2. Terkunci

2.8K 526 80
                                    

Sore ini hujan membasuh bumi. Setelah siang tadi matahari sangat terik, sore ini justru giliran hujan yang mengguyur. Membuat beberapa orang berdecak kesal karena lupa membawa payung. Beberapa lainnya malah senang karena bisa mandi hujan.

Adhara membenahi barangnya, memasukkan berbagai macam alat tulis ke dalam tas. Ia baru saja selesai membuat artikel tentang MPLS tahun ini. Dan sekarang, hanya tersisa ia sendiri di ruang ekstrakulikuler mading.

Gadis Kartika itu beranjak dari duduknya setelah memakai tas di punggung. Adhara menuju pintu, menekan knopnya agar pintu terbuka. Namun nihil, pintu itu seperti terkunci dari luar.

CTAR!

Adhara terkesiap. Petir  menyambar, membuatnya terlihat seperti serabut akar di langit. Bersamaan dengan itu, lampu ruang mading ikut padam. Sempurna sudah.

Selama 17 tahun hidup, Adhara takut pada beberapa hal. Suara petir, kegelapan, dan ruangan yang sempit. Adhara mengalami ketiga hal itu secara bersamaan, ketika siswa-siswi sekolahnya sudah pulang satu jam lalu.

"Mama..." cicit Adhara. Gadis itu memandang sekitar dengan mata berkaca-kaca. Air matanya menggenang, siap jatuh kapan saja.

Tubuh Adhara ambruk ke lantai. Kedua tangannya digunakan untuk memeluk lutut. Sementara dirinya mulai terisak pelan.

Adhara merogoh saku seragamnya, berharap menemukan ponsel agar ia bisa menghubungi seseorang. Dengan tangan gemetar, gadis itu menekan beberapa nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala. Jari lentiknya baru akan menekan tombol dial ketika ponselnya ikut-ikutan mati.

"Mama, Ara takut." Gadis Kartika itu menenggelamkan wajahnya di kedua lutut. Napasnya mulai sesak, hal yang biasa dirasakan olehnya ketika berada di ruangan sempit.

Ruangan itu hanya seluas satu bilik toilet dan hanya berfungsi sebagai tempat untuk menulis. Ada satu rak kecil tempat menyimpan berkas-berkas ekstrakulikuler, selebihnya hanya ada satu meja dan kursi.

Hujan masih deras di luar sana. Adhara memberanikan diri menatap sekitar. Ada sedikit cahaya dari luar, meskipun mulai redup karena malam akan datang. Gadis itu mengusap pipinya yang basah, menormalkan napasnya perlahan-lahan.

"Udahan nangisnya?"

Sebuah suara dari speaker di sudut ruangan membuat Adhara berjengit kaget. Ternyata ini semua disengaja? Dirinya yang terkunci dan lampu yang mati tiba-tiba?

"Lo jadi cewek kok, lemah banget? Masa sama petir aja takut? Hahaha..."

Tawa sinis dari speaker sekolah membuat Adhara mengepalkan tangan. Gadis itu tak habis pikir, kenapa ada saja orang kurang kerjaan yang berbuat seperti ini.

"Makanya jadi cewek jangan sok. Lo itu cuma temen, jadi jangan berharap lebih."

Adhara membulatkan matanya. Kini ia mengerti. Pasti orang yang sedang berbicara adalah salah satu gebetan atau bahkan pacar Angkasa. Bukan pertama kalinya Adhara mendapatkan terror seperti ini. Dulu gadis itu sering mengalaminya.

"Asal lo tau, lo itu jadi penghambat hubungan gue sama Angkasa. Lo itu cuma cewek sok cantik yang kegatelan."

Gadis itu berdiri dari duduknya, menekan knop pintunya berkali-kali. Percuma, pintunya terkunci dari luar.

"Lo mau ke mana? Takut?"

Adhara meneguk ludahnya. Kali ini ia menggedor-gedor pintu. "Bukain! Gue mau keluar! Jangan jadi pengecut yang bisanya cuma nindas orang!" teriak gadis itu.

"Lo marah? Percuma lo gedor-gedor pintu, gak ada siapa-siapa lagi di sini selain gue. Mau lo teriak-teriak sampe suara lo abis juga gak akan ada yang denger."

[1] Silent | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang