BAB 9 - Jangan!

215 13 0
                                    


"Halo, guys!!!" seru seseorang dari arah pintu.

"Yeee! Kodok! Ngagetin aja!" ujar Devon dengan nada kesal. Seseorang yang menampakan dirinya di pintu tersebut-pun terkekeh tanpa perasaan bersalah sama sekali.

"Maaf ya lama! Hehe!" seru orang tersebut kemudian.

Dia adalah Dila, anak dari divisi Acara. Dila memiliki tinggi seperti Rani hanya saja sedikit lebih gemuk dan pipi yang lebih bulat.

"Darimana aja, Dil?" tanya Martin. "Sini masuk cepetan, duduk di sebelah Ricky sana," ujarnya.

"Siap, Bang Martin!" jawab Dila sambil berjalan ke arah kursi di dekat Ricky.

"Ciyeeee!" reflek kami yang ada di ruangan langsung meledek mereka berdua. Dila-pun hanya terdiam dan kemudian ikut tertawa.

Dari awal kami mengenal sosok Dila, dia memang terlihat seperti anak yang periang. Pada setiap rapat, kami mungkin hanya pernah melihat sosok Dila yang sedang tertawa, hampir tidak pernah kami melihat dia yang sedang memasang wajah serius.

"Yauda karena Dila udah dateng, sekalian aja tolong dijelasin di depan, kebutuhan acara apa aja yang harus kita sediain ya, biar semuanya paham," ujar Martin.

Dila pun berdiri di depan kelas sambil menuliskan daftar kebutuhan acara dan kemudian memberikan penjelasan mengenai fungsinya kepada kami. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, kamipun memutuskan untuk menutup rapat dan pulang.

❀❀❀❀❀

Di sepanjang jalan pulang aku memikirkan apa saja yang sudah terjadi selama satu bulan terakhir. Sejak mengenal Devon, Ricky dan Widi, dan setelah satu bulan mengikuti kepanitiaan, aku jadi mengenal banyak orang. Aku yang tadinya tidak ingin bersosialisasi dengan orang lain di kampus itu malahan jadi sering mengobrol dengan anak-anak dari kelas lain, terlebih lagi Rani. Bisa kubilang, Rani adalah anak perempuan pertama yang bisa akrab denganku sejak terakhir aku masih SMA.

Selain Rani, Dila juga termasuk salah satu anak perempuan yang sering mengobrol dengan kami. Berbeda dengan Rani yang lebih akrab denganku, Dila sepertinya lebih akrab dengan Devon karena memang Devon adalah orang yang mudah bergaul, mereka berdua, Devon dan Dila sangat suka menjahili kami.

Selain masalah soal Rani dan Dila, ada satu hal lagi yang membuatku kepikiran selama perjalanan pulang. Kenapa sekarang aku jadi selalu memikirkan Nana?

Tujuanku mengikuti kepanitiaan itu adalah agar aku bisa melupakan dia, tapi ternyata sejak aku menjadi panitia Pekan Sastra, aku malah jadi lebih sering berpapasan dengan Nana. Saat perjalanan pulang itupun aku terus memikirkan dia. "Kenapa Nana cakep banget, sih?" tanyaku dalam hati.

Didalam lamunan itu, aku mengecek kantong celanaku seperti yang biasa aku lakukan saat naik motor untuk memastikan apakah telepon genggam dan dompetku tidak terjatuh di jalan. "Ha??!!" ujarku kaget sambil kembali memeriksa kantong kanan celanaku.

"Astaga!!! HP gw masih di charge!!!" seruku ketika berhasil mengingat kenapa telepon genggamku tidak berada di dalam kantong celanaku.

Akupun memutar balik dan mengarahkan laju motorku kearah kampus. Waktu sudah menunjukkan jam sembilan lebih saat aku tiba di kampus. Hanya ada satu satpam yang saat itu berjaga di pos karena yang lain sedang patroli mengelilingi kampus.

❀❀❀❀❀

"Wah maaf nih, Mas! Tapi saya gak bisa ninggalin Pos," ujar satpam itu sambil memberikan kunci pagar Fakultas dan sebuah senter.

"Iya, gak apa-apa Pak. Saya aja yang naik." Ujarku sambil menerima kunci tersebut.

Peraturan kampus saat itu memang memerintahkan penjaga agar mengunci dan mematikan listrik di Fakultas pada pukul sembilan malam. Akupun berjalan sendiri ke arah Fakultas Sastra.

Aku melihat ke dalam gedung Fakultas Sastra yang sudah tidak disinari oleh lampu. Rasa takut sedikit menyelimutiku saat itu. "Ah, deket ko! Cuma lantai tiga!" ujarku memberanikan diri sambil membuka pagar Fakultas.

Aku langsung menyalakan saklar lampu di dekat pagar yang menerangi lorong menuju tangga ke lantai dua. Aku mengarahkan lampu senterku lurus ke arah tangga walaupun lampu di lorong itu sudah menyala, dan secara samar aku melihat sorotan lampu senterku ke arah Pendopo Ekonomi di kejauhan.

Aku berdiri terdiam sebentar saat aku tiba di tangga sambil menatap ke arah Pendopo Ekonomi. Entah apa yang ada di pikiranku, tapi aku terus menatap ke arah sana selama beberapa detik sampai akhirnya aku menaiki tangga ke lantai dua.

Kegelapan dari lantai dua menyelimuti ketika aku berada di pertengahan jalan saat aku menaiki tangga. "Buruan cari saklar lampunya, terus naik ke lantai tiga!" pikirku sambil menyakinkan diriku kalau tidak akan terjadi apa-apa.

Aku terus mengarahkan lampu senterku ke arah depan sampai aku menemukan saklar lampu untuk lorong lantai dua. Saat itu sangat sepi karena memang tidak ada mahasiswa lagi yang masih berada di kampus itu. Aku bahkan bisa mendengar suara hembusan angin dengan sangat jelas. Setelah berjalan beberapa langkah, aku pun bisa menggapai posisi saklar tersebut.

Tidak sampai hitungan detik ketika aku hendak menyalakan saklar tersebut, rasa merinding yang amat sangat menyelimuti sekujur tubuhku. Hembusan angin malam yang sebelumnya kurasa tidak dapat kurasakan atau kudengar lagi. Aku hanya berdiri terdiam di depan saklar tanpa bisa menoleh ke arah manapun. Sekujur tubuhku terasa kaku, namun juga terasa ringan, ringan sekali. Seluruh tubuhku terasa berat sampai aku tidak bisa menggerakan seujung jari sekalipun, namun juga terasa ringan sampai aku merasa kalau tubuhku sedang melayang.

Waktu terasa berhenti, tidak ada suara yang kudengar di sekitarku, kecuali suara degupan keras dari jantungku yang bisa kudengar dengan sangat jelas. Pandanganku mulai meredup, sekelebat cahaya yang tiba-tiba terpencar ke mataku membuatku pusing, aku seperti sedang berada di tempat atau mungkin dimensi lain.

Keringat mulai membasahi wajahku. Rasa takut yang amat sangat memenuhi pikiranku. Ketakutan yang memenuhi pikiranku karena tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan apa yang akan terjadi. Aku hanya berdiri menatap ke arah saklar, namun aku seperti bisa melihat kearah kanan dan kiriku sekaligus. Pemandangan lorong diarah kanan dan kiriku seperti tergambar jelas di pikiranku seakan aku sedang menoleh ke arah sana padahal aku tidak menggerakan kepalaku sedikitpun.

Napasku mulai terasa sesak, kakiku terasa lemas, pandanganku mulai berkunang-kunang dan rasa pusing yang tidak bisa kujelaskan melanda kepalaku. Aku seakan mulai kehilangan kesadaran, ingin rasanya aku menyerah dan membiarkan tubuhku terjatuh karena aku tidak kuat lagi berdiri. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk menyentuh saklar lampu yang ada di depan mataku.

Kepalaku serasa berputar-putar, namun aku tetap berusaha keras menggerakan tanganku. Hanya sesaat sebelum jariku berhasil menyentuh saklar lampu tersebut, aku mendengar suara, "Jangan!"

Suara tersebut menggema di kepalaku, seakan ada yang pecah di otakku, dan akhirnya membuatku tersadar. Mataku kembali melihat pemandangan di sekitarku dengan jelas. Dinginnya angin malam kembali berhembus kearahku, semakin terasa dingin ketika angin tersebut menyentuh tubuhku yang dibasahi keringat. Napasku mulai lancar kembali, dan aku bisa menggerakan tubuhku dengan bebas. Rasa pusing yang sebelumnya kurasakan hilang begitu saja, dan suara-suara di sekitarku mulai terdengar kembali.

Aku mematikan lampu senterku dan langsung berlari ke arah luar gedung Fakultas. Aku bergegas mengunci kembali pagar gedung Fakultas tanpa menoleh sama sekali ke arah dalam gedung, dan berjalan secepat mungkin ke arah Pos Satpam.

Aku langsung bergegas pulang setelah mengembalikan kunci dan lampu senter kepada Satpam. Aku tidak terlalu ingat dan tidak ingin mengingat apa yang telah terjadi. Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak memikirkan hal itu. Aku bahkan tidak bisa mengingat seperti apa suara yang tadi kudengar menahanku. Masih dengan tubuh yang dibasahi keringat, akhirnya aku berhasil tiba di rumahku dengan selamat.

Cerita Horor Remaja - Kisah Di Pendopo EkonomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang