BAB 1 - Aku

437 16 0
                                    


Hari itu, adalah hari pertama aku menjalani dunia perkuliahan di kampus itu. Kampus itu bukanlah kampus yang besar dan terkenal seperti kampus-kampus lainnya di Jakarta. Kampus itu memiliki empat fakultas, dan aku terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra.

Aku sendiri bukanlah mahasiswa yang menonjol baik itu dari segi penampilan maupun prestasi. Aku adalah seorang mahasiswa biasa, yang berasal dari keluarga biasa, yang berada dalam lingkungan biasa, dan juga menjalani kehidupan yang biasa.

Tidak ada yang kutakutkan saat memulai kehidupanku sebagai mahasiswa di kampus itu. Sejak lama, bahkan sejak aku berada di Sekolah Dasar, kehidupanku sering diwarnai dengan perkelahian, baik dengan teman sebaya, senior ataupun juniorku sendiri. Perkelahian maupun hal-hal yang berurusan dengan preman adalah keseharianku yang terus berlanjut hingga aku duduk di Sekolah Menengah Atas.

Begitulah kehidupanku sebelum aku menjadi mahasiswa di kampus itu. Karena suatu alasan, aku memutuskan untuk tidak menjalani kehidupan seperti itu lagi, dan aku hanya ingin menjalani kehidupan mahasiswa-ku dengan tenang seperti yang lainnya.

Aku tidak terlalu ingin bergaul dengan mahasiswa lainnya, saat itu, aku tidak ingin bersosialisasi dengan mereka, walaupun hanya sebatas berbicara, aku memutuskan untuk menjauhkan diriku dari mereka dan menjalani kehidupanku sendiri.

Awalnya aku terpaksa untuk kuliah disana, di kampus yang tidak aku ketahui sebelumnya, dan juga di jurusan yang tidak aku perkirakan sebelumnya. Aku kuliah di jurusan Sastra Jepang, dan aku tidak pernah mempelajari Bahasa Jepang sebelumnya. Keputusanku untuk tidak bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya, bahkan dengan teman sekelasku, membuatku kesulitan untuk mengikuti pelajaran yang diberikan. Mungkin bisa dibilang, aku adalah mahasiswa yang paling bodoh dikelasku. Namun itu semua tidak menyurutkan niatku untuk tidak bersosialisasi dengan mereka. Saat itu aku hanya ingin menikmati kehidupanku sendiri, tanpa perduli dengan apa yang terjadi di sekitarku.

Beberapa minggu awal perkuliahan kujalani dengan kesulitan dan kesendirian. Aku hanya datang, duduk, mendengarkan, dan pergi. Setiap harinya aku pulang tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada teman-teman sekelasku. Awalnya, aku berpikir, apakah aku bisa terus kuliah di tempat itu? Keputusanku untuk tidak bersosialisasi, serta dengan perkuliahan yang sama sekali tidak kumengerti, terkadang membuatku berpikir untuk bolos dari perkuliahan dan pergi ke tempat lain. Tapi tanpa kusadari, aku perlahan menikmati keadaan itu. Aku memang tidak serta-merta menguasai pelajaran yang diberikan, tetapi kehidupan sebagai "bukan siapa-siapa" di kampus itu terasa nyaman untuk kujalani.

❀❀❀❀❀

Pertengahan Oktober. Sudah satu bulan lebih aku berstatus sebagai mahasiswa di kampus itu, masih tidak ada yang berubah. Aku mungkin sudah bisa mengingat beberapa nama dari teman-teman sekelasku, namun tidak lebih dari itu. Selain aku, hanya ada lima anak laki-laki dan sekitar dua puluh lainnya perempuan. Kurang-lebih sama sepertiku, kelima laki-laki itu juga sangat jarang berbicara satu sama lain. "Apakah memang seperti ini kehidupan laki-laki di jurusan Sastra?" pikirku.

Jika diperhatikan, anak-anak perempuan di kelasku juga masih belum bisa berbaur, masih banyak dari mereka yang terlihat seperti mengelompokkan diri. Yah, tidak bersosialisasi bukan berarti aku tidak memperhatikan mereka. Anak laki-laki di kelasku bisa dibilang memiliki karakteristik yang sangat berbeda satu sama lainnya, mungkin itu juga yang membuat mereka tidak bisa berbaur satu sama lain.

Anak yang biasa duduk di sebelahku, aku ingat dia dipanggil dengan nama Widi. Kesan pertamaku? Aku benci dia. Dia selalu diam saat di kelas, bahkan melebihiku, dan dia selalu melipat tangan di dadanya saat duduk di kelas. Jika saat itu adalah kehidupan di saat aku masih di SMA, Widi adalah orang yang akan aku ajak berkelahi.

Tiga anak yang biasa duduk di belakangku, Devon, Ricky dan Indra. Devon tidak terlihat terlalu menonjol, namun sepertinya dia adalah orang yang ramah. Sering kulihat dia berbicara dengan beberapa anak perempuan di kelas kami, dan dia juga sepertinya murah senyum, "Tipe anak yang mudah bergaul," pikirku. Sedangkan Ricky, sangat berkebalikan dengan Devon. Ricky selalu terlihat serius di dalam kelas. Kadang aku mengintip ke belakang dan melihat dia sedang memperhatikan dengan seksama pelajaran yang sedang di jelaskan oleh dosen kami. Indra? Awalnya aku berpikir kalau dia setipe dengan Ricky, karena dia selalu terlihat sedang menulis sesuatu pada saat pelajaran sampai akhirnya aku tahu kalau selama di kelas kerjaan yang dia lakukan hanyalah menggambar.

Satu anak laki-laki lainnya, Fero. Aku masih belum bisa mengira-ngira seperti apa karakteristik anak itu. Dia biasanya duduk menjauh dari kami berlima, namun dari yang kulihat, aku rasa dia memiliki minat terhadap Bahasa Jepang, lebih dari kami berlima.

Begitulah kehidupanku diantara lima anak laki-laki lainnya yang bisa dibilang, sangat berbeda satu sama lain. Namun setelah dua bulan, tidak ada masalah berarti yang aku alami. Aku sudah bisa menghafal tulisan Hiragana meskipun terkadang masih kesulitan untuk tulisan Katakana, tapi itu tidak menjadi halangan, karena aku tetap belajar setiap malamnya. "Aku rasa aku bisa terus berkuliah seperti ini sampai lulus nanti," pikirku sebelum gangguan yang sangat ingin aku hindari, datang mengacaukan kehidupan perkuliahanku.

Memang terlalu naif kalau aku berpikir kehidupan perkuliahanku akan lancar-lancar saja sesuai keinginanku. Aku benar-benar melupakan hal yang penting, hal yang sangat ingin aku hindari namun tidak bisa aku hindari. Saat itu aku sedang berada di kelas Happyou atau yang dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai kelas Presentasi.

Benar, presentasi. Dosen kelas tersebut mengacaukan rencanaku dengan menugaskan kami membuat presentasi secara "berkelompok". Dan benar saja, akhirnya kenginanku untuk tidak bersosialisasi dengan mahasiswa lainnya, terhalang dengan tugas yang mau tidak mau harus kami lakukan, karena kami hanyalah mahasiswa yang masih membutuhkan nilai.

Cerita Horor Remaja - Kisah Di Pendopo EkonomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang