8. Terluka

2.1K 438 126
                                    

Angkasa sudah sembuh total.

Setelah tiga hari lelaki itu tidak masuk sekolah, akhirnya hari ini ia kembali masuk. Angkasa sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bahkan tak segan-segan bermain basket di lapangan.

Adhara membenahi bukunya, bersiap pulang karena bel sudah berdering dua puluh tiga menit yang lalu. Gadis Kartika itu membenarkan letak tasnya lantas keluar kelas.

"Ara!"

Langkah Adhara terhenti. Ia hapal betul siapa yang memanggilnya dengan nama kecil. Kepala gadis itu refleks tertoleh. Dan benar saja, ia mendapati Angkasa sedang berlari kecil ke arahnya dengan tas tersampir asal di bahu kanan.

"Kenapa?" tanya Adhara. Ia menunggu Angkasa mengatur napas di sebelahnya. Gadis itu memutar-mutar kakinya iseng, membentuk pola melingkar di lantai.

Angkasa menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. "Hari ini birthday party-nya Kak Celia, gue diundang ke sana. Lo ikut, ya?" pinta Angkasa.

Mata Adhara melebar. Gadis Kartika itu langsung memeriksa ponselnya, melihat tanggal. Ia menepuk dahinya, lupa satu fakta bahwa kakak sepupu Angkasa itu sedang berulang tahun.

"Gue lupa Kak Celia ulang tahun. Iya, pastilah gue ikut. Tapi gue belum beli kado," jelas Adhara dengan raut wajah kecewa.

Angkasa mengibaskan tangan, tersenyum simpul. "Gak usah. Kata Kak Celia lo datang aja, gak bawa kado juga gapapa."

Adhara mengangguk mengerti. "Birthday party-nya sekarang?" tanya Adhara. Ia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Pukul 16.23. Sudah cukup sore dan ia sama sekali belum pulang ke rumah.

Angkasa ikut memeriksa jam tangannya. "Mulainya jam lima, sih. Tapi kita datang sekarang aja, bantu-bantu. Eh tapi, lo tungguin gue bentar di parkiran, ya? Gue mau ngasih kunci ruang olahraga ke Rafa."

Adhara lagi-lagi mengangguk. Pandangannya mengikuti langkah Angkasa yang berlalu kembali ke arah yang sama. Gadis itu tersenyum kecil lantas berlalu pelan menuju parkiran sekolah.

***

"Kuncinya kasih ke Daffa aja, deh. Gue males megang. Nanti kalo ilang gue yang disalahin."

Angkasa menipiskan bibir, merasa tak terima dengan pernyataan Rafa, salah satu temannya di ekstrakulikuler basket. Lelaki tinggi itu malah melempar tanggung jawabnya untuk memegang kunci kepada Daffa.

"Daffanya dimana?" tanya Angkasa malas.

Rafa terlihat berpikir, mengingat-ingat keberadaan si kapten basket tersebut. "Kayaknya tadi gue liat dia di lapang, deh. Lagi latihan," jawabnya.

Angkasa mengangguk. "Oke, gue ke lapang dulu." Lelaki itu berbalik, berjalan menjauh sembari menggerutu dalam hati. Ia harus bulak-balik dari gedung baru ke gedung utama. Dan itu memakan waktunya.

"Sorry, Ka!"

Angkasa tak menggubris. Lelaki itu mempercepat langkahnya menuju lapang basket di gedung utama sekolah. Ia tidak mau terlambat datang di acara kakak sepupunya.

"Daffa!" panggil Angkasa dari tepi lapangan.

Lelaki dengan jersey Cleveland Cavaliers menoleh. Tadinya Daffa sedang berkerumun di dekat ring. Tetapi karena panggilan Angkasa, ia berlari kecil mendekat.

"Apaan?"

"Nih, kunci." Angkasa menyodorkan kunci dengan gantungan bola basket mini ke depan wajah Daffa.

[1] Silent | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang