Elang yang masih menikmati masa cuti kuliahnya, mengantar Elisa ke kampusnya. Sesekali ia berkenalan dengan mahasiswa di tempat Elisa, sekedar untuk berteman atau bertukar pikiran.
Elisabeth, masuk di kampus swasta di kabupatennya. Mengambil jurusan Ekonomi, berbeda dengan Elang.
Namun, keduanya sangat klop jika berkolaborasi dan membuahkan ide-ide baru demi kemajuan ranah politik di kampungnya.
Terbukti, dari keduanya telah lahir saran-saran yang sangat efektif membangun kegiatan warganya selain bertani.
Elisa mengusulkan kepada Kepala Desa untuk membuat perusahaan desa, di mana para pekerja dan pengurusnya adalah orang-orang dari desa itu sendiri agar memajukan perekonomian rakyat.
"Lang, ada undangan dari desa nih," ucap Elisa menunjukkan surat undangan.
Elang menerima, membukanya. "Lowongan calon direksi BUMDes, minimal ijazah SLTA/SMU sederajat."
"Kamu minat?" tanya Elisa.
"Aku belum yakin, ini efektif buat para warga. Ijazah mereka rata-rata hanya SMP," ujar Elang.
"Aku juga tahu, tapi ini yang buat dari aparat desa itu sendiri. Aku cuma menyarankan membuat usaha milik desa."
"Jika ini khusus untuk lulusan SMA sederajat, bukan tidak mungkin terjadi nepotisme kekuasaan. Politik sedulur keluarga," jelasnya.
"Aku salah?" tanya Elisa.
"Nggak Kak, yang salah pembuat aturannya." Elang pergi meninggalkan Elisa yang duduk sendirian di kursi depan rumahnya.
"Lang, mau kemana?" teriak Elisa. Ia segera bangkit dan menyusul langkah Elang.
Elang melangkahkan kakinya dengan cepat, tidak sampai setengah jam, ia membuka selembaran surat lowongan pekerjaan yang Elisa berikan dan melihat gedung Balai Desa yang belum usai di rehabilitasi.
Elang segera masuk ke halamam kantor Balai Desa bersama Elisa. Mereka di sambut oleh petugas Kamtib yang menanyakan maksud dan tujuannya.
Elang tak menghiraukannya, ia seolah tak melihat ada manusia di sana.
Ketika di dalam gedung, ia di sambut oleh perempuam setengah baya, sekitar umur 28 tahunan. Elang tak memberi sepatah kata pun kepada wanita itu.
Elisa yang mengikutinya sedari tadi, paham betul bahwa sifat marahnya Elang yaitu saat dia tak berkata apa-apa, dan langsung bertindak semaunya.
Ia segera masuk ke ruangan Kepala Desa tanpa mengetuk pintu, ia membuka genggaman pintu. Dari balik pintu, terlihat Kepala Desa sedang duduk bersantai di depan laptop, dan sebatang rokok yang sudah tersulut sebelumnya.
Elang melemparkan kertas yang ia genggam. "Apa-apaan ini?"
Melihat kelakuan Elang barusan, Kepala Desa segera bangkit dari tempat duduknya. "Kamu bocah kemarin sore tidak punya sopan santunnya."
"Iya, bersikap bajingan kepada seorang penguasa biadab tidak salah, bukan?"
Elisa melihat kedua rival ini sedang dilanda emosi yang besar, ia coba menenangkan Elang dengan menarik tangannya.
Elang tak merasakan apapun kecuali ia sedang berhadapan dengan bajingan tanggung.
"Cukup! Dasar anak tidak punya pendidikan," teriak Kepala Desa.
Suara yang keras itu membuat para pegawai desa lainnya penasaran, dan berkumpul melihat mereka bertiga di ruang Kepala Desa.
"Apa Bapak tidak punya pikiran, lulusan kita ini masih SMP untuk sekitaran usia dua puluh satu tahun. Lalu, kenapa di sini ditulis hanya SMA?" tanya Elang dengan sinis, "ini bukan akal-akalan belaka?" sambungnya.
"Akal-akalan apa? Bukankah ini ide dari teman kamu?" Kepala Desa menunjuk ke arah Elisa.
"Coba jelaskan apa yang terjadi, Kak!" seru Elang.
Elisa menarik nafas sejenak. "Baiklah. Saya memang mengajukan untuk membuat usaha milik desa, di mana pengelolaannya oleh anak-anak pengangguran batas minimum SMP dengan artian untuk membuat wadah dari pengangguran."
"Jelas? Untuk mewadahi anak-anak pengangguran, yang berijazah SMP. Kalau ijazah SMA, PT terkenal sekalipun mampu merekrut mereka."
"Ini menjadi prosedur pemerintahan, mewajibkan anak dengan pendidikan minumum SMA untuk bekerja."
"Prosedur yang mana?" tanya Elang.
"Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan dulu pas pengangkatan masih ijazah SMP. Saya yakin, Bapak tidak amnesia," debat Elang.
"Baiklah, saya akan merubah aturannya. Lulusan SMP akan menjadi minumum yang akan diterima."
"Saya cuma berpesan, jangan menyalah gunakan kekuasaan untuk memupuk harta pribadi!"
Elang keluar dari ruangan Kepala Desa, ia melihat berkumpulnya para anggota pegawai desa. "Permisi."
•••
Keesokan harinya, ia mendapati selembaran surat baru dari desa. Ia melihat tulisan minimal ijazah SMP.
Teman-teman Elang yang mencukupi persyaratan itu segera melamar kesempatan itu. Mereka berharap adanya perubahan dalam perekonomiannya dengan bekerja di sana.
Setelah pendaftaran dilakukan, mereka peserta tes pekerjaan itu disuruh untuk mengikuti langkah demi langkah untuk mencapai akhir ketentuan.
Elang menyaksikan tahap demi tahap dari kejauhan, ia selalu memonitor kepada salah satu petugas penyeleksi jika ada penyelengan kekuasaan.
Satu minggu berlalu, kini pendaftaran telah ditutup. Dari hasil pengumuman, ternyata tidak dibilang langsung secara lisan siapa yang terpilih, melainkan ditulis melalui e-mail kepada setiap peserta calon pegawai.
Tentu saja kabar ini tembus ke telinga Elang, ia mencari tahu kabar siapa saja yang terpilih untuk bekerja di BUMDes itu.
Elang menanyakan satu persatu kepada setiap calon pegawai. Dari keseluruhan, hanya enam orang yang terpilih. Itupun orang-orang satu keluarga dengan para pegawai, lulusan SMA.
"Biadab! Lagi-lagi politik Nepotisme dipakai,"batinnya dalam hati.
"Bagaimana, Lang? Apa yang kita dapat?" tanya Elisa melihat wajah Elang yang merah menahan emosi.
"Ini cara lama, kisah kusut Negeri kusam," katanya sinis.
"Maksudmu?" Elisa penasaran.
"Kenapa mereka tidak mengumumkan langsung? Karena kedok mereka akan ketahuan. Makanya mereka bilang, pengumuman hasil tes akan lewat e-mail agar bersifat rahasia. Jadi mereka bebas memilih siapa yang lolos, bisa jadi mereka yang lolos ada orang dalamnya, atau ada uang lebihnya," jelas Elang.
"Ini semua salahku ...," keluh Elisa.
"Nggak, Kak. Ini bukan salah Kakak."
"Tapi aku yang usul untuk membuat usaha desa."
"Meskipun tidak ada usaha desa, kecurangan ini juga pasti akan dilakukan apapun caranya. Inilah hitamnya politik, mereka lebih keji daripada binatang." Nada Elang semakin kesal.
"Apa yang harus kita lakukan?"
Elang menggelengkan kepala. "Entahlah, tidak ada undang-undang yang menyalahkan nepotisme."
"Maafkan aku, kalau saja aku tidak usul seperti itu mung-"
"Sudahlah, gak ada gunanya menyesal. Lagipula, besok aku mau pergi ke kota lagi, disana aku dibutuhkan daripada di desa sendiri merasa dibuang." Elang memotong pembicaraan Elisa.
"Terus, desa kita gimana?"
"Berdoa saja, semoga KPK datang lebih cepat untuk mengawasi jalannya keuangan desa kita."
_______________________________________
Nepotisme adalah bibit dari adanya korupsi dan memperkaya keluarga sendiri.
Semoga, dalam hal pemerintahan para reader, tidak ada Nepotisme.
_______________________________________

KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG: Di Atas Awan [OPEN P.O]
Aksi[Sebagian part dihapus] Ia menemukan jati dirinya saat melawan ketidak-adilan, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meradang di depan matanya. Saat itupula, ia menjadi orang yang berpikir kritis dari luka kebodohan. Ia tetap berdiri kokoh pada misiny...