Phase 11 - Awakening #1

1K 181 3
                                    

Malam ini aku dan teman-temanku diberi ruangan khusus. Rave memberiku perlakuan khusus karena besok aku akan bertanding demi bisa berjumpa dengan adikku -Ilmea. "Kau harus tidur di tempat yang layak supaya pertandingan besok tidak selesai dengan cepat," ujar Rave saat mengantar kami ke ruangan ini tadi.

Ada 4 kasur empuk di ruangan ini. Lantainya dialasi karpet tebal. Dindingnya juga dicat rapi, benar-benar ruangan yang nyaman -jauh kalau dibandingkan dengan sel tahanan atau ruangan yang ada di Resistant. Tapi itu wajar. Menurut Niko, para Hunters memang memiliki pendanaan yang cukup baik. Mereka sering membuat Union kewalahan sampai-sampai orang-orang Union harus memberi mereka perlakuan khusus. Memang, para Hunters memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan. Semuanya petarung, tidak seperti Resistant yang didominasi oleh orang-orang tanpa keahlian bertarung.

Niko, Feo dan Felicia hanya terdiam dengan alis berkerut. Mereka masih tak menyangka aku menghentikan Niko untuk mencari Zo tadi sore. Sempat terjadi perdebatan di antara kami saat aku memutuskan untuk bertarung tanpa bantuan Zo, tapi berkat kecerdasan yang kumiliki, aku bisa meyakinkan mereka untuk memercayakannya padaku.

"Jadi, apa sebenarnya rencanamu, Lass?" tanya Niko, untuk yang entah ke berapa kalinya.

"Rencanaku belum matang sepenuhnya, tapi aku optimis dengan rencanaku ini. Tenang saja, dibalik rencana ini aku masih punya rencana lain." Aku sengaja menjawabnya dengan jawaban yang membingungkan agar mereka menyerah menanyakan itu padaku.

"Ya sudah, terserah kau saja," tanggap Niko yang ternyata termakan siasatku. Dia menyerah untuk bertanya.

"Tidurlah, Lass. Besok kau harus bertarung mati-matian," sambung Felicia sambil merebahkan tubuhnya di kasur, bersiap untuk tidur.

Aku hanya mengangguk untuk menanggapinya.

Sedangkan Feo masih duduk termenung di kasurnya. Sesekali ia melempar tatapannya padaku. Tapi ketika pandangan kami bertemu, ia langsung membuang mukanya. Aku tahu gerak-gerik itu. Gerak-gerik ketika seseorang ingin mengatakan sesuatu, tapi ia ragu. Karena itu, aku mengajak Feo untuk berjalan-jalan di sekitar dengan alasan mencari udara segar untuk menyegarkan pikiran.

≈≈Ω≈≈

Aku dan Feo tiba di kursi penonton arena pertarungan markas ini. Tidak ada orang di tempat ini, cocok untuk berbincang-bincang tanpa harus terganggu.

"Jadi, apa yang ingin kau katakan?" tanyaku memulai percakapan.

Feo termenung dengan wajah menunduk. "Lass..." ucapnya pelan. "Apa... benar kau bisa menyelamatkan kami dari krisis ini?"

Aku agak terkejut mendengar pertanyaannya. Aku? Menyelamatkan mereka dari krisis dunia yang... ah, tak perlu kujelaskan. Bagaimana caranya?

"Bagaimana, Lass?" tanya Feo yang tidak mendapat jawaban dariku.

"Aku akan mencoba sekuat tenagaku. Jujur, sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk kalian, untuk dunia ini." Aku menengadahkan kepala, menatap langit-langit arena yang terlihat kusam jauh di atas sana. "Tapi, kalau memang ada yang bisa aku lakukan, aku akan melakukannya dengan senang hati."

Mendengar jawabanku, raut wajah Feo berubah cerah. Ia tersenyum dengan manisnya. "Kau janji, ya?"

Aku mengangguk mantap. "Iya. Aku janji."

Feo bernapas lega. Setelah itu, agak lama kami terdiam sampai akhirnya Feo menceritakan tentang ibunya.

Liana, wanita paruh baya yang sempat aku temui di bunker Resistant waktu itu ternyata bukanlah ibu kandungnya. Liana adalah adik dari ayahnya. Tapi ia merahasiakan itu pada semua orang.

D-Genesis : ReversedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang