9

2.9K 191 11
                                    

Malam semakin larut. Hanya sebagian kecil saja penghuni Al-Hikmah yang masih terjaga. Gibran sendiri tengah asyik membaca Sirah Nabawiyah. Kantuk seakan menjauhinya. Pria itu hanyut dalam bacaannya. Mempelajari setiap peristiwa secara lengkap dari mulai kelahiran sampai dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Semakin dibaca semakin menambah kerinduannya kepada sosok terbaik di muka bumi tersebut.

Bagaimana bisa selama ini ia tidak tahu banyak tentang sosok Sang Nabi? Selain tanggal lahir dan beberapa penggal kisah yang pernah didapatkan dari guru agamanya semasa SD.

Waktu satu bulan berjalan sangat cepat. Kurang lima hari lagi ia akan menyelesaikan masa mondoknya. Kalau dulu waktu berjalan sangat lambat dan menjemukan, sekarang sebaliknya. Dua puluh empat jam sehari serasa kurang.

Setiap kelas ia ikuti dengan serius. Bahkan tak ada waktu untuk istirahat. Setiap sore Gibran meminta bantuan Hasan untuk mengecek bacaan Alqurannya.

Ketika di kantor, sering digunakan untuk melahap buku-buku yang ia pinjam dari Ustadz Arman. Tak lupa ia dengarkan bacaan Alquran dari qari-qari ternama untuk sarana memperbaiki pelajaran tajwidnya . Malam harinya, setelah kelas usai, ia habiskan untuk mendiskusikan isi buku yang tidak dipahami kepada para ustadznya.

Seperti tidak ingin kehilangan momen, sebelum tidur masih saja Gibran melakukan banyak hal. Membaca, menghafal, atau sesekali menuliskan pemahamannya. Shalat Malam pun tidak lagi terasa berat, bahkan ia selalu ada di Masjid saat yang lain belum datang.

Siang ini Gibran sedang bersama dengan Hasan. Ia meminta anak itu menyimak bacaan Surat An-Naas.

"Lam itu bukan huruf qalqalah jadi baca 'qul' jangan dipantul. Tahan ujung lidah sebentar di langit atas sebelum 'Audzu'."

Gibran mengangguk lalu mengulang ayat pertama.

"Kak, kalau nun bertasydid itu ditahan dua harakat jangan buru-buru dilepas. Tahan agak lama kira-kira tiga ketukan waktu baca 'binnnaas'."

Berkali-kali Hasan mengoreksi bacaannya. Selesai dengan An-Naas, Gibran memberi anak itu sedus pizza.

Tadi pagi anak itu meminta dibelikan pizza. Seumur hidupnya dia belum pernah makan hidangan asal Italia tersebut. Dikiranya pizza itu sekelas martabak saja.

Tangan Hasan menyomot sepotong pizza  bertoping ayam jamur mozarela. Dengan mata berkaca-kaca ia masukan ke mulut kecilnya. Ini adalah pertama kalinya anak itu mengecap pizza.

"Huek ...." Hasan memuntahkan isi mulutnya. "Aku kira enak. Ternyata begini rasanya. Aku lebih suka makan martabak telor di ujung belokan."

Girban tertawa menyaksikan perubahan ekspresi wajah Hasan.

"Makanan ini memang tidak cocok untuk lidah orang indonesia. Lain kali aku belikan martabak saja." Hasan mengangguk senang. Tambah gembul saja pipinya.

"Ngomong-ngomong hafalanmu sudah berapa juz?" tanya Gibran kemudian.

"Masih kurang satu juz lagi, Kak."

"29 juz? Masyaallah." Untuk yang satu ini Gibran sangat iri kepada anak itu. "Pasti ayah ibumu bangga sekali."

Mendengar perkataan itu, air muka anak itu berubah sendu. "Ibuku sudah meninggal sewaktu aku umur 6 tahun. Makanya aku bertekad menghafal Alquran agar kelak saat bertemu aku bisa menghadiahkan mahkota untuknya."

Hati Gibran terenyuh. Anak itu sudah berpikir sejauh itu, sementara dirinya  berdoa untuk almarhumah bunda saja hanya seingatnya.

"Kak, ada tamu." Seorang santri berlari menghampiri mereka berdua. "Perempuan. Cantik banget pokoknya."

Aku Layak Untukmu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang