Pemikiran Elang II

109 45 31
                                    

Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, para murid dan guru menikmati jam istirahat pertama.

Tak terkecuali dengan Elang. Dia menikmati waktu istrihat di depan perpustakaan yang sejuk penuh dengan pepohonan hijau sambil membaca buku.

"Pluralisme ialah suatu sistem yang memungkinkan semua kepentingan dalam masyarakat bersaing secara bebas untuk mempengaruhi proses politik sehingga tercegah terjadinya suatu kelompok yang mendominasi kelompok lain."

Elang menutup bukunya, ia menengok ke langit merenungi apa yang barusan ia baca.

"Ah! Aku tidak tahu maksudnya."

Elang membuka kembali bukunya, sekedar untuk mempelajari arti lebih jauh dari tulisan itu.

"Hei, Lang!" Terdengar suara dari belakang.

Elang menengok asal dari suara itu. "Ada apa, Ji?"

"Gawat, Lang, gawat." Aji duduk di sebelah Elang.

"Gawat apa si? Tenangin dulu." Elang menutup buku yang dia pegang.

"Anak-anak sekolah, khususnya kelas sembilan dan kelas delapan. Sekarang jadi pecandu obat keras."

"A-apa?" Elang kaget mendengar cerita Aji.

"Dimana mereka sekarang?" lanjut Elang.

"Mereka di belakang sekolah."

Elang bergegas menuju belakang sekolah. Memang, di sana masih sepi belum ada aktifitas belajar mengajar, hanya bangunan yang belum tuntas berjajar.

Elang tiba di belakang sekolah, tetapi sudah tidak ada orang lagi di sana.

"Mana?" tanya Elang penasaran.

"Tadi banyak disini."

"Ini nggak ada siapa-siapa."

Aji keheranan, ia segera mencari bukti ke tempat-tempat pojokan dinding tak bercat itu. "Ini bungkusnya."

"Ini bukan bagian dari narkoba. Tapi ini pereda sakit." Elang memegang bekas bungkusan obat itu.

"Efeknya apa?" tanya Aji penasaran.

"Kalau gak salah, jika diminum dalam jumlah banyak akan mengakibatkan hilangnya kesadaran otak sementara, menahan nyeri dan sakit pada luka, atau dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gagal ginjal. Ini bahaya juga, dalam satu tahun mengkonsumsi obat ini pandangan orang terasa kosong," jelas Elang.

"Kita harus laporkan ke kepala sekolah kalau kaya gini." Aji membalikkan badannya.

"Jangan!" Elang menahan tangan Aji. "Ini terlalu berbahaya."

Langkah Aji tertahan oleh Elang. Matanya menatap Elang dengan penuh harap.

"Nanti biar aku yang pikirin caranya."

Waktu telah telah menunjukkan jam pulang sekolah. Namun, perasaan Elang masih belum move-on dari tempat belakang sekolah tadi.

Bungkusan obat masih dia bawa dan diselipkan pada sebuah kantong celana. Entah untuk apa dia membawa sampah kecil itu.

Sesampainya di rumah, ia menceritakan kepada orang tuanya apa yang baru saja ia alami di sekolah.

Hari telah larut malam, belum ada keputusan yang diambil oleh Elang. Matanya masih saja melek menandakan ia sedang berpikir keras mengatasi perederan obat-obat terlarang di sekolahnya.

Keesokan harinya, mata Elang memerah karena kurang tidur. Namun sampai pagi ini, ia masih memikirkan langkah apa yang akan ia ambil.

"Hai, Lang." Elisa menghampiri Elang yang berjalan di depan gerbang sekolah.

ELANG: Di Atas Awan [OPEN P.O]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang