Renjun langsung berlari sekuat tenaga setelah ia memarkirkan motornya di parkiran rumah sakit ini. Kedua kaki rampingnya berusaha membawanya secepat mungkin menuju kamar Emma.
Sambil menggigit bibir bawahnya, Renjun berusaha menahan air matanya yang hampir lolos dari kedua matanya.
Setibanya di depan lift, lampu menunjukkan bahwa lift yang ia tunggu masih ada di lantai 7. Ini terlalu lama, Renjun tidak punya waktu lagi untuk menunggu lift selama itu.
Walaupun nafasnya sudah tersengal - sengal dan kedua kakinya sudah nyeri, Renjun memaksakan dirinya untuk berlari lagi menaiki anak - anak tangga menuju lantai 3 di mana kamar Emma berada.
Saking terburu - burunya, ia pun sampai tersandung dengan tali sepatunya sendiri yang entah sejak kapan sudah lepas dari ikatannya. Namun seakan - akan sudah mati rasa, Renjun tidak mempedulikan memar di punggung betisnya yang menatap anak tangga.
Yang ada di pikirannya hanya Emma, Emma dan Emma.
Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Renjun langsung menerobos pintu kamar Emma dan menemukan perempuan itu terbaring di kasurnya.
Terpejam, pucat, lemah dan tidak berdaya. Itu lah Emma saat ini.
Kedua kaki Renjun terkulai lemas dan tidak dapat menahan beban tubuhnya lagi. Ia terjatuh ke lantai dengan bertumpu pada lututnya.
"Injun." Seorang wanita menghampirinya dan langsung menyentuh pundaknya.
Renjun menoleh dan mendapati mamanya Emma telah berjongkok di sebelahnya. Wanita itu hanya menatapnya dengan senyuman lemah seakan - akan membenarkan apa yang ada di pikirannya setelah melihat kondisi Emma.
"Tante, Emma... Emma-"
Wanita itu mengangguk dengan sebulir air mata yang mengalir pelan di pipinya.
"Emma sudah sembuh. Sekarang Emma sudah ngga perlu ngerasain sakit lagi. Dia sudah tenang."
Renjun semakin terkulai lemas setelah mendengarnya. Ia menunduk dengan kedua telapak tangannya yang menumpu di lantai. Air matanya sudah tidak bisa ia tahan lagi. Renjun langsung menangis sesenggukan.
Berita yang setengah jam lalu ia dapat dari mamanya Emma jauh lebih menyakitkan daripada berita yang disampaikan mamanya 5 hari lalu karena Emma jatuh koma. Dan sekarang saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Emma sudah tidak bernafas, Renjun merasa seperti seluruh dunianya hancur.
Selama hampir seminggu Emma koma, Renjun selalu berdoa setiap hari agar Emma dapat segera sembuh. Tapi apa? Tuhan malah menyembuhkan Emma dengan cara lain.
Renjun menyesali segala pertemuan terakhirnya dengan Emma. Ia seharusnya bisa lebih banyak menceritakan hal lucu padanya, mengajaknya ke taman lebih lama atau menonton video Moomin bersama.
Namun sekarang Emma sudah pergi. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis.
Ia tahu Emma pasti akan sangat membencinya jika perempuan itu tahu ia malah menangis sesenggukan saat ini. Bukannya berhenti, justru membayangkan omelan perempuan itu membuatnya semakin menangis menderu.
Bahkan ia rela jika ia harus dimarah - marahi bahkan dicubit atau dipukulㅡapapun ituㅡoleh Emma, asalkan perempuan dapat kembali hidup sehat.
"Nak, udah jangan nangis terus. Kamu harus ikhlas akan kepergian Emma. Kita semua juga ngga ada yang suka dengan hal ini, tapi kamu pasti tau kan bukan ini yang Emma mau dari kita?" kali ini suara seorang pria terdengar di sampingnya.
Renjun terpaksa mengangkat kepalanya karena barusan yang ia dengar memang benar adanya dan ia tidak ingin mengecewakan Emma dengan perbuatannya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
vivant • huang renjun ✔️
Fanfictionmereka bilang kita baru mengetahui bahwa sesuatu itu berharga setelah kita kehilangan hal tersebut. tapi tidak, kata - kata itu tidak berlaku bagiku. 181021 - 181203✔️