BAB 5 - Sosok Asli Widi

243 14 0
                                    


"HUAHAHAHAHA!!!" tawa Widi semakin keras seraya memegang perutnya.

"Kenapa nih, anak?" tanyaku heran. "Kesurupan?" pikirku sambil beberapa kali bertatapan dengan Ricky, sepertinya dia juga berpikiran sama denganku.

Aku dan Ricky-pun hanya bisa terdiam memperhatikan Widi. Devon yang berada di sebelahnya juga hanya bisa menatap Widi dengan heran.

"Udeh! Nanti nangis lo, kebanyakan ketawa!" seru Devon sambil menepuk pundak Widi, aku dan Ricky-pun tambah keheranan.

"Huahahahaha!!! Bener kan, Dev! Mereka pasti nungguin! Huahahaha!!!" seru Widi sambil tertawa terbahak-bahak.

"Ha???" tanyaku dan Ricky serempak, lalu kami berdua-pun saling bertatapan dan dipenuhi kebingungan.

"Nih si Kodok, dia bilang pasti lo berdua nungguin sambil gelisah karena kita kelamaan gak balik-balik," ujar Devon menerangkan.

"Huahahaha!!! Lo gak liat tadi mukanya bang Ricky pas liat kita, Dev?" tanya Widi sambil berusaha menahan tawa dengan menutupi mulutnya dengan kedua tangan.

Aku dan Ricky masih terdiam keheranan. Devon dan Widi-pun akhirnya duduk di sebelah kami. Widi masih terlihat kesusahan untuk menenangkan diri.

"Terus, lo berdua kenapa lama?" tanya Ricky.

"Nih, si Kodok!" seru Devon sambil menunjuk Widi. "Dia malah ngajakin makan siomay dulu," terangnya.

"Wah, sialan! Pantesan aja satu jam gak balik-balik, ye?!" ujar Ricky ketus.

"Huahahaha! Aduh, aduh! Maaf ye, Bang! Ane laper banget, gak tahan," jawab Widi sambil tetap berusaha keras menahan tawanya.

Aku dan Ricky merasa kesal karena dikerjai, tapi rasa penasaran kami saat itu jauh lebih besar. Ini pertama kalinya kami melihat Widi tertawa, dan dia bisa tertawa terbahak-bahak seperti itu, apa yang terjadi dengan dia?

"Terus, kok lo begini?" tanyaku akhirnya.

"Ha? Begini gimana maksudnya?" tanya Widi, gantian dia yang keheranan.

"Ya, lo kan biasanya... pendiem?" lanjutku.

"Ah bisa aja!" ujarnya sambil menepuk pundakku. "Gw mah diem kalo di kelas doang, kalo disini kan cuma ada kita," ujarnya menerangkan.

"Maksudnya?" tanya Ricky menambahkan.

"Ya kalo di kelas kan harus keliatan cool gitu, biar cewek-cewek pada suka, huahahaha!" terang Widi.

"Sialan!" seruku, "Gw pikir lo emang beneran pendiem!"

"Ah dia mah pendiem apaan! Daritadi aja ngoceh terus!" ujar Devon menjelaskan.

Aku dan Ricky hanya bisa terdiam. "Jadi ini sosok aslinya orang yang biasanya diem dan ngeselin itu?" gumamku.

"Aduh, cape gw ketawa. Dev, beli minum di Kantin Sastra, yok!" ajak Widi sambil berdiri dari posisi duduknya.

"Ohia, terus mana cemilannya?" tanya Ricky setelah menyadari kalau Devon dan Widi sepertinya tidak membawa apa-apa saat kembali ke tempat itu.

"Ini baru mau dibeli, Bang! Huahaha!" jawab Widi sambil tertawa kembali.

Aku dan Ricky kembali dibuat terdiam melongo dengan sikap Widi. Ingin rasanya kami melempar Widi dengan sebongkah batu atau apapun yang bisa kami raih saat itu, tapi sepertinya Widi menyadari akan hal itu dan dia langsung bergegas pergi bersama Devon.

"Wah sialan tuh, anak!" ujar Ricky kesal.

Aku hanya bisa terdiam tanpa berkata-kata. Aku sama sekali tidak mengira kalau Widi adalah anak yang seperti itu. Pandangan awalku terhadapnya yang mengira dia dalah anak yang angkuh, buyar begitu saja. Berganti dengan sesosok anak yang bertingkah-laku konyol seperti yang telah dia lakukan di depan kami.

Beberapa lama kemudian Devon dan Widi datang sambil membawakan empat piring nasi goreng. Karena memang sudah hampir jam delapan malam, kami memutuskan untuk makan malam sekalian di sana sambil mendiskusikan materi presentasi kami.

Setelah itupun candaan Devon dan Widi masih menghiasi kegiatan kami, mereka berdua terlihat kompak saat mengerjai Ricky dan Ricky-pun hanya bisa membalas dengan makian.

Aku masih heran dengan perubahan sikap Widi, tapi aku tahu kalau Ricky-pun berpikiran sama denganku. Ya, aku dan Ricky merasa kesal, heran sekaligus merasa lega. Kami lega karena ternyata Widi yang semula kami kira tidak dapat bekerja dengan baik dan tidak dapat berbaur dengan kami, ternyata adalah sosok yang cukup menyenangkan dan mudah diajak kerjasama.

Waktu menunjukkan kira-kira pukul sembilan malam, dan kami sudah menyelesaikan materi untuk presentasi kami. Jika dibandingkan dengan saat aku, Devon dan Ricky berkumpul untuk pertama kalinya, saat itu pekerjaan kami terasa lebih cepat tapi juga terasa lebih melelahkan. Kami bisa mengerjakannya dengan lebih cepat karena kami berempat aktif mengerjakan dan juga kejahilan Devon dan Widi membuat suasana saat itu lebih hidup, tapi itu juga-lah yang sepertinya membuat kami kelelahan.

"Syukurlah di kelompok kami tidak ada anak yang bisa menjadi beban," pikirku. Aku benar-benar bersyukur karena Widi ternyata bukanlah orang yang seperti aku pikirkan awalnya.

Akhirnya setelah semua beres, kami memutuskan untuk pulang. Semua bahan sudah aku edit hari itu juga, jadi tinggal tugas Widi untuk mencetak bahan presentasi tersebut untuk kami presentasikan dua hari kemudian.

Pertama kalinya kami pulang bareng dan ternyata kami memarkir motor kami di area yang sama. Hari itu juga karena untuk pertama kalinya kami keluar kampus pada saat yang sama, aku baru mengetahui kalau ternyata Devon, Ricky dan Widi pulang ke arah yang sama. Sedangkan aku di arah yang berlawanan dengan mereka.

Sepanjang perjalanan, aku memutar kembali ingatanku tentang Widi. Selain itu aku juga memikirkan mengenai kebersamaanku bersama dengan Devon dan Ricky. Walaupun awalnya aku sama sekali tidak ingin bersosialisasi dengan mereka, tapi karena sebuah tugas kelompok, aku jadi bisa lebih mengenal teman sekelasku. "Yah, tidak buruk juga," pikirku. Akupun melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba dengan selamat di rumah pada pukul sepuluh lebih. Entah kenapa aku merasa lelah sekali hari itu, dan aku memutuskan untuk langsung tidur.

❀❀❀❀❀

Presentasi kami berjalan dengan lancar. Aku dan Widi bertugas bergantian mem-presentasikan materi kami. Kami beruntung sepertinya dosen kami-pun menyukai cara kami presentasi dan tertarik terhadap materi kami.

Setelah presentasi tersebut, kami menjalani keseharian kami dalam perkuliahan seperti biasa, tapi ada dua hal yang berbeda. Pertama, Widi tetap seperti biasanya, dia selalu bersikap dingin di kelas, tapi kami yang awalnya berpikir, "Ini anak kok sombong banget, ya?" berubah menjadi "Sialan masih aja sok cool," dan kami pun tertawa dalam hati kalau memikirkannya. Kedua, hampir setiap hari setelah hari presentasi, kami tidak langsung pulang setelah jam kuliah kami berakhir. Kami berempat jadi sering menghabiskan waktu bersama di Pendopo Ekonomi. Widi yang awalnya ragu, walaupun kami tidak mengetahui alasannya, akhirnya tidak kuasa menolak ajakan kami.

Walaupun tidak ada lagi tugas kelompok yang harus kami kerjakan, tapi kami menghabiskan waktu kami di Pendopo Ekonomi untuk makan, bercanda ataupun mendengarkan musik bersama. Tidak adanya anak Ekonomi yang mondar-mandir di sana, membuat kami seperti penguasa di tempat itu, dan walaupun tanpa perjanjian tertulis, sepertinya kami sepakat kalau tempat itu adalah tempat tongkrongan kami berempat.

"Disini enak ya, adem!" ujar Devon ketika kami berempat sedang berkumpul di Pendopo Ekonomi. Aku, Devon dan Ricky duduk bersender di tembok, sedangkan Widi, mungkin karena saking merasa nyamannya, dia sampai tiduran di tempat itu. Ricky sendiri duduk agak jauh dari kami karena dia sedang merokok.

"Iya. Tapi kenapa malah gak ada yang nongkrong di sini, ya?" tanyaku sambil menyeruput secangkir kopi yang kubeli di Kantin Sastra.

"Gak tau deh. Tapi siapa yang perduli? Bagus dong tempat ini jadi milik kita! Hehe!" ujar Devon senang.

Ricky masih duduk menyendiri sambil merokok, Devon terkadang datang menghampirinya hanya untuk mengisengi Ricky ataupun menemani Ricky mengobrol walaupun Devon tidak merokok. Widi sepertinya malah sudah tidur terlelap. Walaupun kami duduk ataupun tiduran di lantai Pendopo Ekonomi, mungkin karena tempat itu jarang dilalui orang, lantai Pendopo itupun tidak terlalu kotor, jadi kami rasa masih aman untuk kami duduki ataupun tiduri. Pemikiran yang bodoh? Ya, aku tahu. Setidaknya kami merasa nyaman di tempat itu.

Cerita Horor Remaja - Kisah Di Pendopo EkonomiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang