“Mas Gibran sudah bangun? Shalat sudah mau mulai Mas?” Sebuah suara terdengar di balik pintu setelah ketiga kali pintu itu diketuk dan tidak mendapat respon apapun dari pemilik kamar.
“Mas? Maaf saya hanya disuruh Ustadz Arman untuk …."
"Iya aku tahu! Aku bangun sekarang. Sana duluan. Nanti aku nyusul!” Terdengar sebuah jawaban yang lebih mirip teriakan.
Dengan malas Gibran membuka mata dan melemparkan selimut ke lantai. Aktvitas salat malam berjamaah di pesantren ini adalah kegiatan yang paling menyebalkan. Bayangkan! Jam tiga dini hari, ia harus merelakan tidur nyenyaknya demi salat malam bernama tahajud dan witir.
Gibran mengucek matanya dan setengah memaksakan diri bergegas mengambil wudu lalu lari terbirit menuju Masjid. Lagi-lagi terlambat. Imam Masjid tengah menyelesaikan rakaatnya yang keempat.
Baru seminggu Gibran tinggal di Pesantrean Al-Hikmah, milik Ustadz Arman. Dan, selama seminggu itu pula dia merasakan kelelahan fisik dan mental luar biasa.
Ustadz Arman memintanya tinggal di Pesantren untuk ikut bimbingan khusus selama satu bulan. Hal ini dilakukan setelah melihat Gibran sangat tertinggal jauh dari yang seharusnya ada pada pria muslim berusia 27 tahun.
“Kau bisa mengaji?” tanya Ustadz Arman waktu pertama kali ia datang dan menyatakan maksud ingin belajar islam padanya.
“Dulu tamat iqra jilid 6 tapi tidak lancar.” Gibran tersenyum samar.
Pria kharismatik berusia 40 tahun itu lalu membuka Al-Quran dan menyuruhnya mengaji.
“Coba baca Surat Maryam. Hampir semua hukum tajwid ada di sana,” perintahnya kemudian. Gibran gelagapan menerima mushaf itu.
“Yang mana Ustadz?” tanya Gibran bingung. Ia tidak hafal nama-nama surat dalam Alquran, bagaimana cara membukanya?
“Apa kau jarang membaca Alquran? Tinggal lihat daftar isi, nama surat, dan halamannya.” Ustadz Arman geram. Diambilnya mushaf itu sebentar lalu diberikan kepada Gibran.
“Nah, yang ini! Ayo baca!”
Muka Gibran mendadak pias. Melihat ayat pertama saja sudah membuat kepalanya berdenyut. Ia menatap kelima huruf hijaiyah awal Surat Maryam dengan gugup.
Gibran mengatur napas, lalu dengan sebisanya ia baca ayat tersebut. “Ka ha ya ‘nga ‘sha”. Lalu berhenti dan melirik Ustadz sambil tersenyum getir.
“Sudah sudah … jangan dilanjut.” Ustadz Arman bisa langsung memperkirakan sejauh mana kemampuan bacaan pria perlente di hadapannya.
“Kalau salat bisa kan?”
“Bisa hanya … kadang-kadang saja aku melakukannya.” Gibran menelan ludah. Ia merasa tak ada gunanya lagi gelar CEO dan pendidikan Master di hadapan ustadz yang satu ini.
“Rinjani sudah menceritakan tentang keinginanmu. Dia itu binaan kelompok pengajian adik saya, Rahma. Melihat kemampuanmu mengaji, dengan terpaksa kau harus belajar intensif tahsin quran di pesantren ini selama satu bulan.”
“Apa? Satu Bulan? Tinggal di sini? Tidak Ustadz saya tidak bersedia,” jawab Gibran enggan. Pria itu bergidik membayangkan harus menghabiskan waktu satu bulannya di tempat seperti ini.
“Kalau tidak mau ya sudah. Cari saja pembimbing lain. Aku akan bilang pada Rinjani kalau kau menolak untuk …,"
“Baik Ustadz. Saya mau.” Mendengar nama Rinjani disebut ia seperti mati kutu. “Tapi aku punya syarat.”
“Apa syaratnya? Katakan saja keinginanmu.”
“Aku mau tinggal di sini, tapi biarkan aku pergi bekerja seperti biasa. Perusahaanku belum bisa sepenuhnya aku percayakan kepada yang lain.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Layak Untukmu (Completed)
RomanceGibran tak menyangka kalau perempuan yang dijodohkannya akan membuat hatinya luluh. Namun, ia sendiri merasa tak cukup pantas untuk seorang Rinjani. Demi cintanya kepada gadis itu ia rela berubah. Perubahan yang akhirnya membawanya kepada cinta lain...