2

3.3K 203 0
                                    

Setelah insiden tabrakan itu, Gibran memilih membawa Danisha ke sebuah Coffee Shop. Ia memesan minuman, berharap kemarahan gadis di hadapannya segera reda.

"Sepertinya kau malah belain gadis itu, Ran?" semprot Danisha kesal.

"Sudahlah tidak usah dibahas lagi. Yang penting kau kan tidak apa-apa. Kakimu masih bisa jalan," ujar Gibran sambil melirik arloji di tangannya. Ia menepuk dahi, ingat janji dengan ayahnya.

"Sha, aku ada acara penting nih bareng Ayah. Aku tinggal ga pa pa, kan?"

"Lho ke butiknya gimana?"

"Lain kali saja atau kau pilih sendiri, nanti tagihannya aku yang bayar. Oke?" Gadis itu cemberut tapi sedetik kemudian tersenyum manis mendengar kata yang diucapkan Gibran. Hah perempuan sama saja, gampang luluh dengan uang, batin Gibran mencibir.

Pria itu pun berlalu meninggalkan Danisha dan terburu-buru menuju parkiran. Ponselnya terus berdering, ayah sedari tadi meneleponnya.

"Iya aku on the way, Yah." Gibran menjawab panggilan Ayah sambil melajukan mobilnya.

"Ini sudah setengah tujuh. Nanti kau langsung ke rumah Prasetiyo saja. Ayah duluan kita ketemu di sana. Alamatnya Ayah kirim ke WA."

Gibran tak membantah. Ia melihat sebentar alamat yang dikirim ayahnya. Sebuah perumahan yang tidak terlalu jauh dari jalan yang sedang ia lewati.

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke rumah Om Pras. Mobil Alphard ayahnya sudah tampak di sana. Pa Udin, supir ayahnya, terlihat duduk di teras ditemani secangkir kopi.

"Mas Gibran?" Pa Udin berdiri menghampirinya. "Tadi Bapak berpesan kalau lihat Mas Gibran disuruh masuk saja." Gibran mengangguk sambil merapikan sebentar kemeja kerjanya yang belum diganti sejak pagi. Ah, apapun yang dikenakannya, toh ia tetap tampan. Lagi pula ia sedang tidak ingin membuat tertarik siapapun'.

Kedatangan Gibran disambut hangat. Om Pras langsung memeluknya. Di ruang tamu sudah berkumpul Ayah dan keluarga Prasetiyo.

"Pangling sekali anakmu, Malik. Ga nyangka bisa seganteng ini. Mirip sama mendiang ibunya," kata Prasetiyo seraya melirik Malik sumringah. "Ayo duduk dan anggap kami ini bagian keluargamu."

Gibran duduk dekat dengan ayahnya. Ia terlihat canggung. Sekilas ia mengedarkan pandangan kepada orang-orang di sekitarnya. Ekor matanya jatuh kepada gadis berjilbab ungu. Ya ampun! Bukankah gadis itu yang ditabrak Danisha?

"Gibran ini keluarga Om Pras. Istri Om, lagi sibuk di dapur. Nah, yang jilbab hijau itu Nacita, anak Om yang tertua. Saat ini sedang mengandung, suaminya dapat tugas meliput berita jadi tidak bisa ikut berkumpul." Nacita tersenyum yang dijawab anggukan kecil Gibran.

"Rinjani yang berjilbab ungu. Anak Om yang kedua. Saat ini masih menyusun tugas akhirnya, beberapa bulan lagi wisuda." Gibran menatap sekilas Rinjani, namun gadis itu membuang muka. Ia melihat ke arah lain seakan tak mempedulikannya. Sombong sekali!

"Aku gak dikenalin ke calon kakak ipar, Pah?" Suara itu muncul dari balik pintu. Ia masuk menyeruak dan menjulurkan tangannya ke arah Gibran.

"Husy yang sopan dong, Dek!" Gadis berusia 17 tahun itu nyengir. "Dia Anya, anak bungsu Om. Sekarang kelas 11 di SMA."

Pertemuan itu berlangsung cair, hanya saja Gibran merasa acara malam ini seperti reuni antara ayahnya dan Om Pras. Sama sekali tidak ada pembicaraan mengenai perjodohan. Sementara itu, Rinjani juga tak banyak bicara. Bahkan dia terlihat enggan melihat Gibran. Sekali pandangan mereka bertemu, mata rinjani terlihat tajam. Sangat menusuk. Tak lama kemudian gadis itu membuang pandangannya ke tempat lain.

Aku Layak Untukmu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang