6. Sebungkus Nasi Goreng dan Cokelat Misterius

2.1K 441 55
                                    

Malam ini hujan. Adhara merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu. Gadis itu menghela napas, merasakan dadanya kembali sesak setelah mengingat kejadian tadi siang.

Adhara melirik ponselnya, menantikan benda pipih itu berdering. Ia berharap Angkasa akan mengirim pesan padanya walaupun hanya satu kalimat. Seharusnya gadis itu sadar. Angkasa punya 'sesuatu' yang baru.

Pintu kamar Adhara diketuk. Gadis itu beranjak, memutar kunci pintu kemudian membukanya. Di sana berdiri kakak Adhara, Argara Younghoon Kifandra, dengan setelan rumahannya; kaos putih polos dan juga celana selutut berwarna navy.

"Adek udah makan?" tanya Arga. Lelaki itu bersandar pada pintu sembari memasukkan tangannya ke saku celana.

Adhara menggeleng. "Belum kak, males. Kak Arga udah makan? Bi Asih udah masak 'kan tadi?" jawab dan tanya Adhara.

Arga terkekeh, mengacak rambut Adhara sekilas. "Kakak udah makan. Ayo, makan dulu. Kakak temenin." Lelaki itu menarik tangan Adhara pelan, meminta adiknya mengikuti menuju lantai satu.

Dengan langkah malas, Adhara mengekor di belakang Arga. Gadis itu merasakan tangannya menghangat saat berada di genggaman kakak lelakinya itu.

"Kak," panggil Adhara pelan.

"Hm?" Arga berdehem tanpa menoleh ke belakang.

Adhara menggigit bibir bawahnya, ragu apakah ia harus mengatakan hal ini pada Arga. "Mama sama Papa gak pulang lagi?" tanya Adhara.

Adhara bisa melihat punggung kakaknya menegak. Lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu berdehem pelan. Adhara mengatakan 'lagi', yang berarti orang tua mereka memang jarang pulang ke rumah.

"Iya. Mereka 'kan kerja buat kita juga," jawab Arga. Kepalanya menunduk, memerhatikan setiap anak tangga yang ia pijak.

Adhara menyela, "Tapi mereka 'kan bisa pulang terus ngerjain kerjaannya di rumah."

Lelaki Kifandra itu menghela napas. "Kamu harus ngertiin mereka. Gak boleh kayak gin-"

"Adhara kangen Mama." Gadis Kartika itu memotong cepat.

Arga tertegun. Ia mengelus punggung tangan Adhara menggunakan ibu jarinya. Bohong bila ia tidak merindukan kedua orang tuanya. Tapi Arga berusaha mengerti keadaan.

Adhara melepaskan genggaman tangannya. Ia menarik kursi kemudian mengambil piring. Gadis itu merutuki dirinya sendiri karena telah membuat kakaknya terdiam tanpa kata sekarang.

"Kak, maaf," ujar Adhara pelan. Gadis itu merunduk, mengamati butiran-butiran nasi di piringnya tanpa berniat untuk makan.

Arga tersenyum tipis. "Kenapa harus minta maaf? Kakak juga sama kayak kamu. Kakak juga kangen Mama. Kangen Papa. Kita sama, Ara," katanya.

Lelaki Kifandra itu beranjak dari duduknya, mengusap rambut Adhara pelan. "Abisin makannya. Kakak ke kamar dulu. Baru inget ada tugas."

Adhara menatap punggung kakaknya yang semakin menjauh. Gadis itu menyuapkan sesendok nasi dan lauk dengan malas. Sampai akhirnya ia juga kembali ke kamarnya tanpa melanjutkan makan malamnya.

***

Angkasa H. Athara: Bukain pintu rumah lo. Gue di depan.

Adhara terkesiap. Gadis itu hampir melemparkan ponsel saking kagetnya. Baru saja ia hendak mematikan benda pipih itu, pop up message dari Angkasa membuatnya mengurungkan niat.

Jari lentik Adhara menari-nari di atas layar ponselnya. Gadis itu mengirim balasan, merasa heran Angkasa bertamu ke rumahnya jam 11 malam seperti ini.

[1] Silent | 2HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang