3

3.2K 188 2
                                    

Gibran menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Ia bangun kesiangan gara-gara tidurnya terlalu larut. Semalaman ia tersiksa dengan sorot tajam milik Rinjani.

"Gibran, sarapan dulu temani Ayah." Ayah memanggil Gibran yang sedang bersiap-siap dengan sepatunya.

'Sarapan?' Sudah lama mereka tidak makan dalam satu meja. Gibran sering melewatkan sarapan di rumah. 'Apa enaknya menghadapi meja makan besar sendirian'. Setiap pagi, meja itu selalu kosong. Hanya sesekali saja ayah  atau dirinya ada di sana. Selama ini, mereka terlalu sibuk masing-masing.

"Kenapa malah diam? Kemarilah."

Ayah sudah duduk di meja makan. Gibran tak kuasa menolak. Jujur, ia pun rindu makan berdua bersamanya.

"Sudah lama kita tidak makan seperti ini bukan?" Gibran hanya mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa. "Mulai hari ini kita sarapan bersama."

Gibran menatap ayah lekat. Rupanya ucapan untuk memperbaiki hubungan itu berawal dari meja makan. Entahlah, ia harus bersikap seperti apa.

Kehilangan sosok ayah telah membuatnya rapuh. Hatinya sudah terlalu beku. Kadang ia sendiri bingung bagaimana harus bersikap terhadap ayahnya.

"Apa semalam kau sudah memikirkannya? Maksud Ayah tentang anak Om Pras, Rinjani, apa kau menyukainya?"

Gibran hampir saja mengeluarkan nasi goreng yang baru masuk ke mulutnya. Buru-buru ia meneguk air putih.

"Aku belum memikirkannya. Entahlah, kurasa Rinjani biasa saja. Tak lebih cantik dari gadis-gadis yang kukenal."

"Apa pikiranmu terhadap seorang gadis hanya masalah cantik?" Gibran tak menjawab. Ia sibuk memainkan sendoknya.

"Sebenarnya Ayahlah yang meminta Rinjani kepada Om Pras. Ya, rencana ini datang dari Ayah walaupun sebenarnya Ayah sendiri ragu Rinjani akan menyetujuinya."

'Jadi ide konyol itu dari ayahnya? Apa ia seperti tidak sedang menjual anaknya sendiri? Memalukan.'

"Baguslah kalau dia juga menolak. Jadi aku tak perlu memberikan jawaban apapun terhapad ayah." Gibran menghentikan sarapannya. Ia kehilangan selera. Gibran ditolak seorang gadis? Huh, tidak ada cerita. Ia yang seharusnya menolak Rinjani, bukan sebaliknya.'

"Masih ada waktu. Kita tunggu juga jawaban Om Pras."

Gibran berdiri tanpa menyahut lalu meninggalkan makanannya.

"Aku berangkat." 

Ayah hanya memandang punggung anak semata wayangnya dengan perasaan sedih. Kalau waktu bisa diputar, sungguh ia ingin menebus kesalahannya. Selama ini ia hanya menjadi ayah biologisnya, tak lebih.

Sesampainya di kantor, Gibran hanya memandangi berkas-berkas yang sudah tertumpuk di meja. Ia masih malas menyentuhnya. Ia memilih menyalakan laptop, lalu berselancar membuka media sosial yang jarang sekali dikunjungi.

Mau tak mau ia penasaran dengan Rinjani. Gadis seperti apa dia. Nama itu ia ketik di kolom pencarian. Hasilnya banyak sekali yang bernama Rinjani. Pria itu membuka akun satu-satu, melihat foto profilnya. Bukan, bukan yang ini.

Lama sekali ia mencari, sampai akhirnya ia menemukan satu akun atas nama Senandung Rinjani. Tidak ada foto gadis itu di profilnya. Hanya foto kalimat motivasi saja. Kebetulan nama kampus yang ia cantumkan sama dengan tempat kuliah Rinjani. Ia coba buka postingan di akun itu. Di tempat teratas, ia temukan flyer sebuah acara. Pemilik akun rupanya ditandai dalam kiriman, sehingga otomatis muncul di beranda miliknya.

Tercantum acara talk show 'Perempuan di Persimpangan Jalan' di flyer itu. Nama Senandung Rinjani  tertulis sebagai salah satu narasumber dan fotonya ada disana. Kecil, tapi cukup jelas. Ya, itu foto gadis angkuh itu.

Gibran sempat melirik waktu dan tempatnya. Setelah itu mengakhiri pencariannya. 'Kenapa pula ia harus stalking akun gadis sialan itu. Kurang kerjaan atau hanya penasaran', usik batinnya lagi.

***

Kampus hari ini riuh seperti biasa. Dipenuhi lalu lalang mahasiswa yang sibuk mengejar mimpi-mimpi idealis mereka. Dengan langkah ringan Rinjani memasuki kampusnya. Ia selalu suka dengan atmosfir kampus ini. Pertemuan di dalam kelas, diskusi-diskuis ilmiah, lalu yang paling menyenangkan adalah aktifitasnya di masjid kampus.

Rinjani duduk sebentar di  teras masjid. Ia masih punya waktu sebelum berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya. Masjid ini adalah masjid penuh kenangan, tempat yang kemudian mengubahnya menjadi manusia yang lebih baik.

Dulu, saat ia menjadi mahasiswa baru, pakaiannya adalah celana jeans dan kemeja. Lengkap dengan sepatu kets yang sporty. Rambutnya selalu ia gerai. Boro-boro memakai jilbab, pakai rok saja ia tak bisa.

Ketertarikan awalnya dengan masjid kampus hanya karena satu alasan. Seorang pria bernama Raihan Alfatih. Naif sekali. Kalau Rinjani mengingat itu, ia merasa malu.

Awalnya ia menghadiri acara pembukaan mentoring agama islam yang diwajibkan pihak kampus untuk mahasiswa baru. Pertama kali ia melihat Raihan saat membuka acara dengan tilawah. Bacaan surat Ar-Rahman tanpa mushaf itu sangat merdu dan menyentuh siapa pun yang mendengarnya. Apalagi yang membacanya adalah sesosok pria berwajah lembut yang mendamaikan.

Tak cukup disitu, Raihan muncul lagi di sesi ice breaking. Ia tampil membawakan nasyid dengan teman-temannya. Pria itu menjadi lead vocal. Suara emasnya kembali mampir di telinga Rinjani. Lagu Arti Cinta dari Snada dengan accapela telah membuat gadis itu terpesona.

Sejak itu, selain rajin mentoring, ia juga nekad mendaftar menjadi anggota Rohis kampusnya. Tujuannya hanya satu, mengenal Raihan lebih jauh.

Awal-awal ia masuk Rohis, Rinjani kecewa. Jarang sekali ia bertemu senior pujaannya itu. Seringnya ia bertemu dengan mba-mba pembimbingnya. Terutama dengan Mba Rahma yang menjadi mentor pengajiannya. Raihan hanya sesekali menjadi pembicara kajian. Selebihnya ia hanya bertemu di luar. Sekali waktu Rinjani nekad menemui Raihan. Ia ingin sekali berbicara dengan pria itu.

"Mas Raihan? Kenalan dong, aku ini anggota baru. Namaku Rinjani." Gadis itu mengulurkan tangan, sedangkan Raihan hanya menyimpan kedua tangannya di dada. Ia terseyum tipis sambil memandangnya sekilas, lalu menatap ke arah lain.

"Saya Raihan. Wah terima kasih ya sudah daftar. Yang rajin dan aktif ya, Dik. Saya ada jam masuk. Ditinggal dulu ya. Assalamualaikum." Hanya itu yang diucapkannya sebelum berlalu, tapi cukup membuat hati Rinjani senang.

Bergaul dan berbaur dengan para aktivis Rohis, sedikit demi sedikit merubah Rinjani. Ilmu yang didapatkannya semakin banyak, seiring bertambah pula kesadarannya akan hijrah. Ia bahkan tak peduli lagi dengan sosok Raihan, yang tertinggal hanya sebatas kekaguman. 

Para seniornya banyak yang terkejut melihat Rinjani merubah tampilannya. Rambut indahnya sudah ditutup rapat selembar hijab. Aurat lainnya pun tidak terlihat lagi. Dengan jilbab, justru aura kecantikannya semakin bersinar. Karena yang tampak bukan hanya jasad, tapi aura ketaatan.

Hidayah itu datang kepada hamba-Nya yang terpilih, namun hidayah itu pun harus dijemput. Sekali ia datang padamu, maka genggam lah erat, jangan sampai kembali tercerabut. Lalu menjatuhkanmu setelah Ia angkat ke tempat mulia.

***

Gibran terlalu malas untuk pulang. Ia lebih memilih pergi ke apartemen miliknya. Baginya sama saja, di rumahnya pun ia seperti tinggal sendirian. Jika keluarga adalah tempat ternyaman untuk pulang, maka sekarang ia tak punya alasan itu.

Ia melirik ponselnya malas. Danisha berulang kali meneleponnya. Notifikasi pesan WA pun tak kalah banyak, bahkan puluhan pesan datang dari orang tak dikenal. Rata-rata perempuan.

Sudah hampir tiga bulan ia tidak menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Ia merasa bosan. Kadang-kadang mereka terlalu merepotkan. Kegiatannya tak jauh-jauh dari makan, jalan-jalan dan berbelanja. Belum lagi urusan jemput menjemput. Seperti sopir pribadi saja.

Di tempat tidur, Gibran teringat acara yang akan dihadiri gadis itu besok pagi. Mungkin ia bisa menyempatkan waktu untuk datang. Dia ingin tahu saat Rinjani harus banyak bicara, karena pada malam pertemuan itu, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Ya, tak ada salahnya untuk datang. Untuk sekadar menghilangkan penasarannya tentang sosok gadis bermata tajam itu.

Aku Layak Untukmu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang