncang-guncangnya pundak Sin Lian.

"Enci Lian...! Ooohhhh, dia... dia... kenapa...? Mati...! Enci Lian mati...!" Lulu memeluk mayat itu dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia mengangkat muka memandang Han Han yang masih berdiri bersandar pada batang pohon, melihat muka yang pucat dan basah air mata itu, melihat pakaian di bagian dada dan perut penuh darah, melihat darah di ujung mulut, segera ia meloncat bangun memeluk kakaknya.

"Han-koko...! Kau... kau kenapa...? Apa kau terluka...?" Hatinya penuh kekhawatiran, suaranya menggetar.

"Ah, Lulu anak nakal...!" Han Han merangkul adiknya. "Ke mana saja engkau pergi? Sungguh mendatangkan banyak kedukaan di hatiku. Lulu, aku girang melihat engkau selamat dan sehat. Sekarang pergilah, adikku. Pergilah tinggalkan aku, jangan dekat-dekat di sini, berbahaya sekali. Pergilah mencari Sin Kiat, dia seorang yang baik sekali dan amat cinta kepadamu. Pergilah tinggalkan aku bersama mayat Sin Lian...!"

"Koko! Apa kau bilang? Aku tidak mau meninggalkan engkau lagi! Engkau sendiri mau apa?"

"Aku akan mengadu nyawa dengan dua iblis itu!"

"Tapi engkau terluka! Jangan khawatir, ada Lulu di sini. Tidak ada seorang pun iblis yang akan berani mengganggumu!"

"Lulu, adikku sayang, satu-satunya orang yang kukasihi di dunia ini...! Adikku, pergilah, aku rela mati asal engkau selamat dan bahagia. Sin Lian... dia... dia... demi cintanya kepadaku... dia sudah berkorban untuk kakakmu ini... dia berkorban nyawa dalam usahanya menolongku. Tidak bolehkah kalau aku menemaninya mati untuk membalas budinya?"

"Tidak!" Dan tiba-tiba Lulu membalikkan tubuh menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li lalu menundingkan telunjuknya. "Hemmm, kalian dua orang tua bangka yang melukai kakakku dan membunuh enciku, ya? Aku tidak akan mengampunimu!"

"Lulu, jangan...! Jangan mencampuri urusan ini!" Han Han yang mengkhawatirkan keselamatan Lulu, cepat menubruk dan menyambar lengan adiknya, ditarik ke belakang. "Akulah lawan mereka...!"

Han Han hendak menyerbu, akan tetapi begitu ia mengerahkan sinkang untuk meloncat, ia mengeluh dan tubuhnya roboh terguling, pingsan di samping mayat Sin Lian.

"Koko...! Han-koko...! Jangan engkau mati... janganlah tinggalkan aku, Kak Han Han...!" Lulu menjadi bingung dan menangis sambil memeluki dada Han Han, mengguncang-guncang pundaknya, tidak peduli lagi akan keadaan sekitarnya. Akan tetapi Han Han tidak bergerak, mukanya pucat seperti mayat.

Baru Lulu sadar saat sebuah tangan halus tetapi kuat memegang dan mengguncangkan pundaknya. Ia mengangkat mukanya dari dada Han Han, menoleh dan melihat Nirahai telah berdiri di situ dengan wajah lembut akan tetapi angkuh, sedangkan tempat itu telah dikurung oleh banyak pasukan Mancu.

Lulu meloncat bangun, mencabut pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil berkata, "Suci! Aku bersumpah, disaksikan bumi dan langit bahwa kalau engkau datang hendak mencelakai Han-koko, aku tidak sudi menjadi sumoi-mu lagi dan aku akan melawanmu sampai mati di depan kakimu!"

Nirahai tersenyum, kagum menyaksikan kesetiaan dan cinta kasih sumoi-nya terhadap Han Han. Dia datang dan sudah mendengar akan semua yang terjadi di situ. Melihat tubuh Ouwyang Seng yang hancur lebur di dalam kemah di samping jenazah Hian Ceng yang masih telanjang, ia dapat menduga apa yang terjadi. Dia mendengar pula betapa Han Han berhasil lolos dari himpitan batu besar yang membuatnya kagum bukan main. Kini melihat sumoi-nya, ia diam-diam menjadi kagum dan terharu. Ketika melihat sikap Lulu, ia tersenyum menggeleng kepala dan berkata, "Sumoi, simpanlah pedangmu. Aku tidak akan membunuh kakakmu. Pula, jikalau engkau melawan aku, apakah kau kira dengan cara itu engkau akan dapat melindungi kakakmu? Sama dengan membunuh diri."

"Aku tidak takut mati! Aku bangga mati membela Han-koko, aku bahagia kalau mati bersama kakakku!"

Nirahai memperlebar senyumnya. "Mengapa bicara tentang mati kalau masih hidup? Aku tidak akan membunuh kalian, akan tetapi karena dia membunuh Ouwyang-kongcu, aku harus menawannya. Engkau boleh ikut dan merawatnya. Lihat, dia terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, kalau tidak mendapat perawatanmu, dia bisa mati."

Mendengar ini, Lulu menyimpan pedangnya dan menubruk Han Han lagi, penuh kekhawatiran.

"Biarlah dia digotong ke dalam dan kau boleh merawatnya, akan tetapi kalian adalah orang-orang tawananku," kata Nirahai.

Terpaksa Lulu menyerah. Kalau memang masih ada jalan untuk menghindari kematian, ia tidak ingin nekat membiarkan kakaknya mati dan dia sendiri melawan sampai mati. Dia sudah mengenal Nirahai dan tahu sedalam-dalamnya bahwa suci-nya itu pada hakekatnya bukan seorang kejam, malah sebaliknya. Nirahai adalah seorang dara yang berbudi mulia dan lemah lembut, hanya terlalu 'matang' mengurus tugas dan membantu pemerintah.

Han Han dan Lulu dimasukkan dalam kamar tahanan yang khusus dibuat di daerah perbatasan. Sebuah kamar yang cukup kuat dan besar, dengan dua pembaringan yang baik dan perlengkapan secukupnya, akan tetapi kamar itu terbuat dari tembok tebal dengan pintu bertirai besi yang masih dijaga oleh para penjaga di luar pintu. Lulu dibiarkan merawat Han Han, bahkan Nirahai mengirim obat-obatan yang dimasak sendiri oleh Lulu di dalam kamar, juga apa saja yang dibutuhkan Lulu dapat diminta melalui penjaga. Namanya saja mereka menjadi tahanan, akan tetapi mereka diperlakukan sebagai tamu-tamu agung.....

PENDEKAR SUPER SAKTI (seri ke 6 Bu Kek Siansu)Where stories live. Discover now