BAB 12 - Sebuah Hubungan

206 10 0
                                    


Minggu kedua Februari. Aku dan Rani baru saja selesai mengantarkan surat peminjaman tandu ke Sekolah Menengah Atas yang letaknya tidak jauh dari kampus.

"Sekarang lo mau kemana?" tanya Rani begitu aku selesai memarkirkan motorku.

"Gak tau, ke Pendopo Ekonomi mungkin," jawabku sambil membaca pesan yang muncul di telepon genggamku.

"Sendiri?"

"Enggak, harusnya ada Widi di sana. Devon sama Ricky belom balik ke kampus soalnya," terangku sambil membalas pesan dari Widi yang menanyakan keberadaanku.

"Ooh, yaudah gak apa-apa kalo ada Widi," ujar Rani.

Aku sebenarnya ingin bertanya apa maksud dari perkataan Rani tersebut, namun akhirnya aku memilih untuk diam. Kami pergi meninggalkan parkiran motor yang terletak di dekat tempat ibadah di bagian belakang kampus, menuju ke arah Kantin Sastra.

Kami berdua-pun berpisah saat melewati Pendopo Sastra. Aku segera berjalan menuju ke Pendopo Ekonomi, sedangkan Rani berjalan ke Pendopo Sastra. Namun sesampainya di tempat itu, aku tidak menemukan siapapun.

Aku melihat-lihat ke sekitar pendopo, namun tetap tidak ada siapapun. "Dimana, lo?" bunyi pesan yang kukirimkan kepada Widi.

Tidak sampai semenit setelah itu, Widi menunjukkan dirinya. Dia datang dari arah dalam Fakultas Ekonomi, lengkap dengan ransel yang di gendongnya serta plastik yang ada di tangan kanannya.

"Darimana?" tanyaku.

"Keliling-keliling kampus," jawabnya sambil menyuapkan siomay dari plastik yang dia pegang ke mulutnya.

"Ngapain?"

"Lagian kalian lama, gw bingung nunggu dimana!" ujarnya dengan mulut yang masih dipenuhi siomay.

"Kenapa gak nunggu disini aja?"

"Hmm... Gak kenapa-kenapa sih, gak mau aja," jawab Widi pelan.

Setelah kuingat-ingat, diantara kami berempat, sepertinya hanya aku saja yang pernah menunggu sendirian di Pendopo Ekonomi. Devon biasanya selalu datang bersama dengan Ricky, sedangkan Widi tidak pernah ke tempat itu kalau kami tidak ada.

Hal tersebut membuatku teringat pada kejadian yang kualami di tempat itu saat aku belum menjadi panitia Pekan Sastra. "Waktu itu gw nganggep gw cuma mimpi, makanya gw hampir lupa sama kejadian itu," pikirku. "Tapi sekarang malah jadi keinget lagi," ujarku dalam hati sambil duduk bersandar ke tembok.

Selain itu, walaupun aku berusaha meyakinkan Emi kalau yang dia alami di toilet lantai empat bukanlah gangguan dari makhluk halus atau hal-hal semacam itu, aku sendiri sebenarnya tidak yakin apa yang terjadi saat itu.

Pertama kali aku menggunakan toilet di lantai empat, aku juga merasakan suasana yang aneh, jadi wajar kalau Emi berpikir yang tidak-tidak. Selain itu, apa yang aku alami saat sendirian di Pendopo Ekonomi, juga saat aku berada di lantai dua pada malam di waktu aku hendak mengambil telepon genggamku yang ketinggalan, membuatku jadi lebih paranoid dibandingkan sebelumnya.

Awalnya aku berpikir kalau kejadian aneh yang aku alami di kampus itu hanya karena khayalanku semata, aku terus berpikir kalau itu semua terjadi karena aku suka membaca novel-novel horor atau menonton film horor padahal aku mudah ketakutan.

Namun jika memang kejadian yang dialami oleh Emi ternyata memang benar gangguan dari makhluk halus, "Berarti selama ini gw emang digangguin juga?" pikirku.

Widi yang duduk di sampingku, sibuk dengan sketsa yang sedang dia kerjakan. Harus kuakui kalau dia memang memiliki kemampuan dalam hal menggambar, semua itu terlihat dari tumpukan sketsa yang pernah dia kerjakan. Dia selalu membawa hasil karyanya dalam sebuah map plastik, dan dia selalu memperlihatkan karyanya kepada kami kalau dia sudah selesai membuat gambar baru dengan pacarnya sebagai model.

Cerita Horor Remaja - Kisah Di Pendopo EkonomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang