1

5.9K 240 5
                                    

Gibran menatap selembar foto yang diberikan ayahnya. Sesosok gadis berjilbab, tidak terlalu jelas bagaimana wajahnya. Foto berukuran 4 x 6 itu terlalu buram. Lagi pula, ia sendiri tidak terlalu peduli.

"Namanya Rinjani. Dia anak teman Ayah. Kau ingat Om Pras? Tetangga kita saat masih tinggal di Jogja." Gibran mencoba mengingat nama itu. Nihil. Kenangan akan Yogyakarta hanya seraut wajah almarhumah ibunya. Tidak ada yang lainnya.

"Ayah bertemu dengan Prasetiyo beberapa bulan terakhir. Kami sering bertemu. Bahkan Ayah beberapa kali main ke rumahnya," lanjutnya lagi antusias.

Gibran masih diam. Ia sibuk menerka kenapa Ayahnya yang super cuek tiba-tiba tampak begitu peduli. Bahkan ini sudah terlalu jauh mencampuri urusan pribadinya.

"Ayah sepertinya semangat sekali menjodohkan aku. Apa wajahku ini seperti bujang lapuk yang tak laku?" Gibran memegang wajah tampannya. Perjodohan ini menghina harga dirinya. "Kalau mau, detik ini juga aku bisa membawakan selusin perempuan ke hadapan Ayah."

Ayah hanya tertawa memandang wajah anaknya. Gibran sangat mirip dengan mendiang ibunya yang cantik, sedangkan keras kepalanya sama persis seperti dirinya.

"Dengarkan Ayah sebentar!" Ayah menahan lengan Gibran ketika ia bangkit dari duduknya. "Duduklah! Kita buat kesepakatan."

Gibran kembali menduduki kursinya. Sudah lama ia tidak mengobrol seserius ini dengan Ayahnya. Sejak ibu meninggal empat belas tahun yang lalu, Ayah menyibukkan diri dengan bekerja. Pergi pagi, pulang larut malam. Kadang-kadang seminggu tidak pulang untuk perjalanan bisnis ke luar kota. Gibran remaja sering merasa kesepian. Ia hanya punya Bi Sum. Pengasuhnya sejak bayi yang melayani segala kebutuhannya di rumah ini.

Untuk membunuh rasa bosan, Gibran memilih bermain bersama teman-temannya. Dengan akses keuangan tak terbatas dari Ayahnya, pemuda itu bisa melakukan apa saja. Jadilah kehidupannya tak jauh dari urusan bersenang-senang.

"Ayah ingin menebus kesalahan yang selama ini Ayah lakukan. Sejak ibumu meninggal, Ayah merasa kehilangan. Hanya dengan bekerja seperti orang gila, Ayah bisa sedikit melupakannya. Tanpa sadar, Ayah ternyata telah mengabaikanmu." Wajah Ayah terlihat tulus, suaranya bergetar hebat.

"Beberpa bulan yang lalu, Ayah bertemu Prasetiyo. Dia teman kuliah Ayah dan yang paling mengetahui bagaimana hubungan Ayah dan Ibumu sejak di bangku kuliah. Pras ingin membantu Ayah yang mungkin di matanya terlihat kacau. Ia mengenalkan keluarganya yang penuh kehangatan. Melihat mereka, Ayah tersadar dengan keberadaan dirimu." Kali ini tangis Ayah meledak. Gibran masih terdiam, menyimak setiap kalimat ayahnya.

"Pras membukakan mata Ayah, kalau dunia ini fana. Ada Sang Maha Berkehendak. Ayah pun menuruti ajakannya untuk mengikuti kajian di Masjid kantornya setiap malam Jumat. Kau tahu, Gibran? Ayah seperti anak kecil yang tersesat lalu diajak pulang." Suara ayah tampak lebih tenang. Ada senyum samar di bibirnya.

"Ayah ingin memperbaiki hubungan kita, layaknya hubungan ayah dan anak sebenarnya."

Gibran tampak terkejut. Otaknya masih mencerna apa yang terlontar dari mulut Ayahnya. Mengapa baru saat ini Ayahnya berkata demikian? Kemana saja selama ini? Saat ia menghabiskan masa remajanya tanpa orang tua di sisinya. Selama ini, ia sudah terbiasa tanpa Ayah, bahkan ia lupa rasanya kasih sayang seorang ayah.

"Lalu apa hubungannya dengan keinginanmu menjodohkan aku dengan anak Om Pras?" tanya Gibran kesal.

"Ayah ingin kau juga belajar menjadi lebih baik. Kita berdua sudah terlalu jauh dengan Pencipta kita sendiri. Ayah tidak bisa membimbingmu. Tapi ... Rinjani, anak Om Pras mungkin bisa."

"Kenapa ga sekalian saja jodohkan aku dengan Mamah Dedeh!" sindir Gibran.

"Dengar Ayah sekali ini saja, Nak," Nak? Selama dua puluh tujuh tahun ia menjadi anaknya, baru kali ini ia dipanggil 'Nak'.

"Setelah kamu menikah, Ayah ingin menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab perusahaan kepadamu. Ayah ingin istirahat dan mempersiapkan akhirat yang sudah lama Ayah lupakan."

"Aku akan menikah, tapi tidak dengan perempuan pilihan Ayah!"

"Baiklah, kita buat kesepakatan. Bertemu dan berkenalan dulu dengan Rinjani. Kalau dalam sebulan kau tidak menyukainya, Ayah tidak akan memaksa. Kau boleh menikah dengan gadis pilihanmu sendiri," ucap ayah melunak.

Gibran tersenyum dan segera mengangguk. Huh, sebulan terlalu lama! Melihat fotonya saja, dia sudah tahu apa jawabannya. Seru suara batinnya.

"Deal!" jawabnya pendek kemudian berlalu meninggalkan Ayahnya menuju kamar di lantai atas.

"Besok malam kita ke rumah Om Pras. Pastikan kau pulang sebelum Maghrib," seru ayah yang dijawab dengan lambaian tangan Gibran tanda setuju. Ia sudah terlalu lelah dan ingin segera membaringkan tubuhnya di atas kasur.

***

"Gibran, kau tak lupa kan dengan janji kita nanti sore?" Suara Danisha di telepon mengingatkannya. Kemarin ia berjanji akan mengantarnya membeli baju di Butik langganannya.

"Iya, aku ingat. Sepulang kantor aku jemput." Gibran mematikan sambungan teleponnya. Sial, kenapa ia malah lupa kalau nanti sore ada janji dengan Denisha. Padahal, ia juga sudah berjanji akan menuruti kemauan ayahnya berkunjung ke rumah Om Pras. Ah, baiklah. Ia berencana akan mengantar Danisha sebentar saja lalu pulang ke rumahnya.

Danisha adalah teman Gibran sejak SMA. Gadis cantik itu bukanlah pacarnya. Mereka sebatas teman, walaupun ia tahu gadis manja itu dari dulu menyukainya. Ia selalu berdiri di dekatnya, tak peduli Gibran sering mengabaikan perasaannya. Pacarnya silih berganti, tapi Danisha selalu di sisinya. Berharap suatu saat pria itu akan mencintainya.

Tepat jam setengah lima sore, Gibran menjemput Danisha di sebuah studio pemotretan. Ya, Danisha adalah seorang model. Mata gadis itu berbinar melihat Gibran membukakan pintu mobil untuknya.

"Terima kasih, Tampan ...," ucapnya genit. Gibran hanya tersenyum kecil.

Mereka menuju Butik  di salah satu Mall megah di Jakarta. Danisha bergelayut manja di lengan Gibran.

"Kau sepertinya buru-buru sekali!" ucap Danisha sambil mengimbangi langkah panjang dan cepat pria di sampingnya. Kaki mereka melangkah ke sebuah eskalator.

"Ya, maafkan aku Sha. Aku harus pulang cepat. Aku punya janji dengan Ayah." Gibran sengaja tidak akan membocorkan rencana perjodohan sialan ini kepada Danisha. Mulut perempuan ini terkadang pedas seperti merica. Bukannya memberi solusi, ia malah akan membuatnya semakin runyam.

"Ayah? Sejak kapan ia mulai akrab denganmu?"

"Itu bukan urusanmu ...!"

Brakk!

"Aww ...." Terdengar suara Danisha menjerit. Rupanya mereka berdua tidak memperhatikan jalan di depannya dan sibuk mengobrol sampai-sampai Danisha terjatuh karena bertabrakan dengan orang lain.

"Hei, kamu! Kalau jalan lihat-lihat, dong! Punya mata ga sih, Lo? Lihat nih gara-gara Lo kaki gue sakit!" Danisha kalap, kemarahan menyulapnya dari seorang gadis lembut menjadi menakutkan.

Orang yang ditabraknya tampak menahan napas dan mengurut dada. Beberapa kali ia istighfar. Gadis berjilbab biru itu mencoba membantu membangunkan Danisha, sementara barang-barang belanjaannya sendiri berserakan di lantai.

"Maaf, Mba. Saya tidak sengaja," ucapnya tulus. Jelas-jelas ia yang ditabrak Danisha.

"Enak aja lo minta maaf! Lain kali jaga tuh mata." Tangan gadis itu ditepisnya kasar. Gibran meraih tangannya lalu membantunya berdiri. Merasa risih dengan kejadian itu, Gibran segera menarik Danisha menjauh.

"Sudahlah Danisha. Lagi pula kau tidak terluka."

"Tapi, Ran ...." Gibran semakin jauh menarik Danisha, meninggalkan gadis itu yang sibuk membereskan barang belanjaannya.

"Sabar, Rinjani ... La taghdob walakal jannah!" ucap gadis itu menenangkan dirinya sendiri sambil merapal hadits. 'Jangan marah dan bagimu surga'.

Aku Layak Untukmu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang