Penghargaan

63 23 20
                                    

Elang sudah duduk di bangku kelas dua SMA Negeri. Setelah beberapa kasus yang menuntut dirinya untuk beraksi, kini ia lebih fokus kepada pelajaran formalnya di sekolah.

Selain karena larangan orang tua untuk tidak dulu terjun ke dunia luar, ia juga belum punya kemampuan yang jauh tentang sistem suatu politik.

Hari ini, ia masuk sekolah seperti para siswa lainnya. Aji yang berbeda jurusan, membuatnya tak lagi selalu bersama. Termasuk Elisa yang sudah duduk di kelas tiga.

Bel sudah terdengar, tanda jam pelajaran pertama sudah dimulai. Elang sudah bersiap duduk rapi menunggu guru mata pelajaran masuk, ia sesekali membaca buku yang hendak dipelajarinya hari ini.

Di sisi lain, di sebuah koridor sekolah, guru berjalan menuju arah kelas Elang.
Para siswa yang melihat dari ujung jendela mendadak duduk dengan rapih.

"Selamat pagi anak-anak," ucap Guru yang baru saja masuk kelas.

Murid satu kelas serentah menjawab, "pagi, Pak."

Setelah membereskan buku absensi harian miliknya, ia menuju tempat duduk Elang berada.

"Kamu Elang?" tanya Pak Ukim.

"Iya, Pak." Elang menatap matanya.

"Kamu dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Ada hal yang menyangkut nama kamu," jelas Pak Ukim dengan suara nyaring.

Seketika, seluruh mata teman-temannya tertuju pada satu titik, Elang. Pikirannya sama, menduga-duga apa yang akan dibicarakan oleh mereka.

Tak terkecuali dengan Elang, hatinya was-was mendengar perintah untuk menemui Kepala Sekolah, dia tak tahu apa sebelumnya yang telah ia perbuat.

Elang berdiri dari kursi kayunya. "Baik."

Tak lama, ia telah sampai di depan ruangan Kepala Sekolah. Elang mengetuk pintunya.

Elang terkaget setengah mati setelah membuka pintunya, ia melihat mantan Kepala Sekolah dulu di SMP-nya duduk bersanding dengan kepala sekolah SMA-nya sekarang.

Elang membuka percakapan. "Bapak panggil saya?"

"Iya, ada yang ingin bertemu dengan kamu. Duduk sini!" ajaknya.

Elang menyalami kedua Kepala Sekolah tersebut dan duduk di depan mereka.

"Apa kabar, Nak?" tanya Kepala Sekolah SMP sambil melemparkan senyum.

"Alhamdulillah, baik Pak. Bagaimana sekolah kita?"

"Alhamdulillah semakin maju. Berkat ide kamu juga, sekarang sekolah kita mempunyai gelar sekolah olahraga, menemukan bakat-bakat. Tak sedikit siswa sekarang yang dikirim ke tingkat Provinsi mewakili Kabupaten kita."

Kepala Sekolah SMA mendengar ceritanya.
"Jadi, ide-ide itu juga dari anak ini?" tanya kepala sekolah SMA menunjuk ke arah Elang.

Kepala sekolah SMP mengangguk, meng-iya-kan pertanyaan itu.

"Ada satu hal yang bikin saya jengkel." Raut muka Kepala Sekolah SMP berubah menyeramkan.

"Maaf sebelumnya Pak, saya banyak membuat salah tanpa banyak kenangan indah untuk adik-adik saya di sekolah."

"Kenapa kamu tidak bilang pada saya kalau ada murid yang mengkonsumsi obat?" tanya Kepala Sekolah dengan tegas.

Elang menunduk, matanya melihat ujung sepatu. Tak ada kata apapun, diam sebentar. Lalu kemudian ia mengangkat kepalanya ke arah dua Kepala Sekolah. Matanya tajam.

"Jika saya lapor pada Bapak, pastilah akan terjadi drop out bagi mereka. Itu tidak adil. Mereka korban, korban dari situasi dan ketidak-tahuan. Jika mereka dikeluarkan, sangatlah tidak terpuji pertimbangan ini. Seharusnya mereka yang menjadi korban harus didampingi, dan yang tersangka harus dibui."

Dua Kepala Sekolah itu mendadak senyum mendengar alasan Elang. Betapa bijaknya alasan yang ia keluarkan.

Elang yang tak mengerti apa maksud dari semua ini menanyakan hal tersebut, "ada yang salah, Pak? Jika ada, hukum aja Elang sekarang."

"Tidak ada yang salah." Kepala Sekolah SMA menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Jutru karena kamu, jabatan saya di promosikan. Terimakasih, Elang," ucap Kepala Sekolah SMP.

"Sama-sama Pak, saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan."

"Sebagai tanda terimakasih saya, biaya untuk kuliah akan saya tanggung memakai uang pribadi. Kamu berminat?" tanya Kepala Sekolah SMP, "karena saya tadi ngobrol, katanya kamu mendapat beasiswa juga di sekolah ini."

"Serius, Pak?" tanya Elang meyakinkan kembali.

"Iya! Saya akan membiayai kuliah kamu sampai strata satu," ucapnya meyakinkan Elang.

Elang seperti mendapatkan angin segar untuk karir pendidikannya, wajahnya riang tersenyum tak ada beban. Tapi tak lama, wajah yang tadinya ceria kini berubah murung.

Dua Kepala Sekolah memperhatikan mimik muka Elang.

"Kamu sakit?" tanya Kepala Sekolah SMA.

Elang menggelengkan kepala, pandangannya mengarah kepada Kepala Sekolah SMP. "Bagaimana Elang mengganti uang begitu banyak? Atau nanti Elang bayar setelah kuliah saja?"

Kepala Sekolah SMP melempar tawa kecil. "Tidak usah diganti. Lagi pula saya tidak punya anak, tidak ada tanggungan selain istri. Kalau mau, kamu juga saya anggap sebagai anak."

"Nanti saya pikirkan lagi Pak, saya izin masuk pelajaran dulu." Elang meninggalkan dua Kepala Sekolah yang masih duduk santai di ruangannya.

Sore harinya, Elang sudah berada di rumah. Menunggu kepulangan sang Ayah tercinta dari sawah untuk membicarakan hal yang tadi di
ajukan oleh Kepala Sekolah.

Tak berselang lama, Tejo sudah selesai dari ladangnya dan bergegas mandi untuk membersihkan badan.

Kini mereka bertiga sudah kumpul untuk saling berbagi cerita hari ini yang mereka lalui.

"Pak, Bu, aku minta saran, aku kebingungan," keluh Elang.

"Kenapa to, Le?" tanya Ibu khas logat jawanya yang medok.

"Tadi di sekolah, aku ditawari sama Kepala Sekolah SMP-ku katanya kalau kuliah dibayari sama beliau," jelas Elang, "pripun, Bu, Pak?" lanjutnya.

"Sing dadi pertanyaan iku, cara bayar hutangnya piye?" sela Tejo yang masih memegang gelas kopi.

"Aku tadi sudah tanya, Pak. Katanya aku diangkat jadi anaknya, soalnya beliau tidak punya anak." Elang menatap Bapaknya.

"Ya sudah itu memang rezekimu, Le. Ibu cuma bisa mendo'akan yang terbaik buatmu," sela Ibu di tengah sibuknya menyiapkan makanan.

Keesokan harinya, Tejo mendatangi kediaman rumah Kepala Sekolah SMP Elang. Meski jarak dari rumah sekitar satu jam, tak membuatnya patah semangat demi mencapai keinginan sang anak.

Tejo telah sampai, dan ditemuinya Kepala Sekolah beserta istrinya.
Maksud dari Tejo menemui Kepala Sekolah adalah untuk memastikan apa yang ia telah ucapkan kepada Elang, anak tunggalnya.

Setelah ngobrol yang cukup singkat, akhirnya Tejo menerima niat baik dari keluarga Kepala Sekolah.

Betapa beruntungnya Elang, diakui keluarga oleh banyak orang karena kecerdasan dan pemikirannya yang kritis.

Setelah sampai di rumah, Tejo menceritakan ihwal Elang dibiayai untuk kulianya kepada sang Istri.

Rumsih tak banyak bicara, hanya bersyukur dengan kehidupannya dikaruniai seorang anak yang begitu pandai.

Lalu, kejadian ini diceritakan kembali kepada Elang selepas pulang sekolah.
Elang banyak terimakasih kepada kedua orang tuanya yang mengizinkan untuk kuliah nanti dan menjadikan dirinya anak angkat.

Di akhir obrolan mereka bertiga, sang Ayah hanya berpesan, "sing penting kamu sekarang sekolah dulu yang rajin, yang benar. Jangan terlalu memikirkan untuk kuliah."

Elang pun tersenyum bahagia mendapat nasihat dari kedua orang tuanya.
Ia berjanji, tidak akan pernah mengecewakan orang-orang yang menyayanginya.



Orang bijak berkata; Apapun yang kita tanam pada masa lalu, kita sendiri jugalah yang akan memetiknya.

ELANG: Di Atas Awan [OPEN P.O]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang