"Si Widi kenapa, ya?" tanya Ricky kepada aku dan Devon sembari membuka-buka file di laptopnya.
"Ah paling dia males aja tuh, terus alesan deh ada urusan," ujar Devon sementara aku hanya duduk bersender di tembok tanpa mengucapkan apa-apa.
"Wah bisa jadi tuh, haha! Sialan juga dia!" seru Ricky. "Nah ini dia bahan-bahan yang udah gw kumpulin, udah gw gabung juga sama bahan-bahan dari Devon, coba lo liat dulu deh, Bro!" lanjut Ricky sambil mempersilahkan aku berpindah tempat duduk ke depan laptopnya.
Seperti rencana awal, akhirnya kami tetap berkumpul di Pendopo Ekonomi untuk mendiskusikan bahan presentasi kami. Saat itu waktu sudah menunjukkan sekitar pukul enam sore, langit sudah mulai gelap tapi kami beruntung karena di tempat itu memiliki penerangan yang baik.
Aku sama sekali tidak menyangka, tempat itu sepi dan terasa sangat sejuk, berbeda sekali dengan Pendopo Sastra. Beberapa kali angin berhembus dengan kuat, mungkin karena di sebelah gedung Fakultas Ekonomi terdapat taman dengan beberapa pohon yang cukup besar sehingga tempat itu tidak seperti Pendopo Sastra yang selalu terasa panas, atau mungkin juga karena tidak ada orang yang berlalu-lalang di tempat itu seperti halnya di Pendopo Sastra.
"Nyaman juga ternyata nongkrong disini," pikirku.
"Gimana, Bro?" tanya Ricky tiba-tiba membuyarkan lamunanku, "Bengong aja, lo!" serunya sambil tertawa bersama Devon.
Aku sama sekali belum membaca file tersebut karena daritadi aku hanya melamun. "Eh ngomong-ngomong, lo berdua udah kenal lama, ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Wah rugi gw kalo kenal lama sama si Kodok ini!" ujar Devon sambil memasang wajah ketus.
"Enak aja, lo! Ada juga gw yang rugi!" balas Ricky sambil tertawa. "Engga, Bro! Gw baru kenal Devon di kampus ini, kok!"
"Kok kalian kayaknya udah akrab banget, ya?" tanyaku lagi.
"Emang, ya? Dia aja yang sok deket tuh!" sahut Devon.
"Yee, Kodok!" ujar Ricky sambil melempar gulungan kertas yang dia temukan di tasnya kearah wajah Devon. Ricky kemudian mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celananya.
"Lo ngerokok?" tanyaku kaget.
"Iya, Bro!" jawabnya cepat sambil membakar rokoknya. Dia kemudian menghisap rokok tersebut dan menghembuskan asapnya perlahan. "Maaf ye, gw ngerokok disini," lanjutnya.
"Cepet mati lo, Kodok! Ngerokok terus!" seru Devon ketus.
"Ya gimana dong, Pak? Udah kebiasaan," jawab Ricky sambil cengegesan. "Jadi gw ketemu si Devon waktu pendaftaran di sini, Bro!" lanjut Ricky menjelaskan. "Eh ternyata malah sekelas, sial bener!"
"Wah kurang ajar nih kodok!" maki Devon sambil melempar kembali gulungan kertas yang tadi dilemparkan oleh Ricky.
"Dari awal waktu pendaftaran, karena gw gak kenal siapa-siapa, jadi gw minta tukeran nomor telepon sama Devon, yauda sejak itu sering sms-an buat nanya jadwal, dan lain-lain!" jelasnya sambil memainkan kepulan asap yang dia semburkan dari mulutnya.
"Oh, gitu? Pantes aja!" jawabku. Penjelasan dari Ricky menjawab beberapa pertanyaan yang akhir-akhir itu sedikit menggangguku. Puas mendapatkan jawaban akan hal itu, aku melanjutkan membaca file di laptop Ricky, dan setelah itu kami mulai mendiskusikan mengenai presentasi kami.
Tidak banyak yang bisa kami diskusikan saat itu, sesuai dugaanku, Ricky memang orang yang cukup telaten dalam mengerjakan tugasnya. Sementara Devon, orang yang awalnya aku ragukan, ternyata juga mampu mengerjakan tugasnya dengan baik, walaupun masih ada beberapa kekurangan. Setidaknya aku cukup puas dengan hasil kerja mereka.
Terlepas dari semua itu, Ricky yang awalnya aku pikir adalah seorang kutu buku, ternyata jauh berbeda dari bayanganku. Walaupun Devon memang orang yang suka bercanda, tapi ternyata Ricky adalah orang yang sangat jahil dan tentu saja korbannya adalah Devon.
Devon sendiri ternyata walaupun suka bercanda, tapi dia juga sama sepertiku. Beberapa kali suasana menjadi hening karena aku dan Devon hanya duduk termenung, dan Ricky-lah yang mencairkan suasana kembali dengan mengajak kami bercanda ataupun mengobrol mengenai hal lain.
"Yauda kalo gitu deh, balik yuk! Udah malem juga!" ajak Ricky.
"Yuk lah, gw udah laper!" sahut Devon setuju sambil mengusap-usap perutnya.
"Yauda, thanks ya! Jangan lupa dua hari lagi harus udah jadi!" ujarku.
"Siap, Bro!" jawab mereka berdua, dan kemudian kami-pun meninggalkan tempat itu.
Aku pulang dengan mengendarai motorku di kecepatan 70 kilometer per jam. Saat itu sudah menunjukkan sekitar pukul sembilan, dengan kecepatan seperti itu, aku membutuhkan kira-kira dua puluh menit untuk sampai rumah.
Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan mengenai mereka berdua, Ricky dan Devon. Entah kenapa, sepertinya tidak buruk juga sekelompok dengan mereka. Selain karena mereka bisa mengerjakan tugasnya dengan baik, aku juga tidak merasa risih baik saat duduk bersama mereka, ataupun dengan obrolan mereka.
"Ah! Tapi masih ada Widi, ya?" gumamku teringat. "Kira-kira dia bisa presentasi dengan baik, gak ya?"
Kami bertiga mungkin bisa presentasi dengan baik karena dari apa yang sudah kami diskusikan sebelumnya, Ricky dan Devon terlihat kalau mereka menguasai materi presentasi dengan baik. Aku sendiri walaupun hanya membaca sekilas materi tersebut, karena memang sudah disajikan dengan baik beserta beberapa penjelasan dari Ricky dan Devon selama kami di Pendopo Ekonomi tadi, aku jadi lebih mudah memahami materi tersebut. "Tapi gimana si Widi, ya?" akupun terus memikirkan hal itu sepanjang perjalanan dan berharap kalau Widi juga orang yang bisa diandalkan seperti Ricky dan Devon. Walaupun begitu, tetap saja kekhawatiran itu ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Horor Remaja - Kisah Di Pendopo Ekonomi
HorrorEmpat orang remaja yang baru saja merasakan dunia perkuliahan mengalami beberapa kejadian aneh yang akhirnya menggiring mereka kehadapan tragedi yang pernah terjadi di Kampus mereka. Akankah mereka mengungkapkan fakta akan tragedi tersebut, ataukah...