Pria itu memasuki kawasan pesantren dengan penuh kerinduan. Semuanya masih terlihat sama. Pintu gerbangnya berwarna hijau bertuliskan identitas nama pesantren dengan huruf Arab.
Bangunan-bangunan bertingkat berderet sepanjang jalan. Setiap tempat diberi keterangan dengan tiga bahasa. Arab, Inggris, dan Indonesia. Taman hijau dengan pepohonan dan berbagai jenis tanaman terhampar luas di tengah-tengah area pesantren.
Gibran sudah menghubungi Ustadz Arman sebelumnya kalau hari ini dia akan berkunjung. Di ruangannya, Gibran disambut dengan penuh kehangatan.
"Mau daftar ulang?" canda Ustadz yang selalu tampil necis tersebut. Memakai koko warna biru tua dipadu dengan celana sirwal dan sepatu kets, pria itu tampak lebih muda dari umur yang sebenarnya.
Gibran dipersilakan duduk di sofa khusus untuk menerima tamu. Secangkir teh dan beberapa makanan sudah tersaji di meja.
"Apa murid yang kabur masih bisa diterima kembali?" Mereka berdua pun tertawa.
"Ustadz sebenarnya saya masih ingin tinggal di sini, tapi itu tidak memungkinkan. Saya ingin menemani Ayah dan harus bertanggung jawab penuh dengan perusahaan."
Ustadz Arman mengangguk paham. "Saya mengerti. Yang kemarin sudah cukup. Beberapa ustadz dan santri yang ikut membimbingmu kemarin, semuanya memberikan apresiasi positif."
"Tapi itu belum cukup. Saya masih ingin belajar. Kalau berkenan saya minta guru privat dari Al-Hikmah, terutama untuk belajar Alquran," pinta Gibran kemudian.
"Baru saya akan mengusulkan itu. Belajarnya harus dilanjut. Kita ini harus jadi pembelajar seumur hidup. Perlu guru dan juga teman-teman yang saling mengingatkan. Nanti luangkan waktu dua kali sepekan, tidak lama hanya beberapa jam saja.
Pertama untuk belajar quran bersama Ustadz Muzamil. Lalu yang kedua, saya akan memasukanmu dengan grup pengajian di bawah binaan saya. Ada grup para pengusaha dan pekerja yang saya pegang. Nanti waktunya akan diberitahukan kemudian. Gimana?"
Mata Gibran berbinar. Tentu saja dirinya sangat senang mendapat tawaran seperti itu.
"Masya Allah Ustadz terima kasih. Saya ikut saja."
Pertemuan itu ditutup dengan keinginan Gibran untuk menjadi donatur tetap Al-Hikmah. Pria itu juga siap memberikan beasiswa bagi santri penghafal quran yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sebelum pergi, Gibran menyempatkan diri menemui para santri. Hasan dan kawan-kawan langsung berebutan memeluknya.
"Maaf, aku tidak bawa apa-apa kali ini."
"Yang dikasih Kakak dulu juga masih ada," jawab salah seorang santri.
"Yang kami rindukan adalah orangnya, bukan bawaannya." Hasan kali ini yang berbicara. Gibran mengacak rambut anak itu. Ia senang mendapat ketulusan di tengah mereka.
"Sering-seringlah ke sini, Kak!"
"Insya Allah. Aku akan sering ke sini. Hasan, kalau kau selesai dengan hafalanmu segera hubungi Ustadz Arman. Oke?” Hasan mengangguk pasti.
Gibran pun pergi membawa rasa syukur dan kenangan manis tentang indahnya islam yang ia temukan di tempat itu.
***
Gadis itu terbelalak mendapati banyak coklat yang disodorkan oleh satpam sekolahnya.
"Ada yang titip ini buat Neng Anya." Matanya memicing. Coklat-coklat itu tampak menggoda dan sepertinya memang dibawa dari luar negeri.
"Dari siapa, Pa?" Gadis itu menerima sebungkus besar parcel coklat dengan ragu.
"Orangnya di sana." Satpam bernama Iwan itu menunjuk seseorang di sebrang jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Layak Untukmu (Completed)
RomanceGibran tak menyangka kalau perempuan yang dijodohkannya akan membuat hatinya luluh. Namun, ia sendiri merasa tak cukup pantas untuk seorang Rinjani. Demi cintanya kepada gadis itu ia rela berubah. Perubahan yang akhirnya membawanya kepada cinta lain...