13

620 18 2
                                    

05.00 WIB

Ya, aku harus minta maaf, tekad ku pagi itu

Perlahan kuturuni anak tangga. Aku tau Mama sudah bangun. Kucium aroma masakan Mama yang selalu berhasil membuat bangun pagi ku bersemangat. Bisa kutebak, dia pasti sedang memasak nasi goreng andalannya. Sebelum masuk ke dapur, kusiapkan kata kata ku terlebih dahulu.
Duhh.. Bilang apa ya? Ma, Ochi minta maaf. Ochi memang salah. Hmm gitu bagus gak ya? Kayanya udah bagus tuh. Yaudah itu aja deh.
Setelah beberapa menit menyusun kata kata, ku berani kan diriku memasuki dapur. Kulihat Mama sekilas menatapku, kemudian berpaling lagi ke masakannya. Dia mungkin tidak menduga kalau aku mau meminta maaf kepadanya.
Aku berjalan mendekati Mama dan sekarang aku telah berada di sampingnya.
Sekarang, batinku
"Ma. Maafin Ochi. Ochi tau Ochi salah. Terlalu egois dan keras kepala. Ochi ga nyaman kayak gini. Siapa coba yang nyaman ga bicaraan sama Mama nya selama berminggu minggu. Maafin Ochi ya, Ma"
Perlahan, kutundukkan kepalaku dan tak kusangka air mataku mengalir, membasahi pipiku. Aku benar benar benar menyesal saat itu. Aku menyadarinya. Aku yang salah. Ya, aku memang salah, tapi aku selalu egois.
Kutunggu respon dari Mama. Apapun itu akan kuterima. Perlahan, kurasakan tangan kanan Mama mengelus kepalaku. Turun. Menggapai punggungku. Sekarang, kedua tangannya telah berada di punggungku dan menarik ku dalam dekapannya.

"Mama, maafin kamu sayang. Terima kasih udah mau minta maaf ya. Mama udah tungguin maaf kamu dari kemarin kemarin. Sampai Mama takut kamu gak mau lagi minta maaf. Tapi hari ini, Mama senang banget kamu bisa ngalahin ego kamu"

"Makasih ya, Ma. Ochi janji gak akan malas belajar lagi."

"Iya. Ayo, sarapan dulu ya. Ini nasi goreng nya udah siap. Panggil Yoshua dulu, gih" kata Mama sambil tersenyum kepadaku.

Pagi itu terasa sedikit melegakan. Akhirnya hubunganku dengan Mama kembali normal. Tapi, satu lagi. Pak Romgan. Untuk misi yang satu ini aku masih sedikit takut. Dari perjalanan ke sekolah tadi pun aku sudah membayangkan wajah Pak Romgan yang menyeramkan itu. Membayangkan nya saja aku sudah takut, apalagi bertatap muka dan meminta maaf kepadanya. Erhhh...

Tapi, aku sudah bertekad. Kuingat kembali kata kata Kak Eben kemarin, yang semakin meyakinkan diriku.
Oh iya? Kak Eben? Dia dimana ya? Apakah dia sudah datang? Aku penasaran dan akhirnya kuputuskan untuk melewati kelasnya.
Heii. Itu dia. Sedang membaca. Sepertinya membaca buku. Buku pelajaran lebih tepatnya. Emang ada ulangan ya? Setauku ulangan udah lewat. Sekilas kulihat dia dari pintu kelasnya. Saat asyik melihat nya, dia sepertinya tersadar bahwa dari tadi ada yang memperhatikannya. Dia menoleh ke pintu kelasnya dan melihatku berdiri di sana.
Mampus!
Duh. Dia nengo aku, gak?
Cepat cepat mataku berpaling dan berjalan normal menuju kelasku.

"Heyyy. Kok pergi?" teriaknya sehingga membuat siswa yang berada di koridor itu melihatnya dan tak lama mereka melihatku juga. Sungguh malu.
Dia berlari dan menghampiriku.
"Kenapa pergi? Eh, tadi kamu ngapain ke kelas aku?" tanyanya langsung secepat kilat.

"Ehh, enghh. Enggak kok kak. Tadi cuman mau liat kakak doang."
Duh, keceplosan. Kenapa aku harus bilang itu sih? Mampus deh gw.

"Liat aku? tanyanya lagi sambil tersenyum."
Manis. What a nice smile! batinku dalam hati.

"Ehhh.. Hehe. Oh iya kakak lagi ujian? Kok kayanya serius banget tadi baca bukunya?" tanyaku mencomot sembarang topik.
Kupikir topik itu akan mengalihkan topik pembicaraan sebelumnya. Ternyata tidak.

"Wah, berarti bener ya? Kamu dari tadi liatin aku?" katanya sambil tertawa memperlihatkan gigi gingsul nya yang membuat poin kemanisan nya bertambah.

Lantas wajahku memerah seperti tomat. Malu sekali.
Karena melihat wajahku yang memerah, kak Eben langsung mengalihkan pembicaraan.

"Hehe. Engga ada ulangan kok, dik. Aku lagi belajar aja untuk Olimpiade Matematika bulan depan."

Wah. Mataku membulat dan pandanganku terfokus padanya.
"Olimpiade Matematika, kak?" tanyaku meyakinkan

"Iya. Kenapa? Wajahku gak meyakinkan ya?" katanya bercanda.

"Eh, enggak kok kak. Aku salut aja kak. Keren. Aku selalu salut liat orang yang bisa ikut Olimpiade. Apalagi Matematika"

"Ah, biasa aja dik. Kamu juga bisa kok."

Aku terdiam. Dan menatapnya.
"Haha, enggak lah kak. Gak mungkin. Nilai Matematika aku aja ga pernah lulus", kataku sambil pura pura tertawa.

Tiba tiba kurasakan tangan Kak Eben menyentuh pundak ku. Spontan aku terkejut dan menunduk malu.
"Tak ada yang mustahil di dunia ini, Chi. Kalau kamu terus berusaha, aku yakin kamu pasti bisa. Jangan pernah menyerah" katanya sambil tersenyum manis.

Perlahan kutatap dia dan mengangguk tersenyum.
"Iya kak. Makasih" jawabku

"Kamu manis" katanya. Sontak membuat wajahku kembali memerah. Kali ini lebih merah daripada yang tadi.

"Ahahaaha. Langsung merah gitu, mukanya. Eh oh iya, gimana sama Pak Romgan? Jadi kan hari ini?" tanyanya mengalihkan topik

"Jadi kok kak" balasku

"Bagus. Semoga berhasil ya hahaha.. Pasti dimaafin. Pasti."

"Hehe, iya kak makasih"

"Makasih mulu, dik"

"Hehehe, jadi apalagi kak? Kan emang harus makasih. Ehh udah dulu ya kak. Ntar telat. Udah mau bel nih" kataku teringat sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi

"Ehh, oke dik. Maap jadi lama bicaranya. Sukses ya pagi ini. Jangan cepat menyerah"




MATEMATIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang