23. Menyerah

1.8K 384 34
                                    

"Panggilan kepada Angkasa Hyunjin Athara kelas XI IPA 2, ditunggu di ruang informasi."

Angkasa mengangkat wajahnya. Ia beranjak dari duduknya, mengemasi buku-buku yang berserakan di atas meja. Setelah mendapat izin dari guru yang sedang mengajar, Angkasa berjalan cepat menuju ruang informasi.

Ia mengerutkan kening ketika melihat Arga berdiri di sana. Kakak laki-laki Adhara itu sedang sibuk menulis di buku perizinan.

"Kak Arga," panggil Angkasa. Ia mendekat, mengintip tulisan Arga. Matanya membelalak ketika melihat namanya ada di sana, ditulis dengan jelas di kolom izin pulang lebih awal.

"Lah, kak. Kok izin pulang, sih?" tanya Angkasa heran.

Arga hanya tersenyum tipis. "Iya, cepet ambil tas kamu," jawabnya. Ia membalikkan tubuh Angkasa, mendorong punggung lelaki itu agar kembali kelas.

Tangan Angkasa terangkat menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia memilih mengatupkan rahang, mengikuti instruksi dari Arga. Pasti terjadi sesuatu. Tidak mungkin Arga repot-repot datang ke sekolahnya jika bukan karena hal penting.

Nama Adhara tiba-tiba terlintas di benak Angkasa. Lelaki Athara itu mempercepat jalannya, bahkan sudah setengah berlari. Berbagai kemungkinan buruk menguasai pikirannya. Bagaimana jika ternyata Adhara sudah tidak ada?

Angkasa menyambar tasnya, mengemasi buku-bukunya asal. Ia tidak memedulikan panggilan guru dan teman-teman sekelasnya. Angkasa takut kekhawatirannya terealisasikan.

"Ayo, naik. Kita ke rumah sakit," ajak Arga. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan kunci mobil dengan gantungan bintang berwarna emas. Lelaki Kifandra itu lantas segera menaiki mobil silvernya.

Angkasa mau tak mau mengikuti. Ia menghela napas berkali-kali, menenangkan dirinya yang tengah kalut.

Senoga Adhara baik-baik aja.

***

Koridor rumah sakit itu tidak pernah sepi. Sebagian besar orang berlalu lalang, beberapa orang lainnya duduk di ruang tunggu. Angkasa berlari kecil di sepanjang koridor tersebut, diikuti Arga yang malah berjalan santai di belakangnya. Lelaki Kifandra itu tersenyum simpul melihat Angkasa panik seperti itu.

Angkasa sampai di depan pintu. Ia menekan kenop pelan-pelan dengan napas masih belum stabil. Ia menarik napas dalam-dalam, menetralkan dadanya yang berpacu cepat.

"Kakak abis darima-"

Mata Angkasa melebar dua kali lipat. Rahangnya terjatuh ke bawah melihat pemandangan di depannya.

Adhara sedang duduk di atas ranjang. Tangan kanannya yang terbalut infus memangku semangkuk buah-buahan. Gadis itu memegang garpu di tangan kirinya dengan sepotong apel tertancap.

Adhara sama terkejutnya. Ia berdehem pelan, menghindari manik kembar hitam Angkasa yang masih setia menatapnya dari ambang pintu. Entah kenapa ingatannya melayang kembali kepada hari dimana Angkasa mengakui semuanya. Adhara memang koma saat itu, tapi ia masih bisa mendengar suara serak Angkasa dengan jelas.

Tanpa kata, Angkasa berlari ke arah Adhara. Lelaki itu merengkuh gadis di depannya erat-erat. Angkasa memejamkan matanya, menghirup aroma stroberi yang menguar dari rambut Adhara.

[1] Silent | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang