Beberapa orang berlalu lalang dalam sebuah rumah besar itu. Mereka tengah menyiapkan sarapan untuk keluarga yang menjadi pemilik rumah tempat mereka bekerja. Satu persatu dari keluarga pemilik rumah itu datang dan duduk di tempat masing-masing.
"Mama, Anna mau itu," ucap seorang perempuan yang memakai seragam SMA. Jarinya menunjuk kearah makanan yang sudah di siapkan tadi.
Seseorang yang di sebut mama langsung sigap mengambil makanan yang anaknya inginkan. "Anna, Kak Abi kemana?" tanya Lina, seseorang yang di sebut mama oleh gadis berseragam SMA tadi.
"Entah. Anna tidak melihat Kak Abi sedari tadi." Tepat saat ucapan itu, Abi yang mereka bicarakan langsung muncul dan duduk di samping adiknya.
"Pagi," sapanya pada anggota keluarganya yang langsung mereka jawab dengan hal serupa, kecuali papanya yang hanya berdehem singkat karena sibuk dengan koran di depannya.
"Abi, kenapa kau memakai pakaian kantor? Mama sudah menyuruhmu untuk tidak masuk kantor hari ini," Lina menatap anak sulungnya itu.
"Aku sudah bilang, Ma. Ada banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan." Abi menyeruput kopi miliknya.
Tangannya dengan sigap meraih ponselnya kala benda itu bergetar dalam saku dalam jasnya. Membaca sekilas pesan email yang sekertarisnya kirimkan, Abi langsung berdiri dan mengakhiri sarapannya.
"Aku berangkat."
"Mama sudah mengingatkanmu, Abi! Awas kalau kau macam-macam!" teriak Lina saat anaknya sudah menjauh dari ruang makan.
Abi yang mendengar teriakan ibunya hanya melambaykan tangannya.
Lina hanya menghembuskan napas kasar melihat anaknya yang semakin gila dengan pekerjaan. Ia sudah menduga akan hal ini, makannya ia harus secepat mungkin mencari pendamping hidup untuk putranya sebelum putranya memilih untuk tidak menikah dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk bekerja.
--
"Bagaimana dengan rapat nanti siang?" tanya seseorang, langkahnya semakin cepat kala jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul delapan.
"Siap, pak. Semua sudah di sepakati. Kita akan mengadakan rapat di tempat biasa." Seseorang lainnya menjawab cepat pertanyaan yang diajukan bosnya.
"Bagus, jangan sampai semua berantakan. Berkasnya sudah harus berada di meja saya sebelum pukul sembilan." Tegasnya, kemudian melangkah masuk kedalam ruang rapat.
Semua yang berada di ruang rapat langsung serentak berdiri ketika pria itu memasuki ruangan. Pria itu mengangguk singkat seraya berjalan ke tempat duduk khusus untuknya.
Evan Abizar, pria yang kini tengah menyita perhatian di ruangan ini. Direktur dari perusahaan milik ayahnya sendiri. Karena ingin menghabiskan waktu dengan keluarga tercinta, ayahnya langsung menyerahkan perusahaan pada anaknya.
Abi yang bekerja di sebuah rumah sakit harus memilih untuk berhenti. Ia sangat tidak ingin mengecewakan orang tuanya, maka itu ia mengambil dua jurusan saat kuliah dulu. Keinginannya untuk menjadi dokter dan keinginan ayahnya yang ingin agar ia melanjutkan perusahaan. Kini saat ayah memintanya untuk mengurus perusahaan ayahnya, ia juga harus siap melepaskan pekerjaannya sebagai dokter, karena ia tidak mungkin bekerja di dua profesi sekaligus. Untung saja otaknya yang cerdas, mampu menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya ini.
Sama halnya dengan ibunya yang ingin menjodohkannya. Ia juga harus menerima itu. hanya karena Abi tidak terlihat mengencani wanita sama sekali sejak tiga tahun terakhir, ibunya jadi berpikir Abi tidak berkeinginan untuk menikah. Abi sebenarnya hanya ingin memfokuskan pikirannya pada perusahaan dulu, tapi jika ibunya sudah menetapkan suatu hal ia selalu tidak punya alasan untuk menolak.
Semenjak di tolak oleh seseorang yang ia lamar tiga tahun yang lalu, Abi tidak pernah sekalipun berkencan ataupun dekat dengan perempuan lain. Abi bukannya pemilih, ia hanya malas mencari. Sebenarnya bisa saja ia mengencani beberapa wanita yang menawarkan diri mereka padanya, hanya saja Abi tidak tertarik. Karena ia laki-laki, ia lebih suka mengejar dari pada di kejar.
Tapi ia juga tidak akan melawan jika akan di jodohkan, karena Abi yang tidak pernah meragukan pilihan orang tuanya, ia terima begitu saja.
--
Langkah kakinya semakin cepat kala ponsel dalam genggamannya semakin bergetar tanpa henti. Ya, Guella tahu jika dirinya sudah terlambat. Tapi tidak perlu sampai di telpon berulang-ulang.
Saat Guella masuk ke dalam rumah Ara, kedua sahabatnya itu sudah berdiri dengan wajah sangar di hadapannya. Guella hanya tersenyum tanpa dosa. Sungguh ia benar-benar lupa akan janjinya untuk datang. Setelah melaksanakan ujian terakhirnya tadi pagi, Guella langsung pulang untuk tidur. Ia terlalu fokus pada ujiannya sampai lupa akan kebutuhannya yang satu itu. Ia bahkan lupa jika ia berjanji untuk datang hari ini.
"Aku minta maaf. Aku benar-benar mengantuk."
Tea dan Ara hanya memutar bola mata meraka malas. Mereka cukup tahu bagaimana Guella yang terlalu terobsesi dengan nilai yang sempurna, sampai lupa akan hal penting lainnya.
"Ya, terserah. Tapi ingat! Kau juga harus makan, Guella. Ayo ke ruang makan sekarang, aku benar-benar lapar," ajak Ara. Guella melangkah mengikuti kedua sahabatnya yang sudah lebih dulu berjalan memasuki rumah Ara.
Sudah menjadi kebiasaan mereka jika sehabis ujian akan menginap di rumah salah satunya. Kali ini mereka akan menginap di rumah Ara. Keluarga Ara sangat menerima kehadiran Tea dan Guella. Apalagi Ara yang berstatus anak tunggal, hal itu membuat Ara tidak kesepian.
Guella berpikir sebentar. Sepertinya malam ini juga ia harus memberitahu kedua temannya itu tentang perjodohannya. Ia tidak ingin menutupi apapun dari kedua sahabatnya, karena jika itu terjadi persahabatan mereka pasti akan retak. Dan Guella pun juga ingin meminta saran mereka.
--
Guella membaringkan tubuh lelahnya di atas kasur milik Ara. Guella benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa mereka bermain seperti anak kecil. Saling mengejar dan jika tertangkap akan langsung diceburkan ke kolam. Untuk saja Guella langsung lari kekamar Ara, ia benar-benar tidak ingin di ceburkan apalagi Guella tidak mahir berenang.
Guella menatap langit-langit kamar Ara. Bayangan tentang acara perjodohan kembali manghantui kepalanya. Entah apa yang terjadi nanti, Guella yakin ia pasti kalah. Guella saja kini masih bingung atas dasar apa ia di jodohkan begini.
Jika saja ia punya nomor atau alamat pria yang akan di jodohkan dengannya itu, Guella pasti sudah memaksanya untuk membatalkan acara ini.
Apakah jika bunda masih hidup ia tetap akan berakhir seperti ini? Guella merindukan bundanya. seandainya bunda tidak pergi, Guella pasti tidak akan bertemu ayah. Guella pasti tidak akan berakhir dengan kebingungan seperti ini. Atau paling tidak jika ia di biarkan di panti asuhan, ia pasti tidak akan berakhir seperti ini.
Getaran di ponsel Guella menyadarkannya dari lamunan. Guella mengambil ponselnya di atas meja nakas samping kasur. Dibukannya pesan itu dan membacanya.
Guella mengusap wajahnya kasar. Apa lagi ini ya Tuhan.
***
Jangan lupa tinggalkan vote dan comment kalian sesudah membaca.
Terimakasih💙💙💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitary ✔
RomanceGuella harus menerima apapun yang orang tuanya katakan, walau dengan menjodohkannya sekalipun. Ia sudah pernah lari dari perintah orang tuanya sekali, dan sepertinya melakukan hal yang sama untuk kedua kali bukanlah hal yang baik. Apalagi jika ancam...