Aku berdiri diam di atas rerumputan disebuah taman. Tempat ini asing, aku belum pernah sekalipun melihatnya. Entah bagaimana aku bisa sampai ditempat ini, orang-orang berlalu lalang disekelilingku tanpa ada satupun yang kukenali.
"Dyan ...," aku membalik badan, dan terlihat dia disana. Seorang diri menatap ke arahku. Aku tahu itu dia dari caranya menyebut namaku. Dunia terasa berhenti, seakan warna-warna dalam dunia ini hanya tersisa hitam dan putih. Kakiku gemetaran, oh Tuhan ... dia ... itu dia.
"Dan ...," tiba-tiba suaraku begitu lirih, aku tidak mampu bersuara lebih keras, ada rasa sakit mengguncang dadaku, tapi sesuatu yang lain membuncah darisana. Aku berlari, mendekatinya, tapi Danish bergeming, ia tidak bergerak sedikitpun, seakan pertemuan ini bukan hal special. Aku telah menunggunya begitu lama, rindu begitu lama, tersiksa begitu lama.
"Dan ... aku ... aku ...," aku sudah sampai dihadapannya. Begitu ingin marah, ingin menangis, ingin memeluknya, tapi entah apa yang menghalangiku. Danish tetap pada posisinya.
"Kenapa kau diam saja?? Katakan sesuatu, katakanlah,"aku memukulnya, meluapkan penderitaanku yang ia tinggalkan begitu saja. Danish diam, tapi aku melihat matanya yang terluka, ia lalu memegang tanganku, mencengkeramnya erat, memintaku berhenti.
"Berhentilah, aku sudah disini," Danish menarikku dalam pelukannya. Ia menciumi puncak kepalaku berkali-kali, aku sudah meraung-raung dalam pelukannya.
"Maaf, maafkan aku, jangan menangis, berhentilah, aku tidak sanggup melihatmu menangis, air matamu ini, tidak boleh jatuh lagi," Danish menyeka air mataku, lalu mengecup kedua mataku bergantian.
"Dyan! Dyan!," Aku terkejut lalu duduk. Aku memandang sekeliling, ternyata aku ada dalam kamar, dan Viny ada dihadapanku. Aku hanya bermimpi? Aku tidak percaya semua itu hanya mimpi. Perasaan sesakku menyeruak lagi, aku benar-benar menangis. Viny duduk dan memelukku.
"Kau meraung-raung meneriakkan nama Danish, andaikan dia ada disini, aku akan menghajarnya," Viny melepaskan pelukannya.
"Kau merusak mimpiku! kenapa kau membangunkanku hah??," aku mendorong Viny dengan sangat marah. Viny sampai terjatuh ke lantai. Aku terkejut dengan apa yang kulakukan. Viny bangun lalu menghampiriku dengan kilatan dimatanya.
"Plak!!," Viny menamparku, tapi ada air yang siap menggenang dimatanya.
"Sadarlah Dyan! Danish meninggalkanmu! meninggalkanmu! Lupakan dia, dia tidak akan pernah kembali lagi," Viny mengguncangkan bahuku. Aku sesenggukan lalu memeluk Viny.
"Maafkan aku," kami berdua menangis bersama, aku tergugu dengan air mata yang terus mengalir.
"Kau bisa memulai dengan mencoba menerima Damar, kau harus melakukan sesuatu untuk hidupmu," aku sudah menceritakan pada Viny tentang Damar yang menyatakan perasaannya padaku.
"Itu tidak benar Viny, itu akan menyakitinya, aku tidak mungkin menerimanya sementara aku mencintai orang lain, itu tidak adil untuknya,"
"Dan lebih tidak adil, kau memintanya tidak pergi tapi kau bahkan tidak mencoba untuk mencintainya, itu lebih jahat Dyan, katakan segalanya padanya, kita lihat apa dia akan tetap memperjuangkanmu atau berhenti dan pergi," aku menimbang-nimbang perkataannya.
"Pikirkanlah, dan sebaiknya sekarang kau bersiap atau kita akan terlambat bekerja," aku mengangguk. Viny beringsut meninggalkanku, aku sendiri segera bangun dan menyambar handuk, tak mau terlalu lama hanyut dalam pikiranku yang kalut. Tuhan ... berikan hari yang baik padaku hari ini, batinku.
***
"Dam,"
"Hmm?,"
"Mau temani aku?,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu
RomanceRindu seorang gadis pada lelaki yang bertahun-tahun dicintainya, namun pria lain datang dalam hidupnya, akankah rindu itu bertahan atau berpaling kepada pria lain?