Dua tahun berlalu.
Elang memilih kuliah di kampus dekat daerahnya, yang masih bisa di jangkau dalam hitungan jam memakai kendaraannya.
Kini ia duduk di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di sebuah Perguruan Tinggi Negeri.
Semua pembayaran kuliah sudah ditanggung oleh kepala sekolah seperti janjinya.
Kini dia menetap di sebuah kost'an, berdekatan dengan kampusnya. Sesekali dia pulang saat libur kelas untuk menengok orang-orang yang disayanginya.
Tiga bulan dia kuliah, menjadi mahasiswa baru. Banyak orang-orang yang baru yang ia kenal. Jurnalis, wartawan, penulis, atau bahkan akitivis.
"Kau niatnya apa Lang, masuk ke jurusan FISIP?" tanya Dani, seorang penulis kritis, teman baru Elang di kampus.
"Niatku cuma satu, memperbaiki pola pikir masyarawakat awam di kampungku, tidak ada lagi pembodohan publik, atau hasutan intimidasi dari penguasa jabatan," jelas Elang.
"Bodoh sekali kau! Kau tidak tertarik menjadi politikus seperti yang di senayan sana?"
"Kamu juga, hanya kritik sana-sini lewat tulisan. Apa kamu tidak punya keinginan duduk di istana?" sindir Elang kembali.
Dani terdiam sesaat. Wajahnya murung mendengar perkataan Elang. "Susah bagi kami."
"Kami siapa? Aku?" tanya Elang penasaran.
Dani menggelengkan kepala. "Bukan, tapi minoritas."
"Maksudmu?"
"Kami Khatolik, sedangkan mayoritas disini Muslim. Terlalu banyak dogma-dogma yang mereka keluarkan untuk menyudutkan kami."
Elang terenyuh mendengar curhatan Dani. Dia berkata, "percayalah, ini Negeri purwarupa. Siapapun punya hak, bukan cuma kaum mayoritas saja."
Dani tersenyum mendapat dukungan dari Elang. Meski mereka berbeda agama, tapi mereka saling mendukung dalam kebenaran perihal kemanusiaan dan kekuasaan.
•••
Di luar aktivitas kampus yang padat, Elang sering belajar turun langsung kelapangan. Dia belajar dan membantu para warga di desa tempat ia nge-kost.
Tak terkecuali membantu pemerintah desa dalam program-programnya.Baru sekitar enam bulan, ia sudah akrab dan diterima di desa tersebut oleh para pejabat dan warganya.
Elang memuji para aparat desanya. Ia berkata, "seumur hidup baru aku melihat desa yang masih kompak dalam menjalankan pemerintahannya, tak peduli ia aparat atau rakyat, mereka campur saling membantu tugasnya."
"Inilah Desa kami, Nak. Tidak ada perbedaan seragam, tidak ada perbedaan agama, kami satu guyup, siapa saja boleh masuk ke balai desa untuk mencari tahu apa yang mereka belum ketahui," tutur Kepala Desa.
"Maaf sebelumnya Pak, jika saya lancang. Tapi disini rata-rata pendidikannya apa?"
Dia memberikan data tentang pendidikan para warganya. "Rata-rata disini SMP, dan untuk usia empat puluh ke atas rata-rata buta huruf."
Elang tersentuh hatinya, di tengah-tengah kemajuan zaman, diapit oleh kekompakkan warganya, ternyata dari sudut lain masih menyimpan derita.
"Saya ingin mengabdikan diri saya disini jika Bapak mengizinkan," tawar Elang.
"Boleh saja, tapi maaf kami staf desa tidak bisa menggaji kamu."
"Tidak apa-apa Pak, saya hanya sedih jika masih banyak yang belum bisa baca. Saya juga mengabdikan diri saya sebagai pendatang di sini yang harus bermanfaat bagi orang lain."
"Silakan, nanti kabarin Bapak jika sudah ada rencana," ucap Kepala Desa.
Elang menuju kost'an, menemui Dani bermaksud untuk mengajak dirinya berpartisipasi dalam membangun kegiatan di desa setempat.
Tak lama, Elang sudah berada di kamar Dani, ia melihat Dani masih sibuk menatap layar laptop.
"Dan, kamu mau ikut aku?" tanya Elang.
Dani melihat ke arah Elang yang berdiri di tengah pintu masuk. "Ikut kemana?"
Elang menceritakan semua yang telah ia bicarakan dengan Kepala Desa. Dani yang tertarik untuk bantu memajukan desa yang ia tinggali, menyetujui untuk memberikan materi kepada masyarakat di sekitarnya.
Keesokan harinya, Elang bersama Dani tiba di kantor balai desa. Mereka mengutarakan apa yang pernah Elang bicarakan kemarin.
Setelah cukup alot, akhirnya Elang dan Dani memutuskan melakukan pengajaran kepada warga yang tidak bisa baca pada malam hari, setelah mereka semua tidak ada kegiatan lagi.
•••
Setelah semuanya siap, Elang dan Dani diberi perintah dari kepala desa untuk menghadiri acara perkenalan kegiatan baru di desanya yang menyangkut namanya.
Satu persatu mereka dikenalkan kepada ketua RT setempat. Banyak yang menyambut dengan baik, tak sedikit juga yang mengeluh dan menolaknya, tapi Elang tetap tersenyum.
"Inilah mahasiswa kita, mahasiswa yang memberikan solusi bagi permasalahan kita. Bukan memberikan polusi yang menyesakkan dada." Pidato kepala desa di tengah kumpulan para ketua RT.
Serentak mereka memberikan tepuk tangannya.
Hari telah berganti, siang telah menjadi gelap, sedikit bintang di langit terhalang oleh kabut awan. Elang dan Dani menuju rumah ketua RT 01.
Sesampainya di rumah ketua RT 01. Ia mendapati warganya sudah antusias, dari anak-anak sampai orang tua untuk mengikuti belajar membaca.
Dani yang membuka pelajaran pertama, mengenalkan huruf-huruf abjad, dan Elang menerangkan satu persatu huruf dan namanya.
Begitu juga di tempat rumah RT 02 dan seterusnya setiap malam.
Tetapi, ketika sampai pada rumah ketua RT 23. Elang dan Dani hanya melihat delapan orang saja yang berkumpul.
"Ini kampung udah pinter kali," sindir Dani.
"Syuutt ... nggak usah ngomong apa-apa," bisik Elang.
"Kau lihat saja Lang, sedikit orang sekali yang kumpul."
"Heh! Mau sedikit, mau banyak, mau tidak ada orang sekalipun kita harus mengajarkan para warga. Sudah gak usah kesal." Elang meredakan emosi Dani.
•••
Beberapa bulan berlalu, kesadaran masyarakat akan pentingnya membaca semakin tinggi, semakin banyak pula yang mengikuti pelajaran yang Elang dan Dani adakan di setiap rumah ketua RT.
Kini, para warga mengetahui abjad dan bisa menulis namanya sendiri. Bisa membaca dan mulai meninggalkan kebiasaan malas belajar.
Berkat bakti mereka berdua, ia dan Dani diberi piagam dari desa karena ikut serta membangun sumber daya manusia yang telah lama tertinggal.
Warga luar desa mulai mengenal kedua tokoh ini. Tokoh perubahan, tokoh generasi millenial yang memberikan dampak positif bagi perubahan pola pikir.
Tak sedikit kepala desa lain meminta bergilir untuk mengajarkan pelajaran atau sekedar berbincang-bincang mengenai konsep dasar membangun SDA.
Sebaik-baiknya manusia, ialah yang bermanfaat bagi orang lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/167298491-288-k906129.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG: Di Atas Awan [OPEN P.O]
Aksiyon[Sebagian part dihapus] Ia menemukan jati dirinya saat melawan ketidak-adilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meradang di depan matanya. Saat itupula, ia menjadi orang yang berpikir kritis dari luka kebodohan. Ia tetap berdiri kokoh pada misiny...