Itulah ceritaku.
Bagaimana aku bisa sampai di titik terendah dalam hidupku yang tanpa kepercayaan diri, motivasi dan harapan hidup. Berkali-kali aku menimbang cara untuk mati sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri di beton pembatas balkon puncak tertinggi di New York.
Aku sempat mempertimbangkan untuk menelepon Drey Syailendra dan bertanya tentang cara bunuh diri yang baik. Jika orang itu masih hidup sampai detik ini, berarti dia juga masih belum menemukan cara bunuh diri yang benar, kan?
Aku ingin saat bunuh diri, aku bisa langsung mati, bukan lumpuh atau cacat atau koma dalam waktu lama. Tidak. Itu memalukan, apalagi kalau tubuhku terbagi menjadi beberapa bagian, tapi masih hidup. Astaga, aku tidak bisa membayangkan kekonyolan itu. Selamanya aku akan jadi bahan tertawaan.
Walau begitu, orang yang sangat ingin kutemui adalah Drey Syailendra. Aku ingin meminta maaf atas celaan yang kuucapkan setiap dia berbicara soal kematian.
"Man, kematian itu keji. Dia datang pada orang yang salah," katanya saat kutanya kenapa dia tidak juga mati setelah berkali-kali mencoba bunuh diri. "Kau harus jadi orang yang sangat baik agar bisa mati. Kukira, aku tidak punya bakat menjadi orang baik. malaikat maut tidak pernah tertarik pada nyawaku."
Sekarang aku tahu kenapa bajingan itu tetap hidup setelah berkali-kali mencoba bunuh diri, bahkan setelah berusaha meledakkan diri sendiri di dalam mobil. Dia terlalu bajingan untuk mati cepat.
Mungkin aku juga sudah jadi sebajingan dia. Mungkin Drey Syailendra itu mengutukku waktu aku tidur dengan ibunya. Mungkin juga malam seksku dengan ibunya adalah malam aku resmi menjadi bajingan tengik yang tidak akan mati.
Aku minum begitu banyak bir dan obat tidur. Yang terjadi hanyalah mabuk dan terlalu banyak muntah. Bisa kukatakan film-film yang mengatakan obat penenang dan bir bisa membuatmu mati adalah omong kosong. Kau bisa melihat botol obat penenang yang kosong dan banyak sekali botol bir yang berserakan di penthouse-ku. Tidak satupun dari semua ini yang membunuhku.
Kemudian aku mencoba menenggelamkan diriku di kolam renang. Aku lupa kalau manusia dikaruniai insting untuk bertahan hidup dari lingkungan yang sangat ia kenal. Aku adalah perenang yang handal. Ketika nafasku sudah sesak, tubuhku otomatis menjejakkan kaki hingga menemukan udara di permukaan kolam. Ini bukan tentang kesungguhan untuk bunuh diri, tapi panggilan alam. Beginilah manusia diciptakan.
Sesuatu yang tidak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat.
Tapi aku tetap ingin mati. Aku tidak ingin jadi lebih kuat. Kau tahu, aku keras kepala.
Kenapa?
Karena kupikir kematian jauh lebih mudah.
Tapi Tuhan tidak berniat membuat segalanya jadi lebih mudah untukku. Tuhan masih ingin memberiku banyak pelajaran untuk hidup seenaknya yang telah kulalui.
Jadi, di sinilah aku sekarang. Di sofa penthouse yang nyaman memegang cokelat panas buatan Venus. Neptune duduk santai di dekatku. Abe berbicara dengan seorang anggota kepolisian yang tersisa. Venus memerintahkan ini itu kepada petugas kebersihan.
Tadi, Venus menyuruh orang membakar celana panjang yang kukenakan saat percobaan bunuh diri. Dia percaya membakarnya akan membuang kesialanku juga. Aku heran, hidup di zaman apa sebenarnya saudariku ini.
Kupikir, Tuhan mestinya punya alasan kuat untuk mengutus keluargaku ke sini.
"Kau tahu, apa dikatakan Cattleya kepadaku tentangmu?" Neptune menoleh kepadaku. Aku menelan ludah. "Dia bilang kau kesepian. Sejak pertama melihatmu dia tahu kau membutuhkan seseorang. Kau menyembunyikannya dengan cara yang kau pikir keren. Padahal itu semakin menunjukkan kalau kau tersiksa. Kau butuh seseorang yang bisa menyembuhkan lukamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Perfect Hollow (Complete)
RomanceLihat, betapa tampannya laki-laki itu. Wajah tampannya menutupi otak yang kosong dan hati yang sakit. Laki-laki itu mayat hidup yang tidak memiliki jiwa. Dia menghabiskan malam ulang tahun yang ke tiga puluh dua dan ratusan malam lain untuk berpesta...