Prolog

293 69 42
                                    

Langit begitu gelap tanpa bintang, pandangan samar tanpa penerangan yang jelas, hanya bersumber dari lampu tempel yang menempel di dinding kayu. Telah lahir bayi dari keluarga sederhana.

Rumsih dan Tejo bersuka cita menyambut kehadiran anak laki-laki dalam hidupnya.

"Namanya siapa, Pak?" tanya Bidan Desa.
"Saya punya nama spesial buat anak pertama saya, Bu. Nanti saya musyawarah dulu dengan istri saya," jawab Tejo sambil mengais bayi yang baru saja dilahirkan istrinya.

Tejo masuk ke dalam kamar, menemui istrinya. "Namanya menurut Ibu siapa?"
"Terserah Bapak saja." Rumsih tersenyum.
"Bagaimana kalau Elang saja."
"Ibu kan sudah bilang, Ibu manut Bapak saja."

•••

Elang 6 tahun.

"Nak ... ayo pulang." Ibu memanggil Elang saat sedang asyik bermain.

Elang yang tumbuh dan dibesarkan di keluarga sederhana, berkembang dengan baik layaknya orang biasa.

"Bu, tadi aku lihat ada gambar bagus di rumah Elisa." Elang menatap Ibunya.

"Gambar opo, Nak?" tanya Ibu penasaran.

"Katanya itu Tuhan dia."

Ibu tersenyum menatap Elang yang masih lugu. "Iya, itu Tuhan mereka. Tapi, meskipun kita berbeda keyakinan, kita harus saling akur, saling melindungi, dan saling mengasihi."

Elang menatap mata Ibu dengan rasa keingin-tahuannya lebih jauh.

Setiap hari, Elang menghabiskan waktu mainnya bersama Elisabeth. Bisa dibilang ia seperti keluarga keduanya. Dari segi perekonomian, memang berbeda jauh, Elisabeth yang lahir dari keluarga mapan kadang kala membantu kehidupan keluarga Pak Tejo.

Elang tumbuh di tengah perbedaan agama, ras, dan etnis.
Sang Ayah membawanya ke sebuah Sekolah Negeri, dengan harapan memberi pendidikan formal dan pengetahuan yang menjadikan dirinya semakin bijak.

"Pak, saya ingin mendaftarkan anak saya untuk sekolah di sini. Tapi kira-kira biayanya berapa ya?" tanya Tejo.
"Jangan khawatir, Pak. Untuk sekarang, pemerintah sudah menggratiskan biaya sekolah dari SD sampai SMA. Jadi, tidak kami tidak ada pemungutan biaya apapun dari Bapak," jelasnya.

Tejo dan Elang tersenyum sumringah mendengar kabar bahagia itu.

"Silakan isi formulir pendaftarannya dulu, Pak!"

Selepas dari pendaftaran di sekolah dasar, Tejo membawa Elang membeli peralatan sekolah di tukang loak.

Pandangan Elang jatuh menatap sepatu yang dipajang di sebuah pinggir jalan.

"Ini berapa, Pak?" tanya Tejo mengambil sepatu yang dipandangi anaknya.
"Itu dua puluh lima ribu,"

Tejo meletakkan kembali sepatu ke tempat semula, ia membuka bungkusan plastik hitam dari kantongnya.
Perlahan dia menghitung uang yang tersisa. "Bagaimana kalau dua puluh saja."

Pedagang itu tersenyum sambil membungkus sepatu yang diinginkan Elang.

"Nak, sekarang seragam dan sepatu sudah punya. Meski bekas, bapak berharap suatu saat nanti kamu jadi berharga bagi semua orang." Tejo mengusap kepala Elang.

•••

Elang berlari menuju Ibunya yang sedang menyiapkan makanan di dapur.
Ia menghampiri Ibu. "Bu, kenapa namaku Elang?"

"Bapakmu yang memberi nama itu, tanya saja sama bapakmu." Ibu masih sibuk menyalakan api dalam tungku.

Elang pergi ke ladang, menemui sang bapak.

"Pak ...!" teriak Elang dari kejauhan.

Tejo melihat ke arah suara, dia berhenti mencangkul. Berjalan menemui Elang di ujung jalan setapak.

"Ada apa to, Le?" tanya Bapak, "kok teriak-teriak gitu."

Elang menundukkan pandangannya "Nyuwunsewu, Pak."

"Ayo pulang." Tejo memberikan cangkulnya kepada Elang.

Sesampainya di rumah. Ibu, Bapak, dan Elang menikmati makan siang sederhananya.

"Pak ...," ucap lirih Elang.
"Ada apa, Le?"
Elang menunduk, menatap ke piring yang masih berisi makanan. "Kenapa namaku Elang? Teman-temanku mengejekku burung."
Wajah Tejo mendadak bingung. Matanya menatap tajam Elang, anaknya.

Tentu saja hal itu membuat Elang kecut, campur aduk, antara takut dan menyesal menanyakan namanya yang tak lazim seperti burung.

Tejo diam sesaat, tak lama kemudian bibirnya tersenyum dan berkata, "baik buruknya manusia itu bukan dari nama. Tapi dari ulah kelakuan manusia itu sendiri. Bapak memberimu nama Elang ada artinya."

"Artinya opo, Pak?" tanya Elang penasaran.

"Bapak harap, kamu bisa terbang tinggi menembus langit. Mencari mimpi di balik awan, dan memberikan kabar gembira dari atas sana. Tapi, jangan pernah lupakan tanah. Tancapkan akarmu di bawah tanah agar bisa bermanfaat untuk orang lain," jelasnya tersenyum.

Selanjutnya, Bapak menceritakan harapan-harapannya untuk Elang kelak nanti dia besar. Akhirnya, sang Ayah tercinta menutup uraiannya dengan berkata, "biarlah orang menganggap kita hina dalam berpakaian tapi terpuji dalam sifat yang wibawa. Kita tidak boleh dendam apalagi membalaskan perlakuannya. Tapi, kita wajib memuliakan setiap manusia."

Ajarkan toleransi kepada anak sejak dini.
Jangan sampai paham-paham yang memecah belah kebangsaan itu berakar dan membuat tunas baru.
Salam ... Toleransi!

ELANG: Di Atas Awan [OPEN P.O]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang